Suara Keevan berseru dengan lantang dan sukses membuat langkah kaki Arletta terhenti. Tampak wajah Arletta memucat. Tenggorokan wanita itu tercekat. Lidahnya kelu. Otaknya seketika menjadi blank.Arletta merasakan darahnya seperti berhenti mengalir dan terhenti tepat di kepalanya. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya tubuh Arletta nyaris terhuyung ke belakang mendengar ucapan Keevan. Namun, mati-matian Arletta memperkokoh kakinya agar tetap berdiri tegak. Dada Arletta bergemuruh tak menentu. Segala hal yang dia rasakan begitu amat campur aduk. Emosi, marah, benci, dendam, kecewa—semua telah bercampur menjadi satu—membuatnya seakan kehabisan energy.Akan tetapi, Arletta berusaha untuk setenang mungkin sekalipun kondisi hatinya sedang sangat amat kacau. Detik selanjutnya, Arletta membalikkan tubuhnya—menatap Keevan dengan mata yang memiliki jutaan arti. Napas Arletta memburu. Emosi seakan ingin meledak kala mengingat apa yang dikatakan oleh pria itu.“Apa maksudmu, Keevan?” seru A
#Flashback On “Ah, lelahnya. Kenapa mereka suka sekali menjemur anak baru? Kulitku pasti sudah hitam gosong. Menyebalkan sekali. Huh!” Arletta melangkah masuk ke dalam kampus. Gadis itu baru saja selesai upacara. Entah kenapa senior kampusnya itu suka sekali menjemur anak baru.Masa OSPEK memang sangat melelakan. Lihat saja dirinya harus memakai kaus kaki tinggi warna merah yang tampak memalukan. Ditambah sepatu yang warnanya tak sama. Tak hanya itu saja, rambut pun diikat kuda menggunakan tali rapia. Astaga! Arletta sudah tak lagi bisa membayangkan betapa buruk penampilannya itu. Sungguh, melihat ke cermin pun Arletta tak berani. Dia yakin penampilannya benar-benar sangatlah kacau.Arletta menarik napasnya dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Gadis itu menyeka keringat yang muncul di pelipisnya. Tenggorokan Arletta mengering. Sudah lebih dari dua jam dirinya berada di tengah lapangan, jelas saja kalau dia sekarang haus. Detik selanjutnya, Arletta melangkah menuju kantin yang ada
#Flashback On “Oh, astaga. Jam berapa aku harus menunggunya? Kenapa Keevan belum juga muncul?” Arletta berdiri tak jauh dari ruang kelas Keevan. Gadis itu masih lengkap memakai atributnya. Kaus kaki berwarna merah. Sepatu warna yang tak sama. Serta tali rapia yang mengikat rambut panjangnya.Sungguh, penampilannya ini memang sangat memalukan. Tapi Arletta bisa apa? Daripada dia harus kembali berdebat dengan para senior, lebih baik Arletta masih memakai atributnya yang sangat memalukan itu.Saat ini yang Arletta fokuskan bukanlah masa-masa OSPEK. Dalam hati dan benak Arletta yang dia pikirkan hanya Keevan dan Keevan. Sejak pertemuan pertamanya dengan Keevan—laki-laki itu berhasil memorak-porandakan hatinya.Bahkan Arletta sampai tidur terlambat hanya karena membayangkan sosok Keevan. Ya, ini adalah bentuk kegilaan Arletta. Gadis itu telah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Keevan. Bahkan kali ini saja Arletta sampai rela menunggu hampir tiga puluh menit di depan ruang kelas Keevan.Sua
Lidah Arletta kelu. Tenggorokannya tercekat. Wanita itu seolah kehilangan cara bagaimana cara merangkai sebuah kata. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya, tubuh Arletta nyaris terhuyung ke belakang kala mendengar semua kisah masa kuliahnya dulu dengan Keevan. Dalam benak Arletta berpikir kalau semua yang Keevan katakan adalah tak mungkin. Jelas Arletta tahu kalau Keevan selalu menolaknya bahkan mengabaikannya.Tidak! Arletta yakin ini semua hanya permainan Keevan saja! Arletta tak mau jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya! Sudah cukup dirinya menjadi gadis naif dan bodoh. Dia tidak ingin lagi mengulangi kesalahan yang sama.Arletta menatap serius Keevan. Sorot matanya nampak memendung kebencian mendalam dan tersirat penuh luka. Mata Arletta sudah berembun nyaris mengeluarkan air mata.“Hentikan sandiwaramu! Aku nggak bodoh, Keevan. Aku tau semua ucapanmu itu omong kosong. Sejak awal kamu nggak pernah tertarik ataupun suka sama aku.” Keevan terdiam mendengar respon Arlett
Arletta memeluk lututnya dengan derai air mata yang sejak tadi tak terhenti. Wanita itu bersimpuh di lantai kamarnya yang dingin. Tangis yang menunjukkan jelas kepiluannya. Setelah perdebatannya dengan Keevan, tak ada yang bisa Arletta lakukan selain menangis.Ribuan kali Keevan menjelaskan padanya tetap saja Arletta tak akan pernah percaya. Arletta yakin bahkan sangat yakin kalau Keevan tak pernah menginginkannya. Semua ucapan Keevan tentang masa-masa kuliah mereka dulu hanya omong kosong.Arletta sangat mengingat kala Keevan selalu menganggap dirinya seperti virus yang wajib dijauhi. Berkali-kali dulu Arletta mendekat tapi Keevan mengusirnya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar hanya agar dirinya pergi.Tentu Arletta mengakui betapa bodohnya dirinya di masa lalu. Ditolak tapi tetap mengejar. Gadis naif dan sangat bodoh itu adalah gambaran dirinya di masa lalu. Namun, Arletta tak akan pernah membiarkan itu terjadi. Cukup di masa lalu dirinya menjadi gadis bodoh dan naif. Tida
Suara Keevan menegur Arletta dengan nada pelan namun tegas. Terlihat Arletta sedikit terkejut mendengar teguran Keevan. Akan tetapi buru-buru Arletta berusaha bersikap tenang seolah tak terjadi sesuatu apa pun.“Temanku.” Arletta menjawab pertanyaan Keevan dingin dan acuh. Wanita itu membuang wajahnya tak mau melihat Keevan.Sejak perdebatannya tadi malam dengan Keevan, Arletta memang memutuskan tak lagi memedulikan ucapan Keevan. Hingga detik ini wanita itu masih tinggal di rumah Keevan karena pria itu memaksa bukan karena keinginan dirinya.Keevan menatap Arletta penuh dengan tatapan yang bermakna curiga. Entah kenapa pria itu mencurigai sesuatu. Pasalnya raut wajah Arletta menunjukkan jelas seperti tengah ada yang ditutupi.Ingin sekali Keevan merampas ponsel Arletta dan melihat sendiri pesan itu, namun Keevan tidak ingin mencari keributan. Terlebih ada Keanu di tengah-tengah mereka. Mau tak mau Keevan berusaha untuk menepis kecurigaannya dan memilih percaya dengan ucapan Arletta.
“Ma, sebenarnya kita mau pergi kemana, Ma?” Suara Keanu bertanya dengan tatapan polos menatap Arletta—yang terlihat seperti tengah menunggu seseorang. Sejak tadi Arletta mondar-mandi tidak jelas di hadapan Keanu. Itu yang membuat Keanu bingung. Bocah laki-laki itu duduk di sofa sambil memeluk robot dan mobil-mobilannya. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap ibunya.Arletta mengatur napasnya, berusaha untuk setenang mungkin di kala pikirannya benar-benar dilingkupi rasa cemas yang mendalam. Berikutnya, langkah wanita itu terhenti kala mendengar pertanyaan putranya itu.Beberapa detik Arletta hening belum menjawab pertanyaan putranya. Otaknya berusaha mencari-cari jawaban yang paling tepat. Yang pasti dia tidak ingin membuat putranya mencurigai sesuatu.Arletta mendekat dan berucap lembut, “Kita akan pergi ke tempat yang jauh, Sayang. Keanu selalu ikut Mama, kan, Nak?”Mata Keanu mengerjap beberapa kali menatap Arletta dengan tatapan yang bingung dan tak mengerti. “Ke tempat yang jau
Suara bentakan keras dan menggelegar sontak membuat tubuh Arletta mematung. Seketika raut wajah Arletta memucat. Tubuh wanita itu menegang. Dia merasakan darahnya seperti terhenti tepat di kepalanya. Debaran jantung Arletta berpacu tak karuan. Tenggorokan Arletta tercekat. Napasnya bahkan seakan ingin berhenti mendengar suara berat yang begitu familiar di telinganya.Perlahan Arletta memberanikan diri untuk mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak sepasang iris mata cokelat di hadapannya sudah memberikan tatapan tajam—dan penuh peringatan sekaligus amarah yang menggebu.“K-Kevan?” Arletta menelan salivanya susah payah kala melihat Keevan ada di hadapannya. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya, tubuh Arletta nyaris terhuyung ke belakang. Andai saja Arletta tak ingat kalau dirinya sedang menggendong Keanu—maka sudah pasti dia akan terjatuh akibat rasa terkejut.Arvin bergeming di tempatnya kala melihat Keevan. Benak Arvin bekerja akan apa yang Keevan ucapkan tadi. ‘Mer