Di tempat lain, Farel tampak bahagia karena tadi bisa berbincang-bincang dengan Novi. Sebenarnya ia memesan ayam geprek itu hanya sebagai alasannya supaya bisa bertemu dengan Novi. Ayam geprek yang ia pesan tadi sebagian ia berikan pada orang-orang yang sedang bekerja di proyeknya. Perusahaan Farel sedang mendapatkan tender membangun sebuah klinik. Saat ini Farel sedang makan ayam geprek yang tadi dibeli di warung Novi. Ada beberapa karyawannya yang ikut makan bersama dengannya. "Pak, ini sih ayam geprek langgananku," celetuk Hendra, salah satu karyawannya."Iya, anakku juga senang ayam geprek disitu. Murah meriah. Apa yang jual nggak rugi ya dengan harga sepuluh ribu seporsi. Padahal ditempat lain sudah naik jadi dua belas ribu," sahut Nino."Kalau rugi, pasti sudah nggak jualan lagi." Farel ikut berkomentar. Hendra dan Nino mengangguk tanda setuju dengan ucapan Farel. Akhirnya mereka bertiga pun menyelesaikan makannya. "Pak, sepertinya akhir-akhir ini Pak Farel tampak bahagia. S
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
Di tempat lain, Farel tampak bahagia karena tadi bisa berbincang-bincang dengan Novi. Sebenarnya ia memesan ayam geprek itu hanya sebagai alasannya supaya bisa bertemu dengan Novi. Ayam geprek yang ia pesan tadi sebagian ia berikan pada orang-orang yang sedang bekerja di proyeknya. Perusahaan Farel sedang mendapatkan tender membangun sebuah klinik. Saat ini Farel sedang makan ayam geprek yang tadi dibeli di warung Novi. Ada beberapa karyawannya yang ikut makan bersama dengannya. "Pak, ini sih ayam geprek langgananku," celetuk Hendra, salah satu karyawannya."Iya, anakku juga senang ayam geprek disitu. Murah meriah. Apa yang jual nggak rugi ya dengan harga sepuluh ribu seporsi. Padahal ditempat lain sudah naik jadi dua belas ribu," sahut Nino."Kalau rugi, pasti sudah nggak jualan lagi." Farel ikut berkomentar. Hendra dan Nino mengangguk tanda setuju dengan ucapan Farel. Akhirnya mereka bertiga pun menyelesaikan makannya. "Pak, sepertinya akhir-akhir ini Pak Farel tampak bahagia. S
Sampai di rumah, Ahmad masih saja merasa belum ikhlas. Ia masih berharap apa yang dilihatnya tadi hanya mimpi. Entah kenapa dunianya terasa mau runtuh mengingat Novi tertawa lepas bersama Farel."Novi, kenapa aku tidak bisa melupakan rasa cintaku padamu? Semakin aku mencoba untuk mencintai Indah, semakin besar rasa cintaku padamu," kata Ahmad dalam hati.Langkah kaki Ahmad tampak lunglai tak bersemangat ketika memasuki rumahnya. Ia mencari keberadaan istrinya, ternyata Indah dan Salsa tidur di depan televisi.Segera ia meletakan barang belanjaan ke tempatnya. Membereskan semuanya, tak lupa memasukkan es krim pesanan istrinya ke dalam kulkas.Ahmad masuk ke dalam kamarnya untuk merebahkan tubuhnya. Pikirannya menerawang jauh, mengingat masa-masa indah bersama Novi. Tapi ternyata malah banyak kenangan pahit yang ia ingat. Kenangan saat ia tidak mendampingi Novi ketika melahirkan Haikal. Tak terasa air matanya menetes ketika mengingat semua itu. Akhirnya Ahmad pun terlelap dalam mimpi.I
Novi tampak sangat telaten menyuapi Haikal. Benar-benar seorang Ibu sejati. Tak butuh waktu lama, Haikal sudah menyelesaikan makannya. "Alhamdulillah," ucap Novi.Haikal pun mengikuti ucapan Novi."Sudah habis ya makannya," kata Farel."Sudah, Om. Sudah kenyang.""Haikal memang seperti ini, ia makannya sedikit tapi sering. Padahal tadi pagi sudah makan, eh sekarang malah minta makan lagi." Novi menjelaskan tentang Haikal."Masih masa pertumbuhan, Mbak. Biarkan saja, daripada nggak mau makan, malah lebih repot lagi." "Iya, ya." Novi terkekeh sendiri."Om, adek mau nonton lagi," kata Haikal sambil beranjak dari duduk dan langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sepertinya ia tidak butuh jawaban dari Farel."Nggak usah lari, Dek," teriak Novi, tapi Haikal sudah tidak terlihat lagi. Farel kaget mendengar Novi berteriak, ekspresinya hanya bengong. Novi menyadari kalau ia baru saja berteriak ketika melihat ekspresi Farel"Maaf Mas, saya kok malah berteriak." Novi tersipu malu."Namanya juga
"Masa sampai segitunya," kekeh Bu Murni."Pasti, Bu. Buktinya waktu perempuan itu kesini saja sepertinya memusuhi Mbak Novi. Jangan-jangan kalau Mbak Novi kesitu akan diusirnya," kata Yanti menambahi. Ia teringat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika istri Ahmad makan disini dan bertemu dengan Novi."Iya, diusir dan dimaki-maki. Bikin malu saja." Novi berkata dengan ekspresi wajah yang dibuat kesal."Nggak apa-apa kamu datang kesitu. Ajak Dina dan Haikal, bawakan bingkisan. Bingkisan untuk bayinya dan makanan untuk Ahmad dan istrinya." Bu Murni berkata dengan bijak."Nanti kalau aku diusir gimana, Bu? Malu dong. Terus dimaki-maki, dasar perempuan nggak punya malu, masih saja mencari perhatian Mas Ahmad," sahut Novi dengan menirukan kata-kata yang sering dilontarkan Indah padanya. Septi dan Yanti tertawa melihat ekspresi Novi."Kalau begitu ajak neneknya Dina. Nggak mungkin istrinya Ahmad akan mengusirmu.""Nanti aku pikirkan, Bu.""Biarlah orang berbuat jahat sama kamu, yang pentin
Pagi ini Bu Wulan dan Pak Harno datang ke rumah Ahmad untuk melihat cucunya yang baru lahir. Walaupun mereka tidak menyukai menantunya, tapi bukan berarti tidak menyukai cucunya. Bu Wulan sudah membawakan makanan untuk Ahmad dan Indah. Ia tadi sudah menyuruh Tini untuk memasak makanan untuk anak dan menantunya.Sampai di rumah Ahmad, rumah tampak sepi. Bu Wulan membuka pintu depan yang tidak terkunci. Bu Wulan segera masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Pak Harno. Kemudian meletakkan makanan yang dibawanya ke meja makan. Di depan kamar mandi, tampak Ahmad sedang memandikan bayinya. Bu Wulan mengamati Ahmad yang sangat hati-hati memandikan buah hatinya itu, dan mendekatinya."Sayang, ada Nenek dan Kakek kesini, mau menggendong adik," kata Ahmad berbicara dengan bayinya. Bu Wulan tersenyum melihat cucunya itu. Kemudian terdengar langkah kaki yang mendekati mereka. Ternyata Indah yang tampak seperti baru bangun dari tidur, dan berjalan menuju ke kamar mandi. Bu Wulan hanya geleng-geleng
"Apa maumu!" bentak Ahmad."Kamu itu maunya dimengerti tapi nggak mau mengerti. Oke Dek, besok aku antar kamu pulang ke rumah orang tuamu. Aku sudah tidak sanggup hidup bersama denganmu. Aku tidak akan memisahkanmu dengan anak kita. Bawalah anak kita, nanti aku akan rutin mengirim nafkah untukmu dan anak kita," lanjut Ahmad.Indah meneteskan air mata."Nggak usah menangis. Air mata buaya." Ahmad berteriak lagi.Ahmad pun keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang keluarga. Kemudian merebahkan diri di kasur yang ada di ruangan itu."Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah nggak sanggup lagi." “Dulu aku menyia-nyiakan Novi, mungkin seperti ini yang Novi rasakan saat itu. Mungkin ini karma atas apa yang aku lakukan terhadap Novi.”"Aku masih ingin melihat anak-anakku tumbuh dan berkembang. Tapi bukan dalam keadaan seperti ini.”"Ya Allah, ampuni aku. Selama ini aku selalu menjauh dariMu."Ahmad pun meneteskan air mata, mengingat jalan hidupnya yang penuh dengan ujian. Ia berusaha
"Anak sudah besar kok di gendong. Tuh anak sendiri tidak digendong," kata Indah dengan kesal."Aku kan jarang bertemu dengan Haikal. Lagipula anak kita itu masih tidur, kalau digendong nanti malah bangun," jawab Ahmad. Ia sudah tahu arah pembicaraan Indah."Haikal, kamu itu sudah besar. Nggak boleh minta gendong Ayah. Ayah harus menggendong adik bayi," kata Indah pada Haikal dengan kesal."Apaan sih kamu, Dek. Sama anak kecil kok ngomong kayak gitu." Ahmad menjadi kesal. Pak Harno yang akan ke kamar mandi, mendengar perbincangan Ahmad dan Indah. Ia pun melambatkan langkahnya untuk mendengarkan lagi. Kemudian pura-pura memainkan ponselnya sambil mondar-mandir."Tante marah ya? Kenapa Tante marah sama Ayah?" tanya Haikal dengan polosnya."Enggak, Tante nggak marah kok." Ahmad menjawab pertanyaan anaknya."Kok kayak marah-marah." Haikal masih penasaran dengan jawaban ayahnya."Haikal bobok disini ya? Menemani adik bayi," kata Ahmad mengalihkan pembicaraan."Mas kok malah aneh-aneh sih,"
"Makan, dulu. Kamu harus banyak makan sayuran, supaya ASI lancar." Bu Wulan berbicara pada Indah yang tampak kecewa."Aku nggak suka sayuran, Bu," kata Indah."Terus kamu mau makan apa?" tanya Bu Wulan lagi."Ayam atau daging." Indah menjawab dengan mantap."Itu kan ada ayamnya." Bu Wulan berkata sambil menunjuk makanan yang dimasak Tini."Tapi nggak ada sambalnya.""Memang sengaja ayamnya dimasak semur. Kalau kamu makan pedas-pedas, nanti anakmu bisa mencret," kata Bu Wulan memberi pengertian pada menantunya itu.Indah hanya terdiam. "Perempuan banyak gaya, memangnya selama ini kamu makan enak terus? Masih mending Ibu berbaik hati menyuruhku memasak. Kalau enggak, kamu yang masak sendiri," kata Tini dalam hati. Ia memang sinis Indah. Ternyata Indah juga sedang menatap Tini, ia menjadi semakin kesal."Jadi pembantu saja sok belagu," kata Indah dalam hati. Bu Wulan dan Tini keluar dari kamar Indah. Bu Wulan menemui suaminya, sedangkan Tini menuju ke dapur. Tampak Pak Harno sedang asy
Farel tersadar dari lamunannya. Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Nada mencuri kesempatan untuk dapat mencium Farel. Akhirnya Farel melajukan kendaraannya untuk menjauhi rumah Nada.Sejujurnya kalau tadi Farel memang sengaja mengikuti Novi. Ia melihat interaksi antara Novi dengan Ustadz Yusuf dan istrinya. Ia memang sudah mendengar desas-desus tentang mereka. "Sepertinya Novi akrab dengan istrinya Ustadz itu. Apakah mereka sudah menikah ya? Tapi kayaknya nggak mungkin Novi mau menikah dengan Ustadz itu.""Tapi melihat gerak-gerik mereka tadi, sangat akrab.""Kenapa aku kok jadi kepo seperti ini?"Semua itu muncul dipikiran Farel, membuat Farel semakin penasaran. Tak terasa Farel sudah sampai di rumah, setelah memasukkan mobil ke garasi ia pun masuk ke dalam rumah. Bergegas ia menuju ke kamarnya."Farel!" panggil Irma."Pasti Nada mengadu," gumam Farel kemudian menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah sumber suara.Ternyata Papa dan mamanya sedang duduk santai di sofa.