Adi tidak berhenti mengguncang tubuh istri nya. Masih panik menyaksikan dengan kedua bola mata sendiri. Istri tercinta seakan membeku tidak bergerak sama sekali. Sesekali seperti orang menggigil. Pandangan Rani ke arah suami. Tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan.
"Rani, kamu sakit? Atau kita ke rumah sakit saja?" Adi masih menggenggam tangan Rani dengan kencang.
"Kamu jangan pulang malam ini, ya! Aku cemas kalau terjadi sesuatu sama kamu," ujar Adi memeluk istri nya.
"Astagfirullah, Mas Adi!" Teriak Rani dalam hati.
"Kenapa kamu tega sekali selingkuh di belakang ku? Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Rani terus membatin dengan tatapan penuh air mata ke suami.
Adi beradu tatap dengan Rani. Suasana saat itu hening dan penuh kecemasan. Adi tidak memindahkan tangan sedikit pun dari genggaman Rani. Perasaan Adi sangat cemas dan panik.
"Sayang, badan mu juga tidak hangat. Apa kamu kecapekan?" Adi memegang kening Rani berulang kali tanpa jeda.
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini! Mas Adi, gak boleh tahu! Aku harus bersandiwara!" Rani masih terus membatin dengan rasa takut yang luar biasa.
Selang beberapa menit, Rani mengedipkan mata seraya mencengkeram kemeja Adi di atas paha. Tatapan Adi masih lurus ke wajah Rani penuh seribu tanda tanya.
"Mas, aku baru ingat kalau dari pagi belum makan." Rani membalas genggaman tangan Adi.
Adi bernapas lega di bahu Rani. Terasa sangat lemas dan tidak berdaya. Hati seketika menjadi tenang seperti tenggorokan yang diguyur air saat berbuka puasa. Sangat lega lalu memeluk istri nya sangat erat.
"Ran, aku takut kamu sakit. Aku sangat khawatir." Adi mengajak Rani untuk berdiri. Membantu perlahan dengan memapah menuju meja makan.
Langkah Rani mendadak berhenti. Adi melepas pegangan tangan hangat di punggung Rani. Senyuman Rani lepas kala menatap wajah Adi.
"Mas, aku ke belakang dulu, ya? Mau naruh kemeja kotor ini. Sebentar saja kok, Mas," ucap Rani meletakkan kemeja di belakang punggung nya.
"Sayang, biar aku saja. Kamu makan dulu dan jangan terlalu capek," lirih Adi.
"Aku gak apa-apa kok, Mas. Aku biasa kalau telat makan memang seperti tadi. Kamu kaget, ya?" Rani tersenyum sambil membelai rambut Adi.
Adi berusaha merebut kemeja di tangan Rani. Lelaki mana pun akan cemas saat melihat istri tersayang menggigil seperti orang yang kedinginan dan kesakitan. Dan ternyata semua itu karena lupa makan dari pagi. Setahu Adi memang seperti itu.
"Mas, aku ke belakang dulu!" Rani mempercepat langkah kaki pergi ke tempat untuk mencuci baju.
Tubuh Rani terkulai lemas di atas lantai. Tepat di samping mesin cuci yang lumayan besar. Adi masih sibuk memikirkan Rani di meja makan. Terdengar helaan napas yang berat.
"Ya Allah, apa suami ku selingkuh dengan perempuan lain?" Air mata Rani jatuh bercucuran di atas bekas noda merah. Napas Rani seperti sesak sambil memukul dada pelan.
Rani tidak menyadari kalau sudah terlalu lama meratapi nasib nya di belakang. Adi terus menerus memanggil nama nya. Rani segera berdiri sambil mengusap air mata yang membasahi wajah.
"Iya, Mas! Sebentar!" Rani dengan cepat mengeluarkan ponsel dari saku lalu mengambil gambar bekas noda merah itu.
Rani meletakkan kemeja ke cucian yang kotor. Kembali mengusap air mata lalu berjalan cepat menemani Adi di meja makan.
"Sayang, kamu kenapa lama sekali? Kamu harus makan yang banyak. Jangan kayak tadi lagi, ya. Aku cemas sekali," ucap Adi membelai jilbab yang dipakai Rani.
Adi mengambilkan banyak makanan di piring Rani. Pandangan Rani masih kosong. Pikiran dan hati diselimuti rasa curiga yang tebal. Merasa seakan tidak sudi disentuh oleh tangan Adi. Dalam hati sangat jijik dan ingin mandi sebanyak 7 kali.
"Ran, kamu kenapa melamun? Nanti malah sakit!" Adi memegang sendok untuk menyuapi istri nya.
"Maaf ya, Mas? Aku bisa makan sendiri. Mas Adi, juga makan yang banyak." Rani tersenyum tipis sambil menyantap makanan.
"Sayang, enak sekali! Kamu pintar sekali memasak! Aku bersyukur bisa mendapatkan istri cantik dan pintar seperti kamu," puji Adi seraya mengelus wajah Rani.
Namun, Rani tidak sadar sedikit menghindar dari Adi. Mulut Adi seketika berhenti mengunyah sebab melihat sikap Rani.
"Sayang, kamu kenapa tidak mau disentuh? Aku 'kan suami mu!" Nada bicara Adi menjadi lebih lembut. Di sisi lain hati sangat kaget dengan sikap Rani.
"Ya Allah, aku tidak bisa seperti ini! Aku merasa jijik disentuh suami ku," lirih Rani di dalam hati sambil terpejam.
"Mas, kita baru menikah beberapa hari. Aku kadang masih kaget kalau disentuh oleh lelaki," sahut Rani lembut.
Respon Adi tidak kesal dan marah diperlakukan Rani seperti bukan layak nya seorang suami. Adi justru tersenyum lepas sambil mengangguk perlahan.
"Aku beruntung sekali bisa memiliki kamu, Rani. Apa kamu merasa yang sama seperti yang aku rasakan?" Adi balik bertanya.
Rani menoleh perlahan ke wajah Adi. Tidak mampu menahan tetasan bulir air mata yang memenuhi kelopak mata. Turun setetes perlahan membasahi pipi.
"Rani? Kami tidak bahagia?" Wajah Adi mendadak menjadi sedih.
"Aku bahagia sekali bisa menjadi istri mu, Mas Adi." Rani memalingkan wajah dengan cepat.
Adi memeluk istri nya dari samping. Merasa sangat lega dan sangat terharu. Rani memejamkan netra menahan sakit dan perih hati tersayat-sayat karena ulah Adi.
"Kenapa Mas Adi kejam sekali? Tega sekali melakukan semua ini. Mas Raka, aku kangen sama kamu. Kamu yang terbaik, Mas! Kita tidak pernah bersentuhan dan berdekatan. Aku merasa tenang dan nyaman sama kamu," batin Rani memegang kuat dada yang terasa sesak dengan netra yang terpejam perlahan.
Ingatan Rani kembali terlempar pada sosok lelaki yang saleh dan menjadi impian nya. Beberapa tahun yang lalu calon suami Rani mengalami kecelakaan hebat saat hendak menuju ke rumah Rani. Pernikahan hanya tinggal menghitung hari akan tetapi takdir berkata lain. Raka meninggal dunia di lokasi kejadian kecelakaan. Rani belum bisa melupakan sosok Raka.
"Rani, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?" Adi memutar perlahan dagu Rani.
"Astagfirullah, aku tidak sadar kembali teringat Mas Raka." Rani mengusap air mata lalu tersenyum tipis.
Tidak munafik kalau Adi masih memikirkan sikap yang ditunjukkan Rani. Namun, berusaha sekuat mungkin untuk menepis. Sebab dia sangat bahagia bisa menikah dengan Rani.
Tak lama kemudian ponsel Adi berbunyi. Rani sedikit melirik akan tetapi sama sekali tidak terlihat. Adi mendorong kursi ke belakang sambil mengusap wajah Rani.
"Sayang, aku angkat telepon dulu, ya? Kamu lanjut makan dulu!" Adi berjalan agak cepat ke belakang. Pandangan tidak lepas dari layar ponsel. Wajah Adi terlihat gelisah.
"Sayang, ada apa? Besok kita 'kan ketemu. Jangan hubungi aku di rumah! Ada istri ku di sini," lirih Adi sambil sesekali mengawasi belakang.
Terdengar suara centil dan manja seorang perempuan dari seberang telepon sana. Adi masih menutup mulut sambil bicara serius dengan perempuan itu.
Rani berjalan perlahan mengawasi suami dari belakang. Kening berkerut dan keringat dingin membasahi tubuh. Adi bicara sangat pelan dengan hati sangat cemas.
Rani semakin curiga melihat gelagat suami. Berusaha lebih mendekat dan terus mendekat. Adi sama sekali tidak menyadari kalau Rani berdiri di belakang nya.
"Siapa yang telpon, Mas?" Rani menepuk pundak Adi perlahan.
Adi terkejut membalikkan badan dan tidak sengaja ponsel terlepas dari tangan. Jatuh ke atas lantai dengan posisi layar menghadap ke atas. Rani melirik sedikit tulisan di layar ponsel Adi.Dalam beberapa detik ponsel sudah tersimpan rapi dan aman di saku celana Adi. Wajah Adi sangat panik dan merah merona. Rani mengerutkan alis dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel Adi."Mas, telepon dari siapa?" Rani kembali bertanya.Adi mengusap keringat di dahi diiringi bola mata yang tidak berhenti berputar ke kanan dan kiri. Sibuk memikirkan alasan yang masuk akal.Rani masih terdiam menunggu jawaban yang paling masuk akal. Tangan dilipat tepat di depan dada. Memasang wajah datar dan lugu khas Rani."Mas, kenapa gugup? Ponsel juga sampai jatuh." Rani masih tanpa ekspresi."Sayang, aku kaget sekali! Aku lagi serius ngobrol sama klien. Kamu tiba-tiba menepuk pundak ku. Wajar kalau aku sangat kaget karena yang aku tahu gak ada siapa-siapa di belakang ku." Adi menjelaskan panjang lebar dengan s
Menjelang pagi hari Rani sudah bangun saat mendengar suara azan subuh. Adi masih tertidur pulas tepat di samping nya. Mungkin terlalu lelah bekerja lembur sampai menjelang pagi.Setelah mengambil air wudu bergegas pergi ke kamar lagi membangunkan suami. Menggoyangkan tubuh Adi perlahan. Respon hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Rani kembali menepuk punggung suami dengan pelan. Tapi, diam tidak merespon apapun."Mas Adi, kenapa tidak bangun saat mendengar azan? Oh, mungkin terlalu capek karena lembur." Rani menganggukkan kepala perlahan lalu kembali menepuk tangan suami lebih kencang."Ganggu orang tidur saja! Aku ngantuk sekali, Rani!" Adi menutup wajah dengan bantal lalu kembali tidur.Rani tersentak sembari memegang dada. Raut wajah sedih dengan kerutan di sekitar alis. Tidak menyangka sama sekali kalau pria yang kini menjadi suami nya tidak bangun saat mendengar suara azan subuh. Padahal setahu Rani, Adi salah satu pria yang saleh dan selalu bergerak cepat mengambil air wudu s
"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seber
"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be
"Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me
Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan
Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku