Drama rumah tangga sudah berakhir, Ina sudah terlelap di tempat tidurnya dengan nyenyak. Dan sekarang, Amir sudah bebas untuk merencanakan sesuatu. Beberapa hari lagi, istrinya itu akan berulang tahun. Amir berencana akan memberikan kejutan kecil. Dinner yang romantis dengan dua tiket honeymoon ke Maldives sebagai hadiahnya. Ah, bukankah itu sangat manis? Tentu saja Ina akan sangat menyukainya. Membayangkan senyum bahagia istrinya saja, membuat dada Amir menghangat.
Lalu, Amir mencari referensi restoran yang bagus. Matanya menangkap salah satu gambar sebuah restoran di daerah puncak. Di sana terlihat lampu yang berkelap-kelip ketika malam hari. Seketika menampilkan pemandangan yang begitu indah dan sangat cantik. Amir segera menyimpan nomor telepon yang tertera dan ia akan menghubungi besok pagi. Menyiapkan semuanya dalam satu hari, untung saja bosnya itu sangat baik pada Amir. Menjadikan Amir sebagai anak kesayangannya di kantor. Kadang, ia merasa bersyukur. Karena denganSemua sudah Amir siapkan, mulai dari restoran untuk dinner, dua tiket ke Maldives, dan buket bunga yang cantik. Hari ini, Amir berencana untuk menjemput Ina di butik. Ya, istrinya itu memutuskan untuk pergi ke butik karena merasa kakinya sudah baik-baik saja. Akhirnya pun juga setelah beberapa pertimbangan, Amir mengijinkannya. Karena ia juga merasa kasihan jika melihat Ina yang hanya diam di rumah tanpa mengerjakan apa pun.Hari ini, dirinya memang tidak masuk bekerja. Berangkat pun hanya alibi, dan yang sebenarnya terjadi ia tidak benar-benar pergi ke kantor karena seharian ini ia menyiapkan semuanya. Ia pun juga sudah rapi dengan pakaiannya dengan sneakers menjadi alas kaki. Tadi, sebelum memutuskan pergi ke butik ia sudah memesan buketnya terlebih dahulu. Mawar merah dan tulip merah menjadi pilihannya kali ini. Kedua bunga itu sudah disusun secara rapi. Ukurannya tidak terlalu besar ataupun kecil tapi mampu untuk istrinya peluk dengan erat, dan buketnya sudah berada di
Ina tak henti-hentinya terkejut dengan mulut yang menganga. Berulang kali, ia berdecak kagum dengan kejutan yang telah diberikan Amir untuknya. Begitu Amir melepaskan kain yang menutup matanya, Ina disuguhkan dengan sebuah meja dengan dua kursi, lengkap dengan makanan yang tersaji di atas meja, dan satu mini cake berbentuk menara Eiffel. Lalu di hadapannya hamparan lampu kota yang berkelap-kelip memanjakan mata. Begitu indah, sangat-sangat indah. Kenapa sangat romantis sekali suaminya ini. Batin Ina dengan hati yang berbunga-bunga.Dan tiba-tiba saja, semua menjadi gelap. Tubuh Ina bergeser, meringkuk pada Amir, “Ai. Kok gelap?” tanyanya bingung.Amir diam tidak berniat menjawab pertanyaan istrinya itu, di dalam kegelapan ia tersenyum penuh arti. Di dalam hati, ia menghitung mundur. Tepat di hitungan satu, lampu kembali menyala tapi berbeda dan sekali lagi mampu membuat Ina menganga terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya di depan. “Aiii,” gumamnya penuh keterk
Hari yang ditunggu-tunggu Ina akhirnya tiba juga, di mana ia dan Amir akan berangkat berlibur sekalian untuk bulan madu lagi setelah sekian lama. Untung saja, Amir membelikan obat berupa salep yang begitu mujarab untuk kakinya. Karena sekarang, luka di kaki Ina sudah sembuh dan benar-benar kering. “Udah lengkap semuanya, ai?” tanya Amir pada Ina. Wanita itu menganggukkan kepalanya, lalu mengacungkan jempol. “Semua sudah beres, bos!”Amir terkekeh. “Sip, berangkattt!” serunya sembari menarik dua koper yang berada di tangan kanan dan kirinya. Sedangkan Ina, wanita itu mengekor di belakang Amir sembari menenteng tas warna peach bermereknya. Mereka masuk ke dalam mobil, dan Amir mulai menginjak pedal gasnya, membelah jalanan Bogor di pagi hari untuk menuju bandara Soekarno Hatta. “Ai, berangkatnya jam berapa?” tanya Ina menoleh ke arah Amir.“Jam sebelas,” balasnya tanpa menoleh ke arah istrinya karena fokus pada kemudi.Ina menganggukkan k
Ina bangun pagi sekali untuk menikmati sunrise, meninggalkan Amir, suaminya yang masih bergelung di balik selimut. Karena tumben sekali, sehabis sholat subuh tadi, Amir memutuskan untuk tidur kembali. Sepertinya karena pria itu yang kelelahan. Dengan bertelanjang kaki, Ina melangkahkan kakinya yang berpijak pada pasir pantai. Dress selutut tanpa lengan bergerak-gerak mengikuti arah angin, begitu pun dengan surai hitamnya. Jarak antara penginapan dan pantai sangat dekat, keadaan pantai pun belum terlalu ramai. Masih beberapa orang yang datang, tentu dengan para pasangannya.Ina memilih untuk mendudukkan diri di atas pasir, sembari menunggu matahari terbit. Angin yang berhembus dengan damai membuat Ina memejamkan matanya. Menikmati setiap hembusan angin yang menyapu wajah cantik dan surai hitamnya. Tadinya, Ina ingin membangunkan Amir, mengajak suaminya itu untuk menikmati sunrise bersama, tapi melihat Amir yang begitu nyenyak membuat Ina tidak tega membangunkan. Ia berpikir, masih ada
Karena Amir juga merasa, Ina telah menjahilinya—membuat ia mendadak juga memiliki sebuah ide. Tanpa aba-aba Amir menggelitiki Ina membuat istrinya itu tertawa terbahak.“Ih geli, ai! Berhenti, nggak!” serunya masih dengan tawa yang berderai.“Ampun nggak?” tanya Amir, “abisnya iseng banget sih.”“Yakan aku iseng juga karena kamu.” Ina masih saja tertawa, “u-udah ai, ampun,” lanjutnya lagi dengan terbata. Amir menghentikan gelitikannya, lalu memilih merapatkan tubuhnya pada tubuh istrinya dengan memeluk mesra dari belakang. “Ai,” panggilnya.“Hmmm?” tanya Ina bergumam.“Aku cinta kamu!” kata Amir dengan ringan penuh kelembutan. Ina tersenyum dalam diamnya. “Aku juga cinta kamu. Cinta ... cinta banget malah!” balasnya.“Janji yah kita harus selalu bersama, sampai maut memisahkan?” tanya Amir.“Tumben tanya gitu?” kata Ina menoleh.“Pengen aja,” balas Amir tersenyum simpul.Ina mengangguk. “Apa pun itu aku percaya, kamu adalah jodohku. Suami aku, pelengkap hidup aku.”“Tau apa ketakuta
Amir menghentikan langkahnya ketika merasa mereka akan segera sampai, dengn cepat tangannya meraih pergelangan tangan Ina membuat wanita itu sontak menghentikan langkahnya dan berbalik. "Kenapa, ai?" tanyanya."Sebentar," kata Amir memberi kode untuk berhenti."Tutup mata ya," lanjutnya."Kok tutup mata?" tanya Ina menaikkan sebelah alisnya."Udah tutup mata aja.""Nanti kalo jatuh gimana?""Kan ada aku yang jagain kamu, masa kamu tutup mata aku tinggal gitu aja," kekeh Amir geli."Oke, tutup mata." Kata Ina mulai menutup matanya dan mulai memegang tangan Amir dengan erat.Amir menuntun Ina perlahan, keduanya jalan penuh kehati-hatian menuju tempat untuk dinner. Di sana, semua sudah ditata sedemikian rupa. Lampion-lampion untuk penerang tertata rapi, berjajaran. Bibir pantai menyala biru di tengah gelapnya pantai. Amir menghentikan langkahnya, "Jangan buka mata dulu ya." katanya.Amir menarik kursi, dan menuntun Ina untuk duduk di kursi. "Udah boleh buka mata?" tanya Ina."Udah boleh,
“Stop bikin muka kayak gitu, bikin gemes tahu nggak.” Amir menangkup wajah Ina, membuat mereka berhadapan dengan manik mata yang saling mengunci satu sama lain. Amir menjepit pipi gembul istrinya itu hingga bibir Ina terbentuk seperti bibir Donald Duck. Lalu, tangannya menggoyang-goyangkan kepala Ina. “Lucu... lucu... lucunya istri aku....”Ina memicingkan matanya, “Apa-apaan,” gumamnya terbata. “Jangan digituin, nanti kamu makin cinta sama aku.”“Nggak perlu ngomong gitu aku juga udah makin cinta sama kamu,” balas Amir terkekeh melepaskan tangannya pada pipi istrinya itu.Ina mengusap pipinya, “Pasti merah nih.”“Iya merah, merah karena malu kan kamu,” Amir terkekeh membuat Ina memutar bola matanya.“Nggak karena malu, tapi sakit!” balas Ina kesal.Amir tidak menanggapi kalimat Ina lagi, memilih untuk menarik tubuh istrinya itu mendekat–membawanya pada pelukan. “Karena hari ini, hari terakhir kita di sini harus dimanfatin dengan baik,” Amir menarik kepala Ina agar menghadap ke arahn
Ina menundukkan kepalanya, “Malu aja sama kamu. Pemikirannya dewasa, sedangkan kadang aja aku masih kekanak-kanakan.”“Kenapa harus malu?”“Ya malu aja. Nggak bisa ngimbangin kamu, jadi ngerasa gagal sebagai istri kamu.”“Ssst, nggak boleh ngomong gitu,” kata Amir. “Siapa bilang kamu gagal jadi istri aku?”“Aku yang bilang,” balas Ina.“Nggak, bagi aku kamu nggak gagal. Justru di mata aku itu kamu istri yang sempurna. Dan aku beruntung punya kamu.”“Ai, lihat aku,” lanjut Amir memegang bahu Ina, membuat wanita itu mendongak.Pandangan mereka mengunci satu sama lain.“Ketika dua manusia dipersatukan dalam ikatan suci, itu nggak peduli kekurangan satu sama lain. Dua manusia yang saling mencintai itu dipertemukan untuk saling melengkapi satu sama lain. Ibaratnya, jika pasangan kita tidak bisa melihat, kita yang bisa melihat itu sebagai matanya. Jika tidak bisa mendengar, ada telinga kita yang masih normal untuk mendengarkan.”“Ini bukan tentang dewasa atau tidaknya kita. Ini tentang apak