Setelah berjalan cukup jauh, mereka sampai juga di sebuah tanah sawah kering yang dijadikan tempat perkemahan prajurit. Senopati Reswara langsung menuntun Yasa dan yang lainnya ke tenda peristirahatan Panglima Abimana. “Panglima, Senopati Reswara datang melapor dan juga membawa beberapa tamu,” ujar seorang prajurit yang menjaga di pintu masuk tenda. “Tamu? Persilahkan mereka masuk!” seru Panglima Abimana dari dalam tenda. Begitu Yasa masuk, dia melihat Panglima Abimana sedang berdiri sendirian, nampak serius menatapi sebuah peta yang terhampar di atas meja. “Maaf Panglima, saya membawa beberapa orang dari pasukan Panji Keris Bertuah,” tutur Reswara. Baru di situ Panglima Abimana mengalihkan perhatiannya dengan ekspresi wajah yang nampak bersemangat. Namun tiba-tiba reaksi wajahnya kembali berubah setelah tak menemukan Mergo ada di antara mereka. “Benarkah kalian anggota dari Panji Keris Bertuah? Di mana pimpinanmu?” tanya Panglima Abimana. “Maaf Tuan, Mergo tidak ada di sini. Ka
Kedua orang itu terlihat serius berdiskusi di dekat peta besar yang terhampar di atas meja. Panglima Abimana nampak menggeser-geser bidak seperti mengikuti penjelasan rencana dari Yasa. Sementara itu, Senopati Reswara dan yang lainnya hanya bisa terdiam mengikuti dari kejauhan. “Merancang semua ini di kepalamu, sepertinya kau benar-benar paham wilayah ini,” ujar Abimana masih memperhatikan lembaran peta. “Apa Tuan pernah mendengar nama Perampok Macan Kumbang?” tanya Yasa. “Siapa mereka? Aku tidak pernah mendengar nama seperti itu,” balas Abimana. “Wajar Tuan tak pernah mendengarnya. Jika tidak, tentu Tuan akan mengirim pasukan untuk membasmi kami semua,” jelas Yasa sedikit tersenyum lirih. Panglima Abimana pun menoleh ke arah Yasa, nampak mengerutkan keningnya melihat senyuman tersebut. “Sebelum memutuskan menjadi prajurit bayaran, kami dan Mergo hanyalah sekelompok perampok gunung. Mungkin semua daerah ini adalah kekuasaan Kerajaan Cakradwipa. Namun ada kalanya kami berpikir ba
Di saat prajurit Gamawuruh sibuk mempersiapkan diri, tiba-tiba satu panah berapi menancap di salah satu tenda mereka. Prajurit yang sadar dari mana arah datangnya panah tersebut segera menoleh ke sisi barat pantai.Beberapa panah berapi lain melayang di udara menyasar ke arah perkemahan mereka. Sementara itu, ada begitu banyak pasukan berkuda menyisir garis pantai dari arah barat.Para prajurit Gamawuruh menjadi kalut. Sebagian yang sibuk memadamkan api sekarang memilih menjauh karena prajurit berkuda itu sudah begitu dekat. Beberapa prajurit lain bergegas melapor pada pimpinan mereka.Satu orang prajurit yang tadi merupakan mata-mata datang memberikan laporan.“Panglima, Panglima! Ada serangan dari arah barat!” teriaknya panik.Panglima perang itu pun segera keluar dari tendanya. Begitu dia sampai di luar, kuda yang ditunggangi Reswara melompat dari bel
Setelah itu dia terus berjalan tertatih dengan kaki kirinya yang masih ngilu dan nyeri. Yasa memperhatikan satu persatu prajurit yang ditawan. Tentu dia sadar juga tak mungkin di antara mereka itu ada Rangkahasa dan Mergo. Karena jika ada, tentu Reswara sudah mengenalinya. Hanya saja, sepertinya Yasa belum mau dan belum siap untuk berputus asa. Dia terus memeriksa wajah mereka satu persatu, terasa seperti orang bodoh saja karena dia sendiri tahu kedua orang itu pasti tidak ada di sana. Teman-temannya dari Panji Keris Bertuah pun datang dan langsung berlarian menghampirinya. “Bagaimana, Yasa?” tanya Lindo Aji. Yasa menoleh ke arahnya, mulai terlihat pasrah dan putus asa. Sesaat kemudian matanya terlihat sedikit berlinang. Namun kemudian rinai hujan pun menerpa wajahnya dan menyamarkan tangisnya. Tiba-tiba salah seorang prajurit memanggil Sen
Sedikit mundur beberapa saat sebelumnya, masih di hari yang sama sebelum langit gelap. Di sisi lain lereng Gunung Jompang, Rangkahasa yang sudah beberapa hari menetap di rumah Waradana mulai merasakan perasaan yang tidak biasa.Senja itu, dia membawa dua buah suluh yang dia buat sendiri dari bambu, dan menaruhnya di tepi kebun yang membatasi perkarangan rumah. Sudah ada cukup banyak suluh yang dia pasang mengelilingi perkarangan tersebut sejak dua hari sebelumnya. Dia pun menyalakannya satu persatu sebelum malam tiba.Keramahan Waradana dan keluarganya telah membuatnya merasa nyaman dan melupakan sesuatu yang penting. Sudah beberapa hari ini dia sama sekali tidak didatangi oleh roh-roh jahat di malam hari. Pada hal itu satu-satunya alasan dia untuk tidak lagi kembali ke hutan.“Sepertinya kau sedang mengkhawatirkan sesuatu,” ujar Waradana di saat Rangkahasa sedang termenung menatapi pedangnya.
Wajah keduanya mulai memerah. Nafas mereka saling beradu, dan dada mereka pun mulai semakin sesak. Namun mereka berdua tetap tak ingin menjauh.Cukup lama mereka seperti itu, dan Lastri pun semakin kesulitan menahan diri dan mulai merapatkan bibirnya ke salah satu ujung bibir Rangkahasa.Rangkahasa hanya mematung. Bibir merekapun hanya sedikit saling menyentuh, namun nafas mereka mulai semakin memburu. Lastri menutup matanya, mulai mencoba untuk kembali mengendalikan diri. Namun ujung hidungnya terus menempel di pipi Rangkahasa, tak kunjung menjauh dari wajah pemuda tersebut.Dan tiba-tiba saja satu teriakan histeris menyentak kesadaran kedua remaja yang sedang dimabuk asmara itu, melepaskan mereka dari gairah yang membelenggu keduanya.“Bapaak! Bapaaaak!!”Teriakan Arsih dari dalam rumah membuat Lastri tersadar. Begitu juga dengan Rangkaha
Waradana mengambil satu golok di dapur. Bukan senjata yang biasa digunakannya untuk bertarung, hanya golok untuk memotong kayu bakar. Setelah itu dia bergegas menuju kandang kuda. Dua kuda piaraannya terus meringkih nampak panik karena kagaduhan dan kengerian yang datang menghampiri. Hal itu membuat Waradana cukup kerepotan menenangkan mereka. Dia segera meletakkan pelana di masing-masing punggung kuda tersebut dan menggiring keduanya ke perkarangan rumah. “Cepat naik,” seru Waradana pada istri dan anaknya. “Kuda ini tidak akan bertahan berlama-lama di sini.” Kedua ibu dan anak itu langsung menaiki satu kuda, sementara Waradana menunggangi satu kuda lainnya. Waradana menepuk beberapa kali pinggul kuda yang ditunggangi Arsih dan anaknya. Mereka pun pergi tanpa membawa apa-apa. “Rangkahasa, ikutlah dengan kami! Kita bisa
Sudah begitu lama dia bertarung seorang diri seperti orang gila. Makhluk-makhluk tak jelas itu terus saja bermunculan dari dalam hutan.Di saat Rangkahasa lengah karena lelahnya, satu roh jahat mendekat dan memegang kepalanya. Sepertinya roh itu mencoba merusak pikirannya. Ranghasa pun merintih, menahan tekanan yang begitu berat di kepalanya.“Berhentilah memaksakan diri, kau tak akan bisa lepas dari kami,” ujar roh tersebut yang berbicara langsung ke dalam kepalanya.Rangkahasa memegangi kepala, nampak tersiksa dengan kegilaan yang mulai membebani pikirannya.“Apa yang membebanimu? Kenapa begitu keras untuk melawannya. Akhiri saja semua ini, karena kau tak akan pernah bisa lepas dari kami.”Roh jahat itu masih saja membisikkan kata-kata di dalam kepala Rangkahasa, memaksanya untuk berpasrah diri, unt
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann