"Mama!"
Semua orang yang hadir di sana menoleh kaget ke asal suara menggelegar milik Pak Aryo, mereka saling pandang dan bertanya-tanya, apa kiranya yang terjadi?.
"Wanita ini memang kurang ajar!" teriak Bu Dewi lagi, sambil terus menarik tangan kiri Bu Nur, sedangkan Pak Aryo menahan tangan Bu Nur yang sebelah kanan.
"Lepaskan tangan ibu saya!" suara Juwi terdengar lantang dengan kebaya yang ia gulung sampai pinggang, rok batik juga terangkat sampai lutut. Wajah Juwi terlihat memerah, di sampingnya ada Devit yang mencoba menahan.
Plaaakk!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Nurmala, semua tercengang. Termasuk Pak Aryo yang syok. Di luar kendalinya, tiba-tiba tangan Bu Dewi melayang ke pipi Bu Nurmala.
"Sarah, bawa mama pulang!" Pak Aryo mencoba menahan amarahnya dengan menatap tajam Sarah. Pak Aryo menarik Bu Nurmala kencang, hingga berhasil lepas dari cengkraman Bu Dewi.
"Papa selingkuh, Papa jahat! dan wanita tua
Rumah Devit telah sepi, tersisa Pak Aryo, Bu Nur, dan Salsa. Pak RT dan Bu RT juga telah kembali ke rumahnya. Pak RT akhirnya memakai sendal Pak Aryo, karena kebenaran ukuran kaki mereka sama. Pak Aryo meminta maaf kepada Pak RT karena sudah membuat tidak nyaman dengan insiden Juwi, beserta hilangnya sendal Pak RT. Apalagi Pak RT bercerita silsilah sendal tersebut."InsyaAllah, saya minggu depan mau ke Jepang, Pak. Nanti saya gantikan ya, Pak," ucap Pak Aryo benar-benar merasa tidak enak."Wah jadi ngerepotin nih Pak Aryo, gak usah Pak. Jadi ga enak saya.""Ga papa Pak. Jangan sungkan! Maaf karena acara saya sendal bagus Bapak jadi hilang.""Eh, beneran Pak Aryo ga usah!" Pak RT masih menolak."Ya sudah kalau begitu.""Tapi, kalau ada warna hitam sih, boleh deh! tapi kalau tidak ada, coklat juga boleh." Pak Aryo dan Pak RT akhirnya tertawa bersama, mereka bersalaman, sebelum keduanya pamit pulang.Pak Juna dan Dewo juga su
Sarah termenung di kamarnya setelah semalam, dia mendengar kisah lama kedua orang tuanya. Ia cukup terkejut dengan kenyataan bahwa mamanya merebut papanya dari ibu Juwi dengan cara yang tidak baik. Kedua matanya berkaca-kaca, mungkinkah ia yang mendapat balasan dari kesalahan masa lalu ibunya? Berulang kali ibunya meminta maaf kepada Sarah dengan air mata yang tak berhenti mengalir semalaman.Sarah menemani mamanya tidur di kamar, tak sampai hatinya melihat ibunya yang sedih semalam. Sarah membalikkan tubuhnya menjadi terlentang, menatap langit kamar yang sepi. Ada dua ekor cicak berkejaran, entah apa yang mereka perebutkan? Mata Sarah kunjung beralih dari sana. Tangannya tanpa sengaja menyentuh ponsel. Tiada pesan masuk dari siapa pun. Bahkan dari suaminya, tak ada pesan apapun sejak dua hari yang lalu. Ia menatap hampa ponselnya, wajahnya seketika sendu.Tumben, pikirnya. Ia melihat kontak ponsel suaminya, kontak yang ia tulis dengan nama Nyebelin. Ih nga
Devit menggandeng tangan Juwi saat keluar kamar. Juwi sudah memakai pakaian rapi, celana kulot warna coklat, dipadu padankan dengan kemeja motif bunga bewarna abu."Mau ke mana kalian?" tanya Bu Nur keheranan, karena melihat Devit dan Juwi sedikit tergesa."Mau ke kantor polisi, Bu," sahut Devit sambil mencari sesuatu di samping lemari dapur. Juwi tengah menghampiri Salsa di ruang TV."Hah? emang Sarah sudah di ...""Iya, Bu. Sudah, ini Devit dan Juwi mau ke sana.""Bang, ayo." Juwi menghampiri Devit yang tengah berbincang dengan ibunya."Wi, kamu jangan perpanjang masalahnya ya, Wi. Bagaimana pun, Sarah adalah kakak kamu," pesan Bu Nur dengan raut wajah khawatir."Lihat saja nanti, Bu," sela Devit, sambil mencium punggung tangan Bu Nurmala. Bu Nurmala hanya menghela nafas panjang. Sungguh ia tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Namun, entah kenapa? Sedari dulu, ada saja yang tidak suka dengannya, bahkan sam
****Sarah tak mampu memasukkan nasi soto itu ke dalam mulutnya, semuanya hambar dan sakit. Seperti hatinya yang kini enggan, tatkala sang suami akan mengantarnya kembali ke rumah kedua orangtuanya. Kenapa aku harus bersedih?bukankah ini yang aku inginkan, lepas dari Jono selamanya. Tapi kenapa sakit sekali rasanya.Mereka makan saling berhadapan tanpa memgeluarkan suara, Jono juga berusaha dengan keras, agar nasi dapat masuk ke dalam mulutnya. Namun tiada rasa saat menyentuh lidahnya."Makanlah yang cepat, taruh saja piringnya di sana! tidak usah dicuci!" titah Jono sambil meletakkan sendok di atas piring. Acara makan ia sudahi dengan sedikit gusar."Ah, iya. Saya lupa. Kamu bahkan tidak pernah mencuci piring di rumah ini," sindir Jono meninggalkan Sarah yang sudah banjir air mata.Selama dua bulan lebih bersama Jono, ia tersadar. Tak ada pekerjaan rumah yang ia lakukan dengan baik. Mencuci dan setrika selalu ke laundry,
Happy reading~Sarah membuka matanya pelan, sayup-sayup ia mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Namun rasa sakit di kepalanya masih sangat kuat, hingga ia memejamkan matanya kembali. Sambil mencoba mengingat hal yang terakhir terjadi padanya.Ah, ya. Suaminya pergi meninggalkan rumah, tepat ia jatuh terjerembab di ruang tamu. Sarah mencoba kembali membuka matanya secara perlahan, namun yang ada rasa sakit di kepala dan rasa mual di perutnya."Sarah, kamu sudah sadar Nak!" Bu Dewi tersenyum tipis, sembari mengusap lembut lengan Sarah."Sarah di mana, Ma?""Kamu di rumah sakit. Mama menemukanmu tadi pagi, pingsan di atas karpet. Tidak ada Jono disana. Apa yang terjadi Sar?"Mata Sarah kini mengabut kembali, tetes demi tetes air matanya turun membasahi kedua pipinya. Ia sudah ditinggalkan oleh suaminya, dadanya terasa terhimpit batu karang. Sakit sungguh sakit, namun ia tidak mampu mengucapkan rasa sakit
Yakin tidak mau mama temani?" tanya Bu Dewi saat masuk ke dalam kamar Sarah."Tidak, Mah. Sarah baik-baik saja, kok. Ga papa, Sarah sendiri aja ke Mamah Mas Jono.""Anak mama cantik sekali hari ini!" puji Bu Dewi sambil memegang ujung khimar syar'i milik anaknya."Emang Sarah cantik, Ma. Kalau ganteng namanya bukan Sarah, tapi Sarjo." Sarah terkekeh, begitu pun Bu Dewi. Bu Dewi bersyukur sepertinya Sarah sudah lebih baik dan sehat.Dengan memesan taksi online, Sarah mendatangi rumah orangtua suaminya. Ah iya, Sarah bahkan berencana menginap di rumah mertuanya. Ia membawa dua stel baju untuk dipakai bermalam di sana. Sarah juga sudah menyiapkan mentalnya, agar kuat saat berhadapan dengan orangtua Jono yang belum pernah ia kunjungi sekalipun.Ia baru tersadar, besok adalah hari raya Idul Fitri, pasti saat ini suaminya tengah berada di rumah orang tuanya. Pikir Sarah, sambil memandangi kemacetan yang cukup panjang untuk sampai di rumah mer
Juwi tertunduk malu di depan mertuanya. Sedari tadi mata Bu Lani memperhatikan Juwi dengan seksama, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Baru kali ini Bu Lani benar-benar melihat dengan jelas secara dekat, Juwita Meilani menantunya.Matanya sedikit sipit, kulitnya putih susu, rambutnya juga panjang, benar-benar mirip artis Tiongkok. Lumayanlah. Bu Lani bermonolog. Juwi bingung mau bicara apa di depan mertuanya, sedari tadi ia hanya memilin-milin ujung bajunya dengan gelisah. Devit yang diminta ibunya keluar sebentar tak kunjung kembali."Eeehhm.""Cebok, eeh...!" Juwi latah menutup mulutnya, deheman Bu Lani membuat penyakit latahnya kambuh."Maaf, Ma," cicit Juwi pelan, tanpa berani melihat ke arah mertuanya. Bu Lani sudah mati-matian menahan egonya agar tidak tertawa dengan ulah Juwi."Usia kamu berapa?""Dua puluh dua tahun lebih empat bulan sembilan hari, Ma.""Masih muda sudah punya anak
Sarah masih memeluk pinggang suaminya. Jono bahkan tidak berbalik sama sekali, bergerak pun ia enggan. Ia membiarkan Sarah memeluknya dengan erat. Membiarkan wanita itu menangis di punggungnya yang kini terasa basah. Tak satu pun kalimat meluncur dari mulut Jono, jujur ia masih sangat kesal dengan istrinya. Berkali-kali Sarah memohon maaf sambil berbisik di punggungnya, namun ia tetap bungkam."Mas, kok ga jawab?""Mas!" Sarah mengguncang tubuh Jono, bahkan ia menarik paksa tubuh Jono agar berbalik menghadapnya. Kini keduanya sudah saling bertatapan. Wajah Sarah yang penuh air mata, kini sedikit menunduk malu, saat dipandang begitu dekat seperti ini oleh suaminya. Hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya."Mau apa?" tanya Jono ketus, wajahnya masih menorehkan raut tidak suka. Matanya pun masih menatap tajam istrinya."Saya minta maaf, Mas," cicit Sarah pelan, tangannya masih memeluk pinggang suaminya. Mata Jono turun, menatap dimana tangan is
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala