Adi diam mematung tidak bergerak sama sekali. Mobil dan kendaraan lain yang berseliweran seakan tidak mengeluarkan suara. Sangat hening dan seolah hanya ada mereka bertiga.Suasana mendadak menjadi kikuk dan sangat tidak nyaman sekali untuk Rani. Sama sekali tidak nyaman. Menggelengkan kepala pelan tidak menyangka kata yang keluar dari mulut Dika."Apa maksud Anda?""Heh, asal kamu tahu kalau Rani ini istri saya. Dan kamu?" Adi menoleh ke istrinya yang menunduk nampak bingung."Kamu cuma sahabat dia. Yang lebih berhak atas Rani itu saya! Ngerti?" Adi sedikit mengangkat kerah baju Dika."Ya Allah, udah Mas. Udah! Aku bilang udah!" Rani berdiri di antara suami dan sahabatnya.Dika merapikan kemeja yang agak kusut karena cengkeraman tangan Adi. Tidak gentar terus menatap sosok pria gagah dan tinggi di depannya."Dika, maaf? T-tapi, aku harus ikut sama suamiku." Rani gugup sekali tidak ada nyali melirik ke suami."Bisa dengar, gak? Punya telinga? Rani, ingin ikut sama saya! Bukan sama kam
Mereka bertiga masih betah saling bertatapan di area yang cukup sepi. Hanya satu atau dua kendaraan yang lewat. Dika sengaja memilih jalan yang tidak ramai antisipasi kejadian yang tidak diharapkan."Iya, kamu pilih minta maaf sama temanku atau?""Atau apa? Kamu sengaja menggertak suamimu sendiri?" Rani menutup mulutnya rapat. Tidak ada tenaga melanjutkan ucapannya. Dika hanya tersenyum penuh makna. Lebih tepatnya meledek Adi."Bro, kalau tidak niat minta maaf ya jangan minta maaf. Kamu tahu 'kan kalau minta maaf itu harus tulus dari hati. Sementara kamu? Maaf ya, kayak gak niat gitu." Dika memasukkan kedua tangan ke saku celana. Sengaja memasang muka kesal."Iya, itu kamu tahu. Aku gak mau minta maaf sama kamu. Kenapa? Masalah buat kamu?" Adi tidak ingin kalah memasang wajah tengil."Aku pulang sendiri saja! Aku gak ingin ikut salah satu dari kalian!" Rani mundur beberapa langkah sudah pasrah.Dika dan Adi tanpa sengaja maju selangkah bersamaan. Keduanya beradu tatap semakin jengkel
Rani melengos lalu membuka pintu mobil sangat kasar. Adi tersentak sedikit menaikkan bahu. Mengelus dada sambil menggeleng heran."Rani! Tunggu! Ran!" Adi mengejar istrinya dari belakang.Rani terus berjalan tanpa peduli panggilan suami. Dada masih terasa sesak dan mata ingin mengeluarkan air tiada henti. Kembali menyeka sendiri tanpa bantuan suami."Minggir!" Rani sekuat tenaga mendorong tubuh suami, tetapi gagal. Tubuh Adi kekar dan gagah. Tinggi badannya dan istri juga selisih cukup jauh. Jadi, sangat mudah sekali untuk mengendalikan istrinya."Ran, tolong jangan seperti ini!" pinta Adi dengan memohon."Begini gimana? Kamu yang mulai bukan aku! Kapan kamu bisa tinggalkan perempuan itu?" Ancam Rani penuh sorot tajam."P-perempuan apa, sih?" tanyanya terbata."Udahlah, Mas! Aku capek! Kenapa kamu menikahi aku? Kalau hati dan pikiran kamu tertuju ke perempuan di luar sana!"Rani mendengus sangat kesal seraya melipat tangan di depan dada. Kepala menoleh samping tidak sudi menatap ke ar
"iya, tidak salah lagi. Tapi, gimana caranya biar Rani gak tahu?" Dika memutar otak agar bisa mengejar Perempuan yang ia lihat.Rani dan Lintang masih berpelukan erat. Seluruh air mata Rani tumpah begitu saja. Seketika lupa ada sosok Dika yang masih termenung. Lintang sedari tadi memerhatikan sangat serius."Dik, kamu sehat 'kan?" tanya Lintang sedikit cemas.Dalam sekejap pelukan mereka dilepas lalu berganti fokus ke raut wajah Dika. Netra tidak bisa tenang tidak lepas pandang dari perempuan yang berdiri cukup jauh dari dia."Dika? Kamu baik-baik aja?" tanya Rani ikut cemas lalu menoleh ke Lintang."Aduh, mau ke mana dia?" Batin Dika tiba-tiba beranjak berdiri."Eh, sebentar, ya? A-aku mau ke toilet." Dika berlari agak cepat dan hampir menabrak orang paruh baya."Astagfirullah, awas Dika!" Teriak mereka bersamaan. "Ya ampun, Dika! Hampir saja menabrak Kakek itu." Lintang gemas menghentakkan satu kaki ke lantai.Lintang menoleh ke belakang cukup lama. Rani tidak terlalu peduli dan ma
Rani memasang muka sangat curiga dan bingung. Sementara dua sahabatnya masih diam belum keluar sepatah kata apapun dari mulut mereka. Tentu saja membuat hati dan pikiran Rani gundah."Kenapa kalian diam?" Rani melipat tangan di depan dada.Dika dan Lintang hanya bisa beradu tatap tanpa menjawab. Seketika Lintang menunduk sedikit melirik ke samping. Dika tersenyum manis berusaha mencairkan suasana."Ran, tadi Lintang gak sengaja lihat temannya ada di sini. Iya, 'kan?" tanya Dika menoleh ke Lintang."Oh, iya tadi aku kayak lihat teman SMA ku dulu."Lintang memalingkan wajah diiringi netra menutup. Merasa bersalah dan menyesal sudah membohongi Rani. Terpaksa ia dan Dika lakukan demi menjaga kondisi Rani."Oh, siapa memangnya?" tanya Rani masih curiga.Lintang menoleh ke Dika sembari menelan saliva kasar. Menggigit bibir bawah sibuk memutar otak. Lebih tepatnya mengingat semua nama teman SMA."Gawat! Kenapa Lintang mikirnya lama sekali. Pasti dia sangat gugup sekali." Batin Dika ikut meng
"A-aku, maksudku bukan seperti itu kok, Dik." Lintang agak gugup melirik ke Rani yang masih diam."I-iya, aku tahu kok, Lin. Kamu dan Dika tidak usah khawatir. Aku pastikan tidak akan terjadi sesuatu sama kalian. Em, maaf aku kayaknya harus pamit."Dika berpandangan dengan Lintang lalu menoleh kompak ke wajah Rani. Sangat teduh dan nampak kalem sekali. Tidak memungkiri kalau dibandingkan dari segi kecantikan masih ayu dan manis sosok Rani daripada Lintang.Dika sendiri merasa tidak nyaman berada di posisi yang sulit dan salah. Menjaga perasaan Lintang sekaligus memikirkan kondisi psikologis Rani."Kamu mau ke mana? Mau aku antar?" Dika tersenyum sedikit kikuk.Lintang kembali menoleh tajam ke depan. Tidak sengaja beradu tatap dengan Dika. Pikiran Dika merasa agak terbebani. Tidak munafik kalau Dika salah satu pria yang peka soal rasa."O-oh, tidak usah. A-aku bisa pesan taksi. Kamu sama Lintang aja di sini. Kasihan kalau dia sendiri. Em, ya udah aku duluan, ya?" Rani memeluk Lintang l
Kedua pria dan wanita masih jongkok beradu tatap. Dalam hati Dika tidak menampik kalau kesan pertama bertemu sedikit tertarik. Paras ayu dan kulit putih bersih. Posisi diam saja sangat terlihat manis dan hampir tidak ada kekurangan sedikitpun. "Cantik juga. Pantas saja suaminya Rani sampai gila kayak gitu." Batin Dika terbius tanpa berkedip."Siapa cowok ini? Em, ganteng juga. Kalau dilihat-lihat cowok berduit nih." Batin Citra hingga menyapu semua sudut tubuh Dika bagian luar. Dan fokus ke saku celana.Pandangan Dika turun ke bawah dan sontak tersentak ke belakang hampir jatuh."Astagfirullah!" Dika bergegas berdiri mengatur napas."Maaf, Mas? Kamu kenapa? Kok kayak kaget gitu." Citra ikut berdiri sambil merapikan rok pendeknya."Ya Allah, terbuka sekali bajunya. Aku sampai tidak menyadari. Astagfirullah, aku akui Citra cantik. Tapi, penampilannya sangat berani." Dika menutup muka dengan satu tangan.Citra kelabakan sangat kaget sekali. Berusaha menenangkan pria yang baru dikenalnya
"Halo, Dik? Kok kamu diam? Mau bahas apa, sih? Soal Lintang?" Dika masih betah diam tidak menyadari kalau lagi menelepon sahabatnya. Teringat kembali Citra dan Adi sangat mesra. Berulang kali menggeser layar ponsel. Tidak ada tanda-tanda nomor baru masuk."Aku yakin sekali kalau mereka sedang bersama sekarang. Tidak salah lagi karena Citra belum menghubungi aku.""Dika, halo!" Rani sengaja berteriak."Astaga, aku lupa kalau lagi telepon Rani. Astagfirullah." Dika mendekatkan ponsel ke telinga lagi."M-maaf, aku tadi lagi minum sebentar, Ran."Rani sekilas ingat Dika pasti selalu minta izin saat sedang minum atau sekadar ke belakang. Entah, hanya perasaan Rani atau bukan. Ada yang tidak beres."Dika, ada apa? Kamu meneleponku jam segini, ada apa?""Em, Ran, sebenarnya tidak terlalu penting mungkin buat kamu. Tapi, kamu sudah komunikasi sama Lintang lagi?" tanya Dika menyembunyikan rasa gugup.Rani menoleh ke jam dinding besar di ruang tamu. Mendadak raut wajah sangat sedih. Sekilas
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be
"Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me
Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan
Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku