pov Author "Iya, sih. Tapi sikap Daffi yang selalu menolak setiap kali kudekati jadi bikin aku curiga, Tante.""Mungkin aja dia memang lagi butuh waktu sendiri untuk menenangkan dirinya, Fris. Ga ada salahnya kalau kita kasih dia waktu. Mungkin besok-besok ingatannya bisa pulih.""Jangan sampai Daffi inget lagi, dong, Tan. Gimana, sih? Nanti dia balik lagi sama si Riana itu gimana?"Juwita sadar kalau ia tadi salah bicara."Oh iya, jangan-jangan. Tante mau dia di sini aja. Biarpun dia belum berguna apa-apa, tapi setidaknya nanti tante bisa manfaatkan dia untuk membantu mencairkan semua harta warisan Asmoro.""Nah, begitu baru benar, Tan." Friska tersenyum lebar. "Jangan lupa kasih ini sama Daffi. Ga usah banyak-banyak. Setidaknya buat ia merasa enjoy dan keenakan dulu. Doktrin pikirannya tentang 'manfaat' mengenai bubuk putih ini. Nanti kalau dia sudah merasa ketergantungan, baru kita kurangi pelan-pelan. Kita buat dia sakau dan memohon-mohon agar kita mau ngasih dia."Friska tertawa
Pov Rafif 1Rizki Anindya Fifliando. Orang-orang biasa memanggilku Rizki. Namun, saat memasuki Sekolah Menengah Atas, aku merasa panggilan Rafif lebih keren.Ada seorang gadis yang sudah lama menarik perhatianku. Dia gadis yang sangat manis, bahkan menurutku cukup cantik. Selain itu, dia juga pintar dan baik. Beberapa kali dia suka membantuku saat sedang mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan lainnya. Dia berasal dari keluarga sederhana. Yah, samalah sepertiku. Ayahnya hanya seorang pemungut sampah yang kini bekerja pada seorang pengacara yang cukup terkenal di negeri ini. Berkat pengacara itulah, Riana, nama gadis itu, bisa melanjutkan sekolah . Riana termasuk gadis yang suka menyendiri. Setiap jam istirahat, ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada harus pergi ke kantin. Apakah dia sedang tidak punya uang? Entahlah. Ia juga seringkali menolak saat ditawari akan kutraktir. Walaupun aku menyukainya, tapi sampai saat ini aku belum mengatakan apapun pada Riana.
Pov Rafif (2) Sahabatku sendiri, Frans. Sahabat yang sejak ia tergabung dengan komunitas balapan liar mulai mendekati barang haram yang bernama narkoba. Sudah berkali ia kuperingatkan, tapi dengan sikap keras kepalanya malah mengusirku agar tidak lagi ikut campur dalam urusannya. Sejak itu, hubungan kami jadi jauh dan jarang lagi berkomunikasi. Di rumahnya pun, aku jarang bertemu Frans, karena ia lebih sering pulang malam dan menghabiskan waktu bersama teman-teman barunya. Setelah kupikir lagi ga ada salahnya aku membantu Riana untuk memberi sedikit pelajaran pada Frans yang sudah cukup jauh melangkah. Lagi pula aku yakin dengan pengaruh ayahnya, Frans akan bisa dengan mudah dibebaskan. Namun, ternyata aku salah. Keputusanku membantu Riana malah menyebabkan ia mengalami hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Begitu pula dengan Frans. Tepat sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Riana memintaku untuk mengantarnya ke tempat Frans biasa nongkrong bersama teman-temannya. Ia ber
Pov Rafif (3) Gimana cara gue bayar minumannya? Mau kasih jaminan KTP juga ga bisa. Semua kartu Identitas penting ada di dalam dompet! Sial banget gue hari ini! "Mas, sorry, dompet saya hilang. Saya minta waktu sehari ya buat bayar minuman saya tadi. Saya janji besok malam ke sini lagi," pintaku pada pemuda yang kutaksir berusia dua puluhan tahun itu. Ia sedang sibuk meracik bahan minuman untuk disajikan kepada tamu selanjutnya. "Ga bisa, Mas. Harus dibayar sekarang.""Tapi dompet saya hilang, Mas. Semua kartu mulai dari KTP, ATM semua juga ikut hilang.""Itu bukan urusan saya, Mas."Kumendengkus kasar seraya berpikir bagaimana cara agar aku bisa mengganti uang minuman tadi dan segera pergi dari sini."Kalau saya ganti dengan cuci piring aja, gimana?" tawarku. Ia menggeleng. "Nanti saya yang kena tegur bos.""Masukin ke tagihan gue, Boy," ujar gadis yang tadi mengajakku berkenalan. Ia bicara pada sang bartender. "Ga usah, Mba. Makasi."Ia kembali tersenyum. "Kalau lo ga bisa bayar
"Hallo!" jawab suara seseorang yang kukenali sebagai suara Friska di ujung telepon. "Friska? Kok, Lo, yang jawab?"Sambungan seketika langsung dimatikan. Aneh. Sebenarnya ada apa lagi ini? Degup jantung yang kembali melaju cepat seakan menambah keyakinan bahwa Mas Daffi benar-benar sedang dalam keadaan tidak baik. Tanpa berpikir lama, aku berencana segera keluar rumah dan menuju rumah Mama Juwita tempat Mas Daffi berada saat itu. Tak lupa sebelumnya aku pamit dan mencium kening Liana yang sudah terlelap. Ia menggeliat pelan. Namun, matanya tetap terpejam. "Ibu pergi dulu, ya, Nak. Liana hati-hati, ya, di rumah sama Bik Sumi. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali memandangi wajahnya lebih lama lagi, tapi karena waktu sangat terbatas membuatku tidak bisa melakukannya. "Lho, Bu? Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Sumi yang masih asik menonton televisi. "Apa ga bisa ditunda sampai besok pagi, Bu?""Saya ada urusan penting sebentar, Bik. Ga bisa ditunda. Oh iya, Bik, titip Lia
Hanya dalam waktu kurang lebih dua jam aku tiba di rumah Mama Juwita. Sengaja kuminta supir untuk berhenti lebih menepi ke arah rumah yang berada di seberangnya. Melalui pagar besi hitamnya yang cukup berjarak, dari sini aku bisa melihat kalau tidak ada siapapun yang terlihat bertamu. Suasananya tampak biasa. Namun, mobil Mama Juwita masih terlihat di garasi. Apa mereka ada di dalam? Atau sedang pergi tapi menggunakan mobil Friska? "Maaf, Bu. Kita sudah sampai."Suara supir taksi online yang kunaiki menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya, Pak, maaf. Ini ongkosnya." Setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna merah aku segera turun. Untungnya di sepanjang pinggir jalan dekat rumah Mama Juwita banyak berdiri pohon besar. Sehingga memudahkanku untuk menyembunyikan tubuh. Tak lama kemudian mobil jeep hijau lumut berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Dari dalamnya keluar seseorang yang menggunakan jaket hitam. Ia menghampiriku yang masih berdiri di posisi semula. Sedangkan satu orang pe
Mama Juwita menatapku nanar. Napasnya naik turun cukup cepat. Nampaknya ia sedang berusaha menahan emosi yang mulai datang. "Kamu, jangan sembarangan ngomong, ya! Perbuatan kriminal apa yang kamu maksud?" Friska ikut bicara. "Jangan pura-pura gak tau, Fris! Kamu sebaiknya hati-hati. Nanti setelah menemukan cukup bukti, aku sendiri yang akan menjebloskanmu ke penjara." Wajah putih Friska mulai memerah. Sepertinya kata-kataku tadi berhasil memancing amarahnya. "Buktikan! Buktikan aja kalau kamu bisa. Tapi sebaliknya, kalau kamu ga bisa ngasih bukti atas ucapanmu tadi. Kamu akan aku tuntut balik!" ancam wanita yang malam ini kembali tampil memukau dengan dress hijau lumutnya. "Pak Gitooo! Siapa yang izinkan wanita kampungan ini masuk? Kan, sudah saya perintahkan kalau dia dilarang keras masuk ke rumah ini! Kamu berani melanggar perintah saya? Mau saya pecat, hah!"Pak Gito yang mendengar teriakan Mama Juwita tergopoh-gopoh masuk. "Maafkan saya, Nyonya. Tadinya saya juga tidak mengizin
Tanpa menunggu lama segera kutelepon nomor itu. Tersambung tapi tidak diangkat. Mungkin ia belum sempat mematikan ponselnya. Kucoba lagi beberapa kali tapi hasilnya tetap sama. ***Tepat pukul tujuh malam aku sudah bersiap untuk kembali keluar rumah. Alasanku pada Bik Sumi masih sama seperti kemarin. Begitu pun pada Liana yang mengajukan banyak sekali pertanyaan. Ia juga mengeluh karena malam ini ia kembali harus makan malam berdua saja dengan Bik Sumi. Untung saja ia bisa mengerti setelah kuyakinkan kalau aku hanya akan pergi sebentar. Maafin ibu, Sayang. Ibu hanya ingin menolong papamu.Kali ini kuputuskan untuk pergi seorang diri menuju lokasi, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Persiapan yang kulakukan juga lebih matang. Alat perekam dan kamera super mini sudah berada di genggaman. Restoran Malabar yang dimaksud oleh si pengirim pesan malam ini tampak ramai. Banyak orang datang berkunjung di jam makan malam seperti sekarang. Aku memesan meja di sudut resto
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal