“Vin, nanti kamu jadi kan kencan sama, Dara?” Khadafi menghampiri anaknya yang duduk santai di sofa dengan tabletnya yang sedang menggambar animasi.
Arvin menolehkan kepalanya waktu dia sedang santai sendirian, tapi dihampiri oleh papanya yang ditanya perihal rencana kencan buta yang sudah direncanakan oleh Khadafi untuknya. Dara adalah pilihan papanya. Jangan lupakan mamanya yang juga berharap Arvin segera menikah.
Apa indahnya menikah?
Arvin berpikiran untuk tidak menikah.
Kalau hanya menginginkan cucu, bisa membayar rahim seorang wanita yang bersedia saja. Meskipun tidak diperbolehkan. Tapi Arvin mau melakukan itu jika orangtuanya berharap ada cucu di rumah ini.
Masih dengan posisinya yang santai dia menanggapi itu. “Ya kalau nanti nggak hujan.”
“Mobil ada.”
“Kalau Dara mau, Pa.”
Khadafi memilih Dara sudah pasti karena kenal dengan Arga yang merupakan paman dari gadis itu. Dara
Arvin menuruti perintah dari papanya untuk berkencan dengan Dara. Semua itu sudah diatur oleh orangtuanya juga oleh Arga untuk menjodohkan mereka berdua. Apalagi Arvin diminta ke apartemen wanita itu sekarang.Dia telah bersiap-siap menuju ke sana karena sudah diminta oleh Dara sesuai perjanjian. Dengan mengendarai mobil sport putih miliknya yang dibelinya kurang dari satu bulan ini. Jelas dia harus menjemput wanita itu dengan kendaraan barunya.Arvin yang tiba di apartemen Dara, setelah memberitahukan bahwa dia sudah tiba. Dara memintanya untuk langsung naik karena Dara sudah memintakan izin untuknya. Tidak mudah untuk masuk ke apartemen ini ternyata.Pria itu sudah tiba di depan pintu kamar Dara setelah diantarkan oleh salah seorang sekuriti di sana. Dara membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Tapi malah baru saja dia masuk dilihatnya Dara belum mengenakan setelan yang rapi. Hanya baju santai di rumah dengan handuk yang masih terlilit di kepalanya.D
“Dara, nanti kalau makan malam kamu ke rumah, ya. Tapi kalau kamu nggak sibuk.”Arga memintanya untuk datang ke rumah pria itu. Dara memang sudah tidak lagi pulang ke rumah orangtuanya karena masih marah dengan kelakuan tiga orang yang ada di rumahnya—ralat—tambahan adalah Gio. Maka empat orang yang ada di rumahnya itu adalah pengkhianat semua.Sekarang kesibukannya banyak di sini, Dara melakukan semua cara untuk bisa membahagiakan diri sendiri. Apalagi beberapa waktu lalu pasca dia patah hati, Arga malah membelikan sebuah mobil untuknya.Sampai Robi meledeknya bahwa itu adalah hadiah patah hati, semakin Dara patah hati maka Arga akan semakin berusaha untuk menyenangkannya. Memangnya di mana lagi dia bisa menemukan orang sebaik Arga?Dara yang ingat betapa baiknya pria itu, jadi mana mungkin dia menolak semua permintaan. Bahkan perjodohan dengan Arvin juga dia lakukan demi menjaga nama baik Arga di mata Khadafi.Dara merapikan berkasnya. “Ya, Om. Nanti kalau nggak ada kegiatan di
Hari ini Dara ditugaskan di kantornya Robi oleh Arga. Membantu kakak sepupunya untuk menghadiri rapat yang sudah selesai baru saja. Kala dia sedang di kantor pria itu. Robi mengatakan. “Kamu tunggu bentar, aku ambil minuman dulu,” kata Robi yang keluar dari ruangan.Dara bersandar di sofa karena lelah. Tidak dihubungi Arvin, itu yang menyebalkan. Pria itu berkunjung ke Kalimantan untuk cek keadaan di lapangan. Memang kesibukannya sangat banyak sekali. Arvin menghubunginya setiap hari, tapi tidak untuk hari ini apalagi ketika Arvin tiba-tiba bilang kalau dirinya ada di Kalimantan tanpa sepatah kata pun waktu bertemu dengan Dara.Ponselnya Robi berbunyi.Diliriknya siap yang mengirim chat. “Aku takut hamil, Robi. Kalau terjadi apa-apa kita nikah, ya.”Mata Dara melotot sempurna melihat isi chat yang malah dari kekasih kakak sepupunya. Sejauh itu?Entah Gio, maupun orang terdekatnya merupakan predator seksual yang membuat Dara melongo melihat kalau ternyata kakak sepupunya juga mengerika
Tengah malam dibangunkan oleh rasa haus yang tidak tertahankan. Arvin bangun dari tidurnya saat dia melihat jam setengah empat pagi. Dara tidur dengan lelap sekali di lengannya sembari memeluknya. Perlahan dia memindahkan kepala wanita itu ke bantal secara perlahan. Takut membangunkan Dara yang tidur sangat lelap sekali.Arvin berhasil memindahkan kepala Dara tanpa membangunkan wanita itu.Setelah minum, ditatapnya tidur nyenyak Dara terlihat tanpa beban apa pun. Dia mengusap kepala wanita itu perlahan. Tidur bersama, tidak untuk berhubungan badan. Arvin menarik napasnya sembari memejamkan mata.Diembuskannya napas dengan perlahan.Arvin meraih ponsel yang ada di atas meja sebelahnya Dara. Melihat saldo yang ada di rekeningnya. Nominalnya memang banyak, tapi itu adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri. Bukan dari hasil orangtuanya. Arvin bekerja di tempat orangtuanya pun hanya mengambil gaji. Tidak mau menjadi anak yang manja dengan semua harta yang dimi
Arvin telah menjual mobilnya dan memiliki janji dengan salah satu temannya juga yang memberitahukan perihal rumah yang akan dibelinya. Meskipun tidak hari ini. Akan tetapi setidaknya Arvin telah mengeceknya terlebih dahulu. Rumah siap huni dengan semua isi yang sudah tersedia. Jadi tidak perlu ribet lagi memenuhi kebutuhannya. Dengan tempat tidur yang serba baru juga dengan isi dapur yang juga lengkap.Rumah satu lantai yang dijanjikan untuk Dara.Rumah di sana masih tetap mahal. Tapi Arvin punya tabungan dan bersedia menikah dengan Dara dengan hidup sederhana. Arvin memang mengerti dengan status ekonomi yang selalu dipermasalahkan oleh Dara. Ketimbang dia dan Dara kandas. Lebih baik Arvin yang mengalah dan hidup seperti ini juga tidak akan ada masalah.Mengorbankan mobilnya yang waktu itu dengan bangga Arvin beli dengan hasil sendiri.Arvin harus menjualnya demi menambahkan uang yang akan digunakan untuk membeli rumah. Sementara dia mengambil mobil yang di bawah dua ratus juta. Entah
Suasana di rumah yang Arvin sudah mulai tempati kali ini. Tiga hari usai janji dari Haris malah semuanya sudah selesai. Rumah juga sudah dibersihkan. Meskipun perjanjiannya satu minggu. Tapi ini adalah hari keempat dan Arvin boleh menempati rumah ini. Meski begitu dia hanya memindahkan barang-barang pentingnya dari apartemen ke tempat ini sekarang.Baju dan juga komputer kerjanya sudah dia pindahkan. Satu kamar digunakan untuk tempat kerjanya Arvin nanti. Satu kamar ditempati oleh mereka. Sebelum ada anak yang nantinya mungkin akan menempati kamar itu.Usai beres-beres dibantu oleh Haris dan anak buah dari pria itu. Juga sertifikatnya diberikan oleh Haris.Saat mereka telah selesai menata rumah itu dengan sangat rapi. “Aku balik dulu, ya. Kasihan ada proyek di tempat lain lagi.”“Thanks, ya. Padahal harusnya belum selesai.”“Nggak bisa ngaret, Vin. Soalnya ini urusan serius. Kecuali kalau untuk rumah yang akan
Pernikahan yang dilangsungkan di kediaman Arvin sendiri. Tidak jadi dilaksanakan di rumah orangtuanya Arvin. Tamu juga sudah ramai sekali berdatangan. Acara dilangsungkan pagi hari atas permintaan kakeknya Arvin.Semua keluarga besar juga menyaksikan bagaimana proses pernikahan itu hingga selesai.Arvin duduk masih merasa tidak percaya kalau dia telah menjadi seorang suami. Pernikahan yang awalnya hanyalah sebuah angan-angan dari orangtuanya. Tapi justru ia sendiri yang meminta izin kepada orangtuanya untuk menikah dengan Dara.
Dara sudah bersiap dan berdandan dengan sangat cantik untuk pergi ke rumah orangtuanya atas keinginan Arvin. Pria itu ingin melihat gaun yang dijanjikan oleh Iriana. Sebentar lagi akan ada resepsi besar-besaran yang sudah dijanjikan oleh mertuanya. Meski tidak akan dihadiri oleh kakaknya Arvin.Kakinya melangkah keluar dari kamar usai diajak oleh suaminya pergi. Dara mengenakan celana berbahan katun dengan kaus berwarna navi dipakai oleh Dara hari ini untuk pergi ke rumah sang orangtua.Waktu itu Dara mengenakan tas yang juga diberikan oleh orangtuanya Arvin.Waktu sedang mengunci pintu kamar. Ponselnya Arvin berdering beberapa kali sampai diangkat oleh Arvin. “Lagi di rumah,” Dara mendengar pembicaraan suaminya entah dengan siapa itu. “Hah, udah di jalan? Oh oke.”Dara yang baru saja berdiri di depan suaminya. Ekspresi Arvin berubah. “Maaf, Dara. Teman-temanku ke sini. Kali ini cukup banyak. Kamu pergi sendiri nggak apa-apa?”“Kita pergi lain kali aja. Biar aku telepon, Mama.”“Nggak