Aku mengangguk mengerti. Sekarang, berbanding terbalik, aku yang kelihatan orang ndesit. Untung punya guide sabar, ganteng, dan sayang.Eh!"Tapi aku ingin yang seperti itu." Tunjukku ke arah depan. Ada minuman bergelas tinggi yang berisi warna-warni."Kalau begitu, pesan ini saja. Mocktail. Itu minuman campuran yang tanpa alkohol. Sari buah dan minuman bersoda saja," jelasnya dengan sabar.Kami menyambut sore di sini. Menunggu matahari menuju peraduan sambil beradu kata. Kak Jazil menceritakan masa kecilnya. Sungguh, aku tidak mengira kisahnya membuat hati sesesak ini.Kedua orang tuanya meninggal kecelakaan saat Kak Jazil kelas lima SD. Kehilangan secara bersamaan membuat dia terpuruk. Dikarenakan hal ini, dia di titipkan di pondok pesantren sahabat orang tua Kak Jazil. Abah Haji, dia menyebutnya. Disanalah, Kak Jazil di gembleng untuk menjadi pribadi mandiri. Dibangkitkan untuk iklas akan hidup yang dijalani. Abah Haji inilah yang berperan sebagai ayah angkat Kak Jazil. "Setiap
"Kak Jazil tidak langsung pulang?" tanyaku, saat kami sampai di kosku. Dia pamit ke mushola untuk salat maghrib. "Belumlah. Aku masih ingin ngobrol denganmu." * Kembali dari mushola, Kak Jazil membawa jagung bakar dan satu tas kresek belanjaan. Dia datang bersama dua teman kos dan mereka membawa minuman dan camilan juga. "Mas Jazil yang ganteng, terima kasih, ya!" Samar aku dengar ucapan mereka, kemudian berpaling ke arahku dengan teriak, " Mbak Laras! Makasih!" Aku mengangguk dan tersenyum kurang mengerti, dan baru sadar setelah mereka mengajukkan belanjaan. "Kak Jazil bayar belanjaan mereka?" Dia mengangguk. Aku menatapnya dengan otak masih memikirkan banyak kemungkinan. Mereka, Nonik dan Mayang, perempuan cantik yang berbadan bagus. Semua laki-laki tidak akan bisa menolak memandangnya. Apalagi baju yang kekecilan tak sanggup menangkup bagian dada, dan celana pendek yang mengumbar paha putih dan mulus. Kata ibu kos, mereka pekerja malam. Aku, sih, dengan mereka baik, tapi
Dia memang berbeda dengan laki-laki lain atau teman dekatku yang dulu. Biasanya, aku yang sibuk menjaga jarak. Dengan Kak Jazil malah kebalikan. Dia yang menjauh, disaat aku mendekat. Alasannya sama, takut khilaf. *** Pagi tadi dia menghubungiku. Aku diminta untuk kerja setengah hari dan ditunggu di tempatnya. Katanya darurat. Setelah meminta ijin dengan Pak Lartomo, aku pulang setelah menyelesaikan tugas. Syarat sebelum meninggalkan kantor. "Ada apa sih, Kak? Tadi malam kan sudah bertemu. Kenapa tidak sekalian dibicarakan? Ada apa, sih?" tanyaku penasaran dengan kata darurat itu. Dia menyodorkan minuman dingin dan menarik kursi untuk dudukku. "Dek Ras. Ada yang ingin aku katakan. Ini menyangkut hubungan kita. Tetapi, jangan marah, ya." Ucapannya membuat penasaranku bertambah. Apa yang akan dia katakan? Berita buruk? Jangan-jangan dia minta putus? Bagaimana aku menjelaskan ke Bapak Ibu yang beberapa hari lagi datang? "Ada apa, Kak?" tanyaku dengan kedua alis bertaut. Hati
Sekarang, aku berusaha untuk bersiap akan apa yang bisa terjadi. Aku menganggap hubungan ini tidak pasti. Bukannya tidak yakin dengan kesungguhan Kak Jazil, tetapi jodoh tetap tidak bisa diprediksi. Sebesar apa cinta kami, itu tidak ada artinya saat takdir tidak berpihak dan tidak berjodoh. "Apapun yang terjadi, kita masih bisa berteman." Aku mengatakan dengan nada bergetar, sekuat tenaga kutahan air mata ini. Ditepisnya tanganku saat kuraih tangannya. "Apa maksud kamu? Tak ada dalam kamusku, menjilat ludah sendiri. Aku sudah berjanji untuk bersamamu, itu artinya saat menitipkan cincin kepadamu. Niatku tidak akan mundur. Akan aku cari cara untuk berbicara dengan Abah Haji. Apalagi, aku sudah menganggap Fatimah seperti adikku sendiri." Dia mengusap kasar wajahnya. Sesekali meremas rambut ikal yang panjang sebahu itu. "Fatimah? Nama yang bagus. Pasti dia wanita yang cantik, anggun dan sholehah," gumanku lirih menekan desiran dalam hati. Terasa sakit. Dia anak pemilik pondok, orang te
Semua alasan aku ungkapkan untuk meminta waktu lebih kepada Ibu. "Tapi, Bu. Belum tentu ada tiket pesawat." Aku mencari alasan yang masuk akal. "Nduk, kalau ke Solo tiketnya habis, bisa lewat Jogja, to." Duh, Ibu ini tidak bisa dibelokkan keinginannya. Kalau sudah keputusannya, tidak ada yang mampu menggoyahkan. "Tapi kalau Ibu setuju dengan Kak Jazil, di sininya lebih lama, ya." "Iya. Ibu dan Bapak sudah siapkan waktu, tapi dengan syarat kalau kita sreg dengan dia. Kalau tidak, kenapa harus lama-lama bersama?" Betul yang diucapkan Ibu. Kalau tidak bisa bersama, semakin lama akan semakin sakit rasanya. "Inggih, Bu," jawabku dengan perasaan kalah. Mengikuti kata Ibu yang pasti untuk kebaikanku. Kak Jazil sudah bersiap. Dia membersihkan badan lagi setelah memastikan semua sempurna. Baju hijau lengan panjang dilipat sesiku dan celana panjang kain berwarna hitam. Rambut ikal panjang sebahu, disisir ke belakang. Dia kelihat segar dan tentunya membuatku tak berkedip beberapa saat.
"Ternyata di sini ada yang jualan seperti di Jawa, ya," ucap Ibu setelah kami turun dari mobil. Setelah proses penjemputan, kami langsung bertolak pulang. Kak Jazil begitu antusias saat bertemu bapak dan ibu. Diambilnya tangan mereka untuk dicium, memperkenalkan diri bahwa dia Jazil Ehsan teman dekat Dewi Larasati. "Maaf, Bu. Panggil nama saya saja. Jangan pak," kata Kak Jaz kepada Ibu saat berkenalan tadi. "Tidak, saya panggil Pak Jaz saja," jawab Ibu dengan wajah tanpa senyum. Aku langsung mengedipkan mata, memberi tanda untuk membantah. Sikap ibu kelihatan menjaga jarak, walaupun sering mencuri pandang kepada Kak Jaz yang mendorong troly yang bermuatan koper. Dia jalan lebih dulu bersama Bapak, kami mengikuti dari belakang. "Rupone ono, dedegke yo apik. Pantas saja kamu lengket sama dia," bisik Ibu. Mendengar ucapannya pipiku terasa hangat, malu tepatnya. Ini penilaian pertama, dilihat dari fisik. "Neng mergo kuwi, yang Ibu kawatirkan bisa terjadi. Orang sana itu banyak yang
Setelah makan selesai, kami bertolak ke tempat Kak Jazil. Seperti yang diminta Ibu. Beruntung jalanan tidak terlalu padat, tidak kurang tiga puluh menit kami sudah sampai."Mari, Pak Bu," ucap Kak Jazil.Kacong langsung menghampiri kami dan membantu membawa koper untuk diletakkan di rumah joglo. "Lo, itu mau di bawa ke mana, Pak?" teriak Ibu saat Kak Jazil memerintahkan Kacong untuk membawa koper ke rumah joglo."Buk, itu ditaruh di tempat istirahat," jawabku sambil menarik lengannya untuk duduk kembali di sofa. Aku berusaha mengalihan perhatiannya supaya Ibu memberi kami waktu yang lebih. Bagaimanapun, aku harus mengupayakan penilaian ini tidak hanya sebentar. Aaku harap, semakin lama orangtuaku berbicang dengan Kak Jazil, semakin mereka bisa diyakinkan bahwa dia sosok yang tepat.Dan, di sinilah kami, di ruang tamu kantor. Bapak, Ibuk, Kak Jaz dan aku. Sesaat kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ibuk mengamati sekeliling, dan Bapak sesekali menghela napas. Kak Jazil jug
Kak Jazil menceritakan segala tentangnya. Kehidupan masa kecil, remaja, sampai saat merintis usahanya ini. Bahkan ada beberapa yang belum diceritakan kepadaku. Sesekali Bapak menepuk pundak Kak Jazil saat dia tersekat karena terpaksa menguak cerita lama. Ibu mulai melunak, raut wajahnya menunjukkan rasa iba. Apalagi setelah mendengar kalau kedua orang tua Kak Jazil sudah tiada semenjak dia kecil."Jadi kedua orang tua Nak Jazil, guru?" tanya Ibu.Perubahan panggilan menjadi Nak Jazil, merupakan kabar yang menggembirakan. Senyum tipis disela rasa haru yang melanda kami, tercipta. Mungkin karena rasa simpati atau karena sesama profesi, guru. "Iya, Bu. Orang tua saya di tugaskan di pulau terpencil, dan mereka mengalami kecelakaan saat menyeberang di laut. Itu yang menyebabkan saya kehilangan mereka." Memang, Madura mempunyai pulau-pulau kecil. Jarak yang jauh dan dipisahkan laut yang dalam, bahkan saat cuaca buruk bisa membahayakan. Raut wajah Kak Jazil terlihat sedih. Ada air mata
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno
Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."
"Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me
Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa