"Ri, kau sudah mau pulang? Kalau iya, pulang saja duluan, Om masih ada meeting sama Mentri KumHam.""Iya, Om, sebentar lagi. Masih ada kasus yang harus dipelajari untuk sidang besok."Sejak lulus dari PKPA dan memperoleh sertifikasi sebagai pengacara aku kembali diminta Om Sahid untuk masuk menjadi salah satu timnya. Awalnya aku menolak, ingin bekerja di tempat yang lain saja. Karena kalau terlalu sering berada di kantor Om Sahid, kan, kemungkinan untuk bertemu Mas Daffi jadi semakin besar. Yah, sampai sekarang aku masih belum siap jika suatu hari nanti aku bertemu dengannya, padahal urusan perceraian kami juga belum selesai. Hatiku masih terluka karena perlakuannya dulu. Selama ini aku hanya bisa diam-diam mengamati Liana dari jauh saja tanpa sepengetahuan dari Mas Daffi. "Kasus apa? Ada yang perlu Om bantu?" keryitnya. "Biasa, Om. Kasus perceraian selebriti.""Oh, kalau itu, bisa lah kau tangani sendiri. Ya sudah, om duluan ya.""Iya, Om."Tak lama setelahnya, terdengar suara seseo
"Eh, Ri, jadinya si Daffi udah nanda tangani surat cerai? Kapan kalian mulai sidang?""Belum, Fif. Ga tau tuh, padahal udah lewat setahun, trus katanya si, dia juga udah nikah lagi sama Friska.""Hah, kok bisa?" Rafif mengalihkan pandangan ke arahku. Aku mengendikkan bahu. "Om Sahid bilang, nunggu surat itu ditandatangani Mas Daffi dulu, baru daftar ke pengadilan agama. Kayaknya si dia memang sengaja nunda prosesnya, biar gue sama Mas Daffi ga jadi cerai."Rafif mengangguk paham. "Tapi kalau elo-nya sendiri gimana? Memangnya beneran lo mau cerai sama Daffi? Nanti anak lo gimana?""Ga tau, ah, Fif. Udah ya, kita ga usah bahas itu terus," ucapku lalu mengerucutkan mulut. Jujur, membicarakan Mas Daffi dan Liana membuat perasaanku gerimis lagi. Aku tidak ingin kalau Rafif sampai melihatku menangis. "Lagian katanya tadi elo mau konsultasi, kok malah gue sih yang diinterogasi."Rafif tertawa lagi. Kelihatannya dia sedang bahagia. Kuperhatikan sejak tadi, ia sering sekali tersenyum. ***Kam
Selamat membaca. Ditunggu vote dan komennya ya Sahabat. Terima kasih. ***"Apa? Jadi dulu aku bebas, karena bantuan kamu, Ri? Dan karena aku juga, wajahmu jadi seperti itu!" seru Mas Daffi yang tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan Om Sahid. "Daffi? Kenapa tiba-tiba bisa ada di sini? Katamu nanti sore baru kau bisa datang?" tanya Om Sahid yang juga tampak sangat terkejut akan kehadiran Mas Daffi di ruangannya. "Iya, Om. Rapat pagi ini dibatalkan. Jadi kuputuskan untuk langsung ke sini. Yah, niatnya sih memberi sedikit kejutan pada, Om. Eh, malah aku yang mendapat kejutan." Sambil bicara, manik mata Mas Daffi terus menatap tajam ke arahku. Baru kusadari bahwa selama tujuh tahun kami menikah, baru kali ini ia sudi untuk menatap wajahku lebih dari lima menit. "Sebelumnya maaf, Om. Aku, ga, kasih kabar dulu. Aku yakin sih, Om pasti belum ada acara sepagi ini, makanya aku PD pasti ketemu sama, om."Om Sahid menghela napasnya. "Sini, Kau! Duduk sini! Ri, tolong kau sediakan minum untuk
Selamat membaca. Semoga suka ya. Ditunggu komentarnya. ***Hah? Apa katanya tadi? Dia itu sedang mengigau atau apa? Kenapa tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat begitu? Baru juga setahun kami tidak bertemu. "Kamu ... gimana kabarnya, Ri? Kenapa selama ini tidak pernah menghubungiku? Setahun kemarin hampir setiap hari aku mencarimu kemana-mana, tapi ternyata kita malah ketemu di kantor Om Sahid. Perasaan setiap satu bulan sekali aku berkunjung ke sana, tapi tidak pernah sekalipun melihatmu," ocehnya panjang lebar. Ya jelas saja kau tidak pernah melihatku, karena setiap kali kau datang aku akan sembunyi atau pergi dari kantor. Lagian untuk apa dia mencariku, bukankah seharusnya dia senang kalau aku pergi? "Baik, kabarku baik. Yah, beginilah. Seperti yang Mas bisa lihat sendiri.""Syukurlah. Oh iya, Ri, kok, aku baru tau kalau sekarang kamu jadi pengacara? Memangnya kapan kamu kuliah hukum?"Yah, Mas. Apa si, yang kamu tau tentang aku? Aku sudah bergelar sarjana hukum sebelum menikah
"Apa? Kamu tau dari mana, Ri?""Waktu kemarin aku menjenguk Liana di rumah sakit, Friska sendiri yang mengatakannya padaku."Mata Mas Daffi membulat. Tiba-tiba tangannya memegangi kepala. "Mas, Mas Daffi kenapa?"Ia hanya diam dan terus mengerang kesakitan. Pasti sakit kepalanya kambuh lagi. "Ayo, Mas, Riana bantu jalan ke mobil. Kita ke apartemen saja. Mas butuh istirahat." Mas Daffi tetap tidak menjawab, ia hanya menuruti semua perlakuanku. ***"Ini, Mas diminum dulu obatnya." Kuberikan sebutir obat berwarna hijau dan segelas air kepada Mas Daffi, kemudian membantunya untuk minum. Mas Daffi yang berbaring di sofa ruang tamu apartementku mencoba bangun. "Makasi, ya, Ri. Kamu memang yang paling tau apa yang kubutuhkan saat sakit kepalaku sedang kambuh."Mas Daffi lalu berbaring kembali. "Mas pasti kurang tidur. Pasti makan makanan yang asin-asin terus, makanya sakit kepalanya tiba-tiba dateng lagi."Mas Daffi hanya diam, lalu tersenyum. "Jadi waktu itu, kau sempat datang menjengu
"Riana, Mas tau salah mas padamu begitu besar. Sikap Mas dulu sangat keterlaluan dan rasanya tidak pantas menerima maafmu. Bahkan tanpa tau kalau kau yang telah menyelamatkan nyawa mas, Mas malah terus saja menghina dan menyakiti perasaanmu. Maafkan, Mas ya, Ri. Jika diizinkan, Mas mau membayar semua kesalahan Mas padamu kemarin. Kembalilah ke sisiku, Ri. Mas janji mulai saat ini, Mas akan selalu membuatmu bahagia," ucap Mas Daffi seraya menatapku lekat. Perlahan detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sikap Mas Daffi tadi begitu berbeda dan penuh ketulusan. Tidak ada sedikitpun sikap sombong seperti Mas Daffi yang kukenal dulu. "Mas, jangan begini." Aku mengalihkan pandangan sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya, tapi bukannya terlepas, ia malah memegangku semakin kuat. "Bangun, Mas.""Aku ga akan bangun sebelum kau jawab, Ri. Please, katakan kalau kau mau kembali pulang ke rumah bersamaku. Demi kebahagiaan Liana, Ri, putri kita." "Maaf, Mas. Saat ini aku belum
"Ibuuu!" Liana berlari menghampiriku. Ia memeluk tubuhku yang masih terkejut akan kehadirannya. "Ibu, maafin Liana, ya, Bu. Liana salah. Liana sudah jahat sama ibu. Liana bukan anak yang baik. Ibu jangan pernah tinggalkan Liana lagi ya, Bu. Liana kangen sama ibu," isaknya sambil mengeratkan pelukan. Tanpa bisa ditahan lagi, air mata sudah memenuhi kedua pelupuk mataku. Perlahan tapi pasti turun semakin deras membasahi seluruh wajah. Tubuhku merosot ke bawah demi menyejajari tinggi Liana, lalu membalas pelukannya. "Liana, Liana anak ibu," tangisku pecah. Rasanya baru kali ini gadis kecilku memeluk tubuhku erat dengan penuh kasih seperti sekarang ini. Bahkan dia tidak merasa jijik dan takut padaku. Dia juga bilang kangen padaku. "Ibu udah ga marah, kan, sama Liana? Ibu mau maafin Liana, kan?" "Ibu ga pernah marah sama Liana. Ibu sayang sekali sama Liana."Dalam beberapa menit, kami berdua larut dalam isak tangis. Hingga kehadiran Mas Daffi menghentikan semuanya. "Oh, pantas saja ke
"Bu, ibu mau, kan, pulang lagi ke rumah sama Liana?" Liana kini mendekat ke kursi depan. Ia sedikit mengguncang-guncang lengan kananku. Beruntung mobil Mas Daffi sudah tiba di halaman kantor Om Sahid jadi aku masih punya alasan untuk menunda jawaban pada Liana. "Mmh, Sayang, sekarang Ibu harus kerja dulu, ya. Liana juga kan harus sekolah." Aku membuka pintu mobil lalu bersiap turun, diikuti Mas Daffi dan Liana. "Liana ga mau sekolah. Liana mau ikut ibu kerja aja," rengeknya. "Ya, Pa, ya? Liana ga usah sekolah ya hari ini. Sehariii aja. Boleh, kan, Pa?" Gadis kecil itu kembali menempel padaku. Aku memandang Mas Daffi, memberi kode dengan mata agar ia tidak mengabulkan permintaan Liana. "Baiklah, Liana boleh ikut ibu. Tapi janji, ya, ga boleh nakal dan gangguin ibu kerja.""Asik, makasi, ya, Pa. Liana janji." Gadis kecil itu tampak begitu bahagia. Sambil tersenyum, ia memeluk erat Mas Daffi. "Ta, tapi ....""Riana, ga pa-pa, kan, kalau hari ini Liana ikut denganmu? Hanya sehari saja