Andra kembali menyalakan layar ponselnya. Di hubunginya Tony. "Halo, Assalamu'alaikum." Suara Mesi di seberang."Wa'alaikumsalam, Tony ada?""Ada, masih di kamar mandi. Apa nanti saja Mas Andra telepon lagi?""Jangan ditutup dulu. Aku mau nanya sama kamu, bagaimana keadaan terakhir Naya waktu itu?""Dia ... dia minta agar aku menyampaikan permintaan maafnya pada Mas dan Mbak Marina. Itu saja yang sempat diucapkan sebelum dia nggak sadarkan diri dalam perjalanan. Tapi maaf, aku belum bisa menyampaikan ini pada kalian. Situasinya belum memungkinkan, aku khawatir saja malah di maki-maki sama Mbak Marina.""Ya, tidak apa-apa. Aku minta maaf karena melibatkan kamu dalam urusan ini.""Nggak apa-apa, Mas. Selama ini aku dan Mas Tony nggak mencampuri juga urusan kalian. Kami hanya berteman baik pada siapa saja. Siapalah kami ini jika harus menghakimi permasalahan orang lain. Walaupun kita berteman. Mungkin jika aku nggak mengalah ikut Mas Tony. Bisa saja hal yang sama akan terjadi. Berdoa sa
"Assalamu'alaikum." Marina mengucap salam dari ambang pintu."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Safitri yang sibuk menata masakan di atas meja. Wanita itu menoleh pada sumber suara. Beliau melihat menantunya tersenyum sambil melepaskan wedges-nya."Marina, masuk, Nak. Mana Andra dan anak-anak." Bu Safitri menerima uluran tangan menantunya sambil memandang ke luar. Tidak ada siapa-siapa di sana.Wanita itu kemudian mengajak menantunya duduk di meja makan yang masih satu ruangan dengan dapur bersih. Di ambilnya teko dan menjerang air untuk membuatkan teh buat menantunya."Ma, nggak usah repot-repot bikin teh.""Nggak apa-apa."Bu Safitri tetap membuatkan teh untuk Marina. Di ambilnya cangkir keramik dengan hiasan bunga mawar di permukaannya. Bau wangi teh aroma melati menguap dari cangkir cantik itu. Wanita penuh wibawa juga menyuguhkan irisan buah semangka dan pir di piring. "Ayo, di minum. Buahnya baru saja Mama potong tadi." Cangkir di taruh di meja depan Marina.Marina meraih gagang cangki
Wanita itu ingat bagaimana Inaya melayani dan bersikap pada Andra. Itu saja sudah menjadi sihir ampuh tanpa butuh ke dukun untuk minta mantra. Bu Safitri juga menasehati agar Marina lebih rajin berdoa biar diberikan jalan terbaik untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi kemelut rumah tangga mereka. Menantu yang di nasehati hanya mengangguk.Marina segera pamitan setelah di rasa cukup bicara dengan mertuanya. Hasilnya tidak sesuai harapan. Bu Safitri mengantarkan sang menantu hingga wanita itu pergi dengan mobilnya.Urusan hati tidak bisa di campuri. Bu Safitri tidak bisa menyuruh Andra untuk memilih. Beliau hanya memberikan nasehat dan pandangan, setiap punya kesempatan berbincang dengan sang putra. Beliau juga ingat kata-kata Izam yang bicara dengan istrinya kemarin. Waktu itu beliau sedang memangku cucunya yang masih bayi. Sementara putrinya sedang menemani suaminya makan siang."Inaya itu orangnya gimana, Mas?""Baik menurutku, Dek. Sopan, sabar, dan ramah. Dia telaten ngerawat
Meski di landa penasaran dengan apa yang ingin di katakan oleh Tony, tapi Andra tetap profesional menjalani pekerjaannya. Rapat berjalan lancar. Tak ada basa-basi berlebihan dari para supplier yang datang siang itu. Mereka bercanda setelah usai meeting di jam yang menepati waktu makan siang."Aku sudah pesan makanan dari kantin agar di antar ke ruanganmu. Kita bicara di sana saja nanti," kata Tony saat mereka melangkah beriringan di lorong kantor. Ruangan meeting terletak di bangunan terpisah dengan ruangan Andra."Oke."Andra meminta Tony untuk duluan ke ruangannya, karena ada telepon masuk dari Marina."Halo.""Mas, pulang jam berapa nanti.""Jam empat dari kantor. Kamu sudah makan siang apa belum?""Baru saja selesai. Aku mau keluar jalan-jalan ya. Nggak jauh, kok. Depan tuh ada mall. Daripada di dalam kamar saja, aku suntuk ini.""Tidak usah jauh-jauh perginya. Kamu belum hafal kota ini.""Iya, aku tahu. Kalau begitu aku pergi dulu. Bye."Panggilan di akhiri Marina. Andra mematung
Angin sore berhembus sejuk ketika Andra memasuki halaman rumahnya. Pekarangan depan penuh daun kering berserakan. Juga rumput liar yang mulai menyerang tanaman bunga. Padahal baru juga sepuluh hari di tinggal. Tangan dingin yang rajin merawat tanaman dan membersihkan halaman, kini tidak diketahui keberadaannya.Andra masuk rumah. Menyalakan sebagian lampu, biar jika ditinggal nanti rumahnya tak lagi gelap gulita. Ada aroma khas perempuan itu terhidu di penciumannya. Kamarnya masih rapi seperti saat terakhir mereka pergi dari sana. Segera Andra berwudhu untuk menunaikan Salat Asar.Di bukanya almari. Harum pewangi baju menyapa hidungnya. Tatapannya menyapu baju-baju Inaya yang masih utuh dan tersusun rapi.Segera diambilnya beberapa pakaian kerja dan baju santai untuk di bawa ke hotel tempatnya dan Marina menginap sementara ini. Barang-barang itu di susun dalam koper kecil. Ada laptop dan beberapa berkas kerja. Setelah di rasa cukup dengan apa yang perlu di bawa, Andra melangkah gontai
Pak Karsa berdiri dan menyalami Andra, yang kemudian duduk di bangku depannya. Seorang ibu setengah baya menghampiri untuk menanyakan Andra pesan minum apa. Teh hangat jadi pilihan pria itu."Seseorang yang saya suruh nyari Bu Naya menemukan tempat tinggal mereka, Pak. Tiga jam perjalanan dari sini. Mereka tinggal di pesisir selatan, di perbukitan dan tidak jauh dari pantai. Tapi orang saya tidak berani mendekat, ada beberapa orang yang mengawasi di sana.""Mengawasi?" Andra kaget. Apakah perkiraannya selama ini benar?"Iya, Pak. Saya kurang tahu pastinya bagaimana. Tapi ada beberapa orang yang mengawasi di sana. Tempat itu area bedengan yang memiliki banyak pekerja, semua warga desa sana."Andra diam mencerna ucapan Pak Karsa. Benarkah orang-orang itu suruhan mertuanya yang ingin menyingkirkan Inaya. Persis seperti yang dilakukan pada perempuan itu delapan tahun yang lalu. Sengaja dibuat tertekan hingga akhirnya depresi dan berakhir di rumah sakit jiwa. Entah bagaimana nasibnya sekar
Di kejauhan tampak bukit menghijau dan lembah ngarai. Terlihat juga beberapa orang yang sedang mengisi polibag dengan tanah yang sudah di campur pupuk kompos. Tidak jauh dari orang-orang itu, ada bangunan usang yang temboknya sudah mengelupas dan terlihat batu-bata merah yang lapuk. Atapnya terlihat banyak genteng yang tersingkap.Langkah mereka terhenti saat dua orang laki-laki datang menghampiri. Wajah garang mereka terlihat sangat tidak bersahabat. "Siapa kalian?" tanya seorang laki-laki bertubuh besar. Matanya tajam menyelidik pada Andra. Seperti sedang mengingat sesuatu. Lantas dia berbisik pada rekan di sebelahnya.Dengan tenang Andra menjawab. "Kami ingin melihat tanaman di bedengan sini. Dan berniat membeli beberapa ribu tanaman jati."Dua laki-laki itu saling berbisik. Seperti yang telah di pesan oleh bosnya. Jika bertemu Andra lebih baik jangan terlibat keributan."Semua tanaman di sini sudah di pesan. Dan kami tidak menerima pesanan lagi. Maaf, sebaiknya kalian pergi saja."
Inaya berbaring di jok tengah dengan kepala berada di pangkuan ibunya."Pergilah, Pak Andra. Saya yang akan mengurus dua orang itu," kata Pak Karsa sambil menunjuk dua laki-laki dengan wajah lebam dan kedua tangannya terikat kain di belakang tubuh, yang di seret Pak Karsa dan Rano untuk mengikuti mereka. Beberapa warga di sana, tetap diam. Takut untuk ikut campur. Mereka hanya memandang dari kejauhan."Segera bawa pergi dari sini, Pak. Cari tempat yang aman. Saya yakin temannya yang kabur tadi pasti sudah laporan sama bos mereka." Pesan Andra."Saya akan menghubungi teman saya yang polisi, Pak," jawab Reno. Dua orang bertato tadi melotot mendengar kata Polisi di sebut. Pesan dari bosnya, jangan sampai berurusan dengan aparat sedikit pun. Makanya selama ini mereka tidak bersikap kasar pada Inaya dan kedua orang tuanya.Andra masuk mobil dan melaju ke arah kota. Jalan yang terjal membuatnya tidak bisa melaju kencang. Bahkan harus sangat hati-hati karena Inaya sedang hamil. Tapi dia jug
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt