Sasikirana
Malu banget rasanya. Masa tiba-tiba sakit perut pas asik-asik ngobrol?! ‘Kan nggak lucu. Parahnya lagi begitu tiba di toilet ternyata ada yang datang ‘bertamu’. Untung bawa pembalut untuk jaga-jaga. Memang sudah jadwalnya sih.
Kira-kira reaksi Bang Vian gimana ya kalau tahu aku lagi datang bulan? Pasti itu muka bakalan ditekuk, karena dia sudah punya rencana malam ini. Kasihan.
Beberapa langkah mencapai pintu kaca pembatas ruang VIP tempat Tante Diana dan Bang Vian berada, aku melihat mereka seperti sedang terlibat pembicaraan serius. Mungkin membahas Om Jhonny. Tante Diana juga tampak menangis sampai menyeka air mata dengan tisu.
“Maaf lama, Tan. Sakit perutnya nyampur sih,” ucapku begitu melangkah ke dalam ruangan.
MelvianoDua jam yang lalu“Kamu sudah tahu, Vian?” desis Tante Diana dengan suara tertahan.Aku menganggukkan kepala. “Beberapa hari yang lalu, aku menyewa detektif untuk menyelidiki. Pada awalnya aku meminta mereka mencari tahu tentang Tante, karena Sasi penasaran apakah Tante bekerja di tahun yang sama dengan Mamanya atau nggak,” jelasku menceritakan sejujurnya.Tante Diana menangkup kedua tangan di depan dada dengan mata mulai berkaca-kaca.“Kemarin lusa aku menerima laporan, detektif bilang nggak ada karyawan bernama Diana Sukmawati yang bekerja di Awera Resort. Setelah itu mereka mengirimkan foto Ibu Sasi sesuai dengan permintaan Sasi.” Aku menarik napas panjang ketika tubuh kembali bersandar di punggung k
SasikiranaKenapa sih jadi kegeeran? Bisa jadi memang hanya kebetulan saja. Lagi pula nggak mungkin Tante Diana adalah Mamaku. Papa nggak mungkin bohong, apalagi sampai bilang Mama sudah meninggal. Aku menggelengkan kepala dengan cepat, menghalau pikiran yang semakin nggak menentu.“Saya hanya bingung aja dengan persamaan itu,” kataku beberapa saat kemudian.Bang Vian membelai rambut samping kepalaku sambil memandang netra ini bergantian. “Dek, saya mau tanya sesuatu. Kamu harus jawab dengan jujur.”Aku mengangguk mantap.“Kita berandai-andai ya?”Kepala ini kembali bergerak ke atas dan bawah.“Andai kamu berada di
MelvianoPapa menyimpan sesuatu yang menyebabkan beliau masih terikat dengan ruang kerja? Apa itu? Kenapa tidak ada satu orang pun di rumah ini yang mengetahuinya?Selama tiga hari ini, aku dan Sasi memikirkan kemungkinan di mana Papa menyimpan benda yang dimaksud? Tapi tidak ada petunjuk yang kami dapatkan sampai sekarang. Aku juga sudah memeriksa rak buku, lemari dan meja tetap tidak menemukan apa-apa.“Abang bener-bener nggak ingat apapun?” Sasi bertanya ketika kami dalam perjalanan menuju kantor.Aku menggelengkan kepala. “Papa nggak pernah bilang apa-apa tentang itu, Dek.”Dia bergumam sambil mengetuk ujung jari telunjuk di dagu. “Ya udah, biar saya yang ngomong sama Papa aja nanti. Tapi Papa maunya berdua aja, u
SasikiranaPerut tiba-tiba sakit selesai menerima panggilan dari seorang pelanggan yang mengalami kendala pemesanan. Kalian tahu gimana susahnya aku menahan rasa melilit di perut ini saat telepon berlangsung? Luar biasa, bulu halus di sekujur tubuh sampai merinding.Setelah meminta izin kepada RTFM, aku langsung beranjak ke luar ruangan. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku ketika berada di bilik toilet. Seperti biasa aplikasi pertama yang dibuka adalah whatsapp. Barangkali ada pesan masuk dari Anin yang ingin mengajak bertemu, karena sudah lama nggak pergi ke luar sama-sama.Kelopak mata auto melebar waktu melihat pesan masuk dari kontak Tante Diana. Senyuman langsung terukir di paras saat membacanya.Tante Diana: Maaf Tante chat, karena tahu sekarang kamu pasti sedang be
Melviano Sejak tadi siang perasaanku sangat kacau, pikiran juga tidak jernih. Bayangan akan kehilangan Sasi menjadi begitu menakutkan menjelang pertemuannya dengan Tante Diana. Ah, mungkin sudah seharusnya aku memanggil beliau dengan sebutan Mama Mariana. Bagaimana kehidupan ini jika Sasi menjauh, setelah apa yang dilakukan oleh pamanku sendiri? Apakah aku akan kembali seperti sebelum bertemu dengannya? Ya Tuhan, cobaan apalagi yang akan dihadapi? Ketika dalam perjalanan pulang, sebuah panggilan masuk dari Franky. Aku menekan tombol terima yang ada di layar monitor dashboard mobil. “Ya, Frank?” sahutku lesu. “Lemes amat, Mel? Pasti nggak dikasih jatah sama
Sasikirana“Saya adalah Mama kamu, Sasi. Mariana Kusuma.”Pengakuan Tante Diana lima menit yang lalu bagaikan petir yang menyambar tubuh ini, hingga menghasilkan daya puluhan ribu volt. Saking besarnya membuat tubuh ini seakan mendapatkan tegangan tinggi nyaris sekarat. Terserah kalian menganggapku berlebihan. Faktanya memang seperti itu.Tante Diana memandangku dengan derai air mata. Tampak kerinduan mendalam dari caranya menatap. Beliau menunggu rangkaian kata yang keluar dari bibir ini.“Tante nggak lagi bercanda, ‘kan?” tanggapku akhirnya memecah keheningan.Aku bahkan nggak bisa tersenyum ketika mengucapkannya. Bagaimana jika Tante Diana serius dan foto yang ada di liontin ini benar-benar foto Papa dan dirinya? B
MelvianoBegitu mendapatkan telepon dari Mama Mariana, aku langsung bergegas pergi dari restoran. Franky sempat ikutan panik dan berniat pergi denganku mencari Sasi, namun kutolak. Dia sendiri harus menjaga stamina dan kesehatan, karena akan menjalani program bayi tabung.Ke mana harus dicari istriku? Rumah. Ya, aku harus pulang terlebih dahulu. Barangkali dia ada di sana.Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku berusaha menghubungi Sasi tapi tidak mendapatkan jawaban. Entah berapa kali kucoba menghubunginya, tetap tidak diangkat.“Jangan tinggalkan saya, Dek,” gumamku mengeratkan genggaman pada stir mobil. Perasaanku bercampur aduk sekarang. Marah pada diri sendiri, khawatir dengan keadaan Sasi dan takut kehilangannya.Aku mencoba mene
Sasikirana Sungguh bingung dengan Bang Vian. Bisa-bisanya berpikir aku akan meninggalkan dirinya, karena kejadian ini. Bukankah dia pengusaha andal yang seharusnya bisa mempelajari karakter orang? Kenapa jadi mengira aku nggak bisa memilah masalah? Fakta bahwa paman Bang Vian telah mencuri Mama dariku, benar-benar membuat diri ini marah. Apalagi setelah apa yang dilalui bersama Papa. Belum lagi kenyataan lain, wanita yang telah melahirkanku jatuh cinta kepada si Penculik. Tapi itu bukan berarti aku harus berang juga dengan Bang Vian, kemudian meninggalkannya. Dia nggak salah apa-apa, kenapa aku harus pergi menjauh darinya? Kesal juga nih lama-lama sama Bang Vian. Dia belum mengenal siapa Sasikirana, jadi sekalian aku kerjai saja. “Jika Abang berpikir saya akan tinggalkan Abang karena masa
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah
MelvianoBagai orang bodoh, aku menunggu Sasi di depan flat yang dulu ditempati oleh Kalila. Ternyata istriku ada di sini. Sudah pasti roh almarhumah istriku yang membawanya ke sini, karena Sasi tidak kenal dengan keluarga Kalila.Jujur, situasi seperti ini membuat canggung sekaligus bingung. Bagaimana tidak?! Roh almarhumah istriku dan istriku yang sekarang pasti sedang berada di dalam flat. Aku yakin Kalila juga yang bersama dengan Sasi di restoran itu. Kemungkinan dia tahu tentang Vidya dari Kalila. Apakah aku menjadi penyebab persahabatan mereka rusak?Sejak tadi malam, aku berusaha untuk terjaga. Meski terasa lapar dan haus, tetap saja diri ini enggan beranjak d
SasikiranaApaan sih? Bang Vian mau mengancamku? Jika benar, maka itu nggak akan pernah bisa membuatku kembali ke rumah keluarga Stanley.“Turuti aja kemauan Vian, Sasi,” saran Kalila sebelum aku merespons.Aku menggeleng tegas. “Aku udah bilang sama Mbak, ‘kan?”Kening Bang Vian berkerut bingung ketika aku menjawab perkataan Kalila.“Kamu ngomong sama siapa, Dek?” tanyanya heran.“Bukan urusan Abang,” sahutku ketus seraya berlalu pergi dari hadapannya.Sekarang akan kutunjukkan siapa Sasikirana sebenarnya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, tapi memiliki harga diri yang tinggi. Jika sebel
MelvianoSejak mendapatkan pesan misterius dari nomor tidak dikenal, perasaanku mendadak gelisah. Apa maksudnya orang itu mengatakan Sasi berselingkuh? Benarkah? Rasanya tidak mungkin.Setelah perang batin berjam-jam, akhirnya kuputuskan pergi ke restoran yang dimaksud oleh si pengirim. Bermodalkan jaket hoodie yang kupinjam dari Michael, aku pergi ke tempat tersebut.Begitu tiba di restoran, aku langsung melihat Sasi duduk di kursi paling ujung merapat ke dinding. Ternyata pesan yang kuterima benar, istriku berada di sana. Namun sepertinya dia tidak sendirian, dia tampak sedang berbicara entah dengan siapa. Apakah dia bersama dengan roh sekarang? Mungkinkah Kalila? Aku menjadi penasaran.Beruntung aku meng