“Mar, kenapa sih, kelihatannya seneng banget?” ucap Sasti, ibunda Damar di tengah aktivitasnya makan malam. “Iya, Le. Tumben sampai lebar gitu senyumnya? Sudah lama bapak nggak liat wajahmu sesemringah itu?” Narto ikut bicara.Damar sontak terperenyak, tidak menduga jika kedua orang tuanya memperhatikan kelakuannya.“Enggak pa-pa, Pak, Bu. Damar cuma lagi inget seseorang.”“Siapa dia, Le? Wanita? Ayo cepat dilamar saja. Kamu kan sudah cukup umur. Sudah lebih malah. Keponakanmu saja sebentar lagi mau nikah. Masak omnya belum.”Damar tertawa. Sejenak kemudian ia menatap wajah ibunya yang ikut tersenyum dan penuh harap. Damar sebenarnya sangat ingin mewujudkan keinginan bapak ibunya, tapi hingga saat ini ia belum jua menemukan wanita yang bisa menggetarkan hatinya seperti Riana dulu melakukannya. “Andai saja Darma masih ada, pasti dia juga sudah menikah, ya, Pak?” Air muka Sasti tiba-tiba berubah hingga membuat hening mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Darma yang merupakan saudara
Masih dengan senyum miring, Damar memangkas jarak dengan Riana. Meski risih, Riana terpaksa menerima saat Damar sang menantu mencium kedua pipinya. "Makasi sudah menerimaku sebagai menantu, Ibu Mertua, I love you," ujar Damar jahil sehingga membuat Riana membelalak. Saat wajah Damar menjauh, Riana cepat mendekatkan wajah mereka lagi. "Hei, menantu, awas ya kalau kamu berani macam-macam dengan anakku," bisik Riana tepat di telinga Damar. Sesaat kemudian, Riana menjewer telinga Damar. Sontak saja Damar mengulum senyum. Sekeras mungkin ia menahan tawa agar suasana syahdu yang sudah tercipta tidak menguap. Namun, gagal. Tetap saja aksi jahilnya mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Terutama, Liana, Rafif dan kedua orang tua Damar.Riana yang menyadari kalau puluhan pasang mata tengah menghujaninya dan Damar, langsung memasang wajah sedih. Ia juga memberi kode pada Damar untuk melakukan hal serupa. Beruntung Damar segera mengikuti apa yang Riana inginkan. Setelah akad nikah, re
Pov AuthorLiana yang menyadari jika sang suami tidak ada di sisinya langsung terbangun. "Mas," ujar Liana sambil mencoba membuka matanya lebih lebar. Karena tidak mendapat jawaban, ia lalu bangun dan keluar kamar. Samar-samar telinganya mendengar suara Damar yang sedang berbicara dengan seseorang. Suaminya itu tampak begitu bahagia. Sontak, matanya membulat saat menyaksikan Damar sedang bicara dengan Riana. Organ kecil dalam dadanya pun melaju cepat. Aneka pikiran buruk pun satu per satu mulai mendatangi rongga kepalanya. Setibanya di dekat dapur, Liana memutuskan untuk tidak langsung menampakkan diri. Ia memasang telinga dan mematung di balik dinding yang membatasi ruang makan dan dapur. "Gue nyesel waktu itu nggak langsung pulang ke Indonesia. Malah memilih lanjut S2 di Belanda, jadinya gue terlambat lagi. Seandainya aja gue cepet balik, bisa jadi ...." ucap Damar pada Riana yang membuat air mata Liana mendadak tumpah. Oksigen di paru-parunya pun terasa menipis, membuat dadanya
Untuk kedua kalinya di pagi itu, Rafif dan Riana saling pandang. Riana lalu bangkit, bermaksud ingin mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar sang putri, tapi dengan cepat Rafif meraih tangannya. "Ri, biarin aja, kamu nggak usah ikut ke sana.""Tapi, Mas, kalau Liana kenapa-napa gimana?" ucap Riana yang tak terima dengan sikap Rafif. "Udah biarin aja. Liana itu udah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada sama Damar. Kamu nggak boleh ikut campur. Lagian bisa jadi itu cuma gelas yang jatuh."Seraya mengempas napas kasar, Riana terpaksa menurut. Ia kembali duduk ke posisinya semula. Namun, tetap saja perasaannya tidak tenang. Terlebih setelah Rafif mengatakan kalau Liana tengah memendam kesal padanya. Di dalam kamarnya, Liana tengah memunguti pecahan gelas yang tidak sengaja Damar jatuhkan. Ibu jari kaki suaminya itu bahkan terluka karena terkena pecahan gelas. "Kamu si, Mas nggak hati-hati naro gelasnya." Setelah membersihkan pecahan gelas dan memastikannya bersih, Liana lalu m
Setibanya di rumah Damar, Liana langsung melaksanakan semua pesan Riana. Setelah meletakkan semua barang-barangnya di dalam kamar Damar, Liana langsung ikut sibuk di dapur, membantu ibu mertua menyiapkan makan malam. Tak lupa ia membuka semua oleh-oleh yang Riana bawakan dan ia sajikan di atas meja."Nduk, kamu nggak istirahat aja di kamar? Pasti kamu capek, kan?" ucap Sasti seraya tersenyum. Meski usianya sudah 65 tahun, tapi fisiknya masih sehat dan segar. Bahkan kata Damar, selama ini ibunyalah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Tanpa bantuan Asisten Rumah Tangga. Damar sudah berkali-kali menawarkan agar sang ibu memiliki ART, tapi Sasti selalu menolak. "Justru ibu harus banyak aktivitas, Mar, biar nggak gampang sakit. Seperti teman-teman ibu, tu. Dikit-dikit ada aja keluhan. Ya sakit pingganglah, masuk anginlah, asam uratlah. Pokoknya macam-macam, deh." Sasti beralasan. Akhirnya Damar hanya bisa menuruti keinginan sang ibu."Nggak apa, Bu. Liana nggak capek, kok." Lian
Riana lekas menelpon Damar, tapi tidak diangkat. Ia memutuskan akan membiarkan saja sosok asing di depan rumah, pura-pura tidak mendengar jika nanti ia mengetuk minta dibukakan pintu. Riana memejamkan matanya kuat-kuat dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia ketakutan seperti melihat hantu. Sekejap kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Dengan cepat Riana membuka selimutnya dan mengambil ponsel dari atas nakas. "Damar, syukurlah kamu menelpon," ujar Riana saat nama Damar terlihat di ponselnya. Benar sudah jika sosok di luar sana bukanlah Damar. "Kenapa, Ri? Kayak ketakutan gitu." "Di luar ada kamu.""Hah? Maksud kamu?""Maksud aku ada seseorang yang mirip kamu. Kayaknya dia Darma.""Kamu serius? Ya udah aku ke sana, ya. Kamu jangan lapor keamanan, ya, Ri. Takutnya mereka langsung membawanya ke kantor polisi. Siapa tahu dia memang Darma.""Iya, Mar. Aku juga berpikir begitu. Tapi tetap saja aku takut. Ngapain dia datang tengah malam begini?""Aku ke sana sekarang," ujar Damar
Setelah kunci terbuka, Rafif membuka pintu sambil melonggokkan kepala ke luar. "Mar, kamu sendirian?" ucap Rafif pada Damar yang baru turun dari mobil. "Iya sendiri. Riana mana?" "Tuh, ada di dalam." Awalnya Rafif merasa aneh karena tiba-tiba Damar menanyakan Riana, tapi akhirnya Rafif menyadari jika Damar pasti cemas karena tengah malam tadi Riana menelponnya. Merasa kalau situasi sudah aman, Riana ikut muncul. Sontak, matanya melebar karena di depan rumahnya ia hanya melihat Damar. Di mana Darma? Dan di mana mobilnya? Jelas-jelas tadi aku mendengar suara mobil masuk ke halaman. Aneka tanya meramaikan rongga kepala Riana. "Ri, mana Darma?" ucap Damar seraya menepuki nyamuk yang menggigiti kakinya. Wajar saja, saat itu ia hanya memakai boxer."Tadi dia di sini, Mar. Aku denger mobilnya parkir di sini. Mas, kamu tadi juga denger kan kalau ada orang yang ngetok-ngetok pintu?" ujar Riana dengan suara bergetar. Dia lalu menyapukan pandangan ke seluruh halaman tapi jejak-jejak keberada
Rasa kantuk Damar yang kembali muncul, bercampur dengan letih yang ia rasakan akibat menyetir tengah malam, membuat emosinya seketika tersulut. Ia mendekati Liana dan membentak Liana hingga Liana memucat. "Kamu jangan ngomong macem-macem! Ibumu tidak mungkin sehina itu!" Damar lalu masuk dan meninggalkan Liana yang langsung menangis. Hati Liana mendadak perih. Ia tidak menyangka jika Damar sampai membentaknya seperti tadi. Bahkan, kedua orang tuanya pun tidak pernah melakukannya. Dengan kemampuannya sebagai pengacara, Liana bisa saja membalas Damar dengan suara lebih keras, tapi ia tidak mau kurang ajar pada Damar. Rianalah yang mengajarkan kalau kita sebagai istri tidak boleh berkata dengan nada lebih tinggi daripada suami. Di tengah dadanya yang seperti terbakar, Liana mencoba menarik napas dalam untuk memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-parunya. "Aku baru tahu kalau kamu kasar, Mas. Bahkan, sama istrimu sendiri. Di dalam kamar, Damar yang masih dibakar emosi karena ditu
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal