"Arumi mengancam akan bunuh diri, dan ada orang lain yang mengancam akan menyebarkan video yang direkamnya secara diam-diam. Mungkin sebenarnya bukan Arumi, tapi ada pihak yang memanfaatkan Arumi untuk memerasku," jelas Ray dengan lebih runtut."Jadi selama ini, aku terpaksa bolak-balik menemui Arumi untuk mengajaknya ke psikolog. Aku terpaksa, sebenarnya kemarin waktu di rumah sakit dia juga terus menggangguku." Ray akhirnya berani berterus terang. Padahal Sepia sudah lebih dulu menaruh curiga. Hanya saja ternyata kecurigaan itu salah."Siapa?" Sepia masih duduk di sebelahnya.Sekarang kondisi hatinya sudah jauh lebih tenang dan mampu mengerti. Barangkali do'a dan dukungan yang diberikan ibunya bak menjadi penawar atas racun yang membuatnya merasa sakit.Ray menggeleng, "Entah, aku masih belum bisa memastikan siapa identitasnya. Yang pasti orang itu bukanlah orang asing, bukan juga orang sembarangan.""Kalau memang orang itu mengancam, kenapa tidak lapor pada pihak nerwajib saja Ray
Derap langkah kaki Ray memecah keheningan pagi."Aku harus berangkat lebih awal sayang," kata Ray yang menuruni anak tangga dengan tergesa sembari mengancingkan lengan kameja yang dikenakannya.Sepia tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Mendengar Ray berbicara seperti itu, membuatnya kesal dan sengaja menghentakkan gelas yang diletakkannya dengan cukup keras ke atas meja."Karena Arumi kamu sampai meninggalkan sarapan terus?" Semakin hari ia semakin muak karena Ray bahkan sering sekali pergi begitu saja tanpa memberitahukan apa dan mau kemana. Tujuannya apalagi kalau bukan Arumi. Menemaninya ke psikiater lah, kemana lah."Sayang ak-""Entah Arumi memang mengidap skizofrenia benar atau tidak aku gak peduli Ray. Harusnya kamu gak bersikap berlebihan seperti itu, pertama Arumi itu hanya orang asing, kedua bukan urusan kita dan bukan urusanmu. Kalau memang kebenarannya ada yang mengancam kita, biar aku saja yang melaporkan ke pihak berwajib kalau kamu tidak bisa. Atau jangan-jan
“Luar biasa sih lo. Gue masih gak habis pikir, kok bisa dosen segalak Pak Hada masih bersikap lemah lembut sama lo Mi!” Dua orang perempuan tampak tertawa di depan pintu. Mereka berdua tidak sadar bahwa tidak jauh dari mereka, Sepia sedang berdiri memperhatikan mereka. Sudah lama sekali Sepia menunggu kebenaran yang mungkin akan sangat menyesakkan.Bisingnya suara yang memenuhi lorong-lorong kampus menjadi suara sumbang yang membuat percakapan kedua perempuan itu tidak terdengar begitu jelas di telinga Sepia.Perempuan berambut pirang yang mengenakan baju berwarna krem menimpali dengan tertawa kecil. “Orang kayak Pak Hada masih biasa.”“Ya, siapa yang enggak bertekuk lutut sih sama primadona yang satu ini. Arumi Rahisya, haha…,” temannya kembali tertawa. Kemudian tangannya naik menggelayuti bahu perempuan yang dipanggil Arumi itu. “Jadi gimana, karir model lu? Lanjut sama brand populer itu atau lu terima tawaran brand baru yang ngasih harga mahal?” tanyanya.Arumi menurunkan lengan t
“Apa perempuan itu bilang? Lihat saja nanti?” ucap Sepia dalam hati.Arumi telah mengajaknya bertaruh untuk sesuatu yang jelas adalah sebuah kebodohan. Bukannya takut dan merasa malu, Arumi malah semakin menunjukkan keangkuhannya. Padahal yang dilakukannya adalah hal yang jelas-jelas salah. Merusak hubungan orang lain dengan keegoisan perasaannya semata. Sepia hanya terenyum hambar mengingat lelucon itu. Benaknya masih berenang dalam satu pertanyaan, untuk apa bertahan dengan orang yang terus menerus berbohong dan mengkhianati tulusnya kepercayaan?Pada padatnya lalu lalang kendaraan di jalan raya, langit yang menguning menampilkan transisi jingga dan merah yang indah. Sepia membaurkan pandangannya dengan hiruk pikuk keramaian, matanya menatap ke luar jendela mobil yang melaju pelan namun pikirannya masih bergelut dengan banyak opini yang terus menghantuinya.Semuanya sudah jelas bagi Sepia. Kenyataan yang pahit itu tidak mampu disangkal dengan kebohongan apa pun lagi. Sekarang keputu
Hampir satu jam lamanya Sepia duduk diam bersama secangkir cokelat di pojok ruangan. Selama itu juga telinganya terasa panas karena mendengarkan obrolan tiga perempuan di depannya sekaligus meratapi nasib malang yang menimpanya.Namun baginya, aroma cokelat dan panggangan roti itu belum cukup membuatnya sedikit lupa dengan kegudahannya. Malah semakin lama semakin bertambah.“Apakah aku harus berjuang untuk mempertahankan rumah tanggaku? Haruskah? Sementara pondasi hubungan yang ingin kupertahankan saja sudah hancur. Jika perselingkuhan yang terjadi ini adalah ujian untuk keluargaku, apakah semuanya akan kembali seperti sediakala saat aku berhasil mengambil hati Ray kembali?”Sepia menuliskan pesan itu kepada Alea. Ia berulangkali mengetik dan menghapus pesan dalam waktu yang lama.Tak berselang lama ponselnya kembali berdenting.“Aku takut memberikan saran untukmu Pia. Aku pernah berada di posisimu dan aku memilih untuk memenangkan hatiku sendiri. Pikirkan matang-matang apapun perasa
Ray terdiam beberapa saat setelah Sepia meninggalkan ruangan itu. Ia memijat pelan keningnya, lalu duduk perlahan di ujung kasur. Urusan ibu dan istri adalah urusan paling rumit yang harus selalu ia hadapi. Ponsel Ray berdenting beberapa kali, membuatnya langsung merogoh saku celananya. Ia menggulir layar ponselnya pelan, beberapa saat raut wajahnya semakin muram dan cemas. Ia beranjak dari duduknya, berjalan mondar-mandir dekat jendela.Langit sudah gelap sempurna terlihat dari tirai yang sedikit terbuka, gerimis juga mengguyur dengan intensitas semakin deras. Sama seperti kekhawatiran yang Ray rasakan, tampak tergambar semakin jelas.“Sial!” umpat Ray. Laki-laki itu mengusap kasar rambut ikalnya. Lalu menutup tirai dengan hentakan cukup keras dan pergi meninggalkan kamar Shabiru.Di meja makan, Nawang sedang menata piring. Sajian ikan berkuah santan berada di mangkuk putih paling besar, berada di tengah dikelilingi nasi dan lauk pauk lainnya.“Oma!”Shabiru berlari kecil menghampir
“Aku juga perempuan, menginginkan hubungan yang pasti. Hubungan yang tidak membuatku takut dan khawatir. Aku menginginkan hubungan resmi yang membuatku merasa aman dan terjaga. Aku juga berhak memintanya kepadamu …,” kata Arumi.Ray tertegun beberapa saat, ia menoleh ke arah Arumi yang menatapnya penuh harapan. Ia kembali memalingkan pandangannya, ia ingin menghindari pandangan itu. Pandangan yang selalu saja berhasil menghipnotisnya selama ini. Arumi cantik dan sempurna dalam pandangan banyak laki-laki begitupun dengan Ray. Lalu Sepia? Ray seolah amnesia dengan pesona yang dimiliki istrinya.Sesaat bayangan Sepia dan awal-awal perjumpaan mereka menghantui Ray. Penyesalan dan rasa bersalah mencuat perasaannya. Ia sudah melangkah terlalu jauh dan entah seberapa besar ia menyakiti perempua itu.“A-aku Gak bisa memberikan apa yang kamu inginkan.” Ray kembali menggeleng untuk ke sekian kalinya. “Tolong mengertilah. Kita hanya dipertemukan dengan ketidaksengajaan.” “Kenapa gak bisa? Lalu
“Kamu pasti akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik, yang belum berumah tangga, mapan dan akan mencintaimu dengan tulus tentunya ...,”Kalimat itu masih terbayang di kepala Arumi. Sampai kapan pun, Arumi mungkin tidak akan pernah percaya dengan sebaris kata menenangkan itu. Sikap Ray yang tiba-tiba berubah begitu mendadak benar-benar membuat Arumi merasa tidak terima dengan keputusan Ray yang meminta hubungan mereka harus berakhir begitu saja.Arumi Sastyas terjebak dalam perasaannya sendiri.Arumi duduk sendirian di sebuah coffe shop bergaya klasik dengan bangunan dominan warna cokelat. Ia menggunakan jaket yang tadi diberikan Ray untuk menutupi lututnya. Ia gerai rambut pirang yang lurus bergelombang, membuat penampilannya terlihat semakin segar.Kepulan asap di cangkir kopinya sudah berlalu sejak tadi, sudah dingin namun Arumi masih belum menyentuhnya sama sekali. Cangkir itu tidak berpindah sedikit pun, ia hanya memutar sendok dan terus mengaduk kopi itu dengan pikiran yang tak
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan
“Lihatlah, Ray. Dia begitu berharap kamu akan datang dan mengajaknya berkunjung. Bahkan dia menganggap bahwa rumah yang dulu adalah miliknya, sekarang dia merasa tidak berhak lagi. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan rumahnya, Ray. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan ayahnya, hanya karena ayahnya telah memiliki keluarga baru. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup kita, itu tidak akan pernah bisa merubah kenyataan bahwa Shabiru adalah anakmu. Anak yang berharap bisa disayangi dengan tulus, hanya sesederhana itu permintaannya ….” Sayangnya Sepia hanya mengatakan kata-kata itu dalam hatinya.Ray masih terdiam, ia sepertinya sangat terkejut dengan permintaan kecil anaknya untuk sekadar mengunjungi rumah lamanya. Ray sebenarnya ingin memberitahu bahwa rumahnya saat ini bukanlah rumah yang sama seperti dulu. Tidak ada lagi mobil memenuhi garasi, hanya tinggal dua mobil yang tersisa. Semuanya habis karena kerugian restoran yang ia alami. Ia ingin menceritakan segalanya pada Sh
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit