Aku, Bang Ramon, dan beberapa orang tetangga hanya bisa diam saja saat Ayu dibawa dengan ambulan. Gadis itu tidak mau ada siapapun yang ikut menemaninya ke rumah sakit. Ia berkata bahwa ia akan baik-baik saja. Ada sedikit rasa iba di hati ini, gadis semuda Ayu sakit parah dan datang ke Jakarta hanya untuk bisa melihat Bang Ramon.
"Bang Ramon, bukannya Bang Ramon suami Ayu? Gosip itu sudah menyebar, Bang, semua orang sini juga sudah tahu. Saya bukannya ingin ikut campur, saya cuma mau tanya saja, apa Bang Ramon mengerti hukum poligami? Harusnya jangan berat sebelah. Jika ingin menikah lagi tanpa masa lalu ikut di dalamnya, seharusnya selesaikan dulu masa lalu, baru mulai hubungan baru, jika sudah begini, dua wanita yang jadi korban. Lelaki itu memang makhluk paling egois di dunia." Kalimat yang dilontarkan Bu Nur membuatku dan Bang Ramon bungkam. Kami berdua tidak bisa menyahut.
Tetangga kasak-kusuk di belakang kami karena seolah
"Aku rasa Abang lagi gak sehat. Apa maksud Abang mau beneran poligami?!" Aku berteriak di depan wajah Bang Ramon. Tak kupedulikan lengkingan suara ini terdengar oleh orang sekampung. Habis sudah kesabaran ini atas keputusan suamiku. Tidak, aku tidak bisa dipoligami."Sayang, dengar dulu!" Bang Ramon menarik lembut lenganku untuk duduk di sofa ruang tamu, tapi dengan kasar kuhempaskan tangan Bang Ramon. Aku harus menunjukkan bahwa saat ini aku benar-benar marah."Jangan pegang!" Teriakku lagi dengan air mata yang siap tumpah. Bang Ramon akhirnya memilih duduk sendiri di sofa, sedangkan aku berdiri sambil berkacak pinggang di depannya."Kamu lagi hamil, Puspa, gak baik teriak-teriak seperti ini. Aku gak mau loh, nanti anak kita jadi roker.""Gak lucu!" Lelucon yang sangat unfaedah bagiku."Oke, sekarang kamu mau bagaimana? Aku gak poligami? Ya tidak bisa, Sayang, ini j
Dua hari berlalu sejak Ayu pulang dari rumah sakit. Sesuai kesepakatan yang telah aku buat bersama suamiku, bahwa nanti malam yaitu setiap malam senin, Bang Ramon akan menginap di rumah Ayu. Jatah Ayu hanya satu malam saja, itu pun hanya sampai jam enam subuh. Untunglah anak kecil itu menyetujuinya saat ini dan semoga ia terus setuju sampai dua tahun yang akan datang.Tok! Tok!"Duh, kaget!" Aku mengusap dada saat ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.Tok! Tok!"Iya, tunggu!" Aku turun dari tempat tidur, lalu berjalan keluar kamar untuk melihat siapa tamu siang hari seperti ini. Sengaja aku tidak langsung membuka pintu, melainkan melihat dulu dari jendela ruang tamu. Ayu? Mau apa dia? Sepertinya baru saja kembali dari tempat jauh."Mbak, buka dulu, saya mau bicara," kata Ayu dengan gerakan bibirnya. Dengan malas aku pun membukakan pintu."Ada a
Selama kami menikah, aku tidak pernah sendirian malam hari di rumah. Selalu ada Bang Ramon yang menemani, walau terkadang ia tidur di depan TV karena asik menonton siaran bola atau film laga favoritnya.Namun malam ini, aku dengan begitu berat hati terpaksa tidur sendirian di rumah. Memang Bang Ramon tidak pergi jauh, tetapi saat suami menginap di rumah wanita lain, pasti hati ini akan sangat gundah. Apalagi lampu rumah Ayu sudah padam sejak sepuluh menit yang lalu.Bang, sudah tidur?SendAku mengirimkan pesan pada suamiku, tetapi hanya ceklis satu. Baru kusadari ponsel Bang Ramon sedang di-charger di kamar. Padahal janjinya, suamiku akan mengirimkan video saat dia tidur di sofa ruang tamu.Ya, aku rasa, aku harus menelepon Ayu. Pasti gadis itu belum tidur.["Halo, Ayu, mana Bang Ramon?"]["Di depan, Mbak, tidur di ruang tam
Pov AyuTubuh ini rasanya sangat lemas dan tidak bersemangat. Padahal ada ujian yang harus aku ikuti. Obat sudah diminum, kontrol ke dokter juga rajin, tetapi sakitku masih saja seperti ini.Aku berjalan menuju sofa untuk melihat keadaan sekitar tempat tinggalku. Ada banyak orang lalu-lalang karena ini sudah malam minggu saja. Wisnu tidak jadi singgah ke rumah karena pacarnya sedang sakit, suamiku pasti sedang pergi dengan istri tersayangnya untuk malam mingguan. Lalu aku? He he he...Aku mengambil ponsel, rasa bosan menyergapku. Ingin sekali keluar rumah untuk beli baso, tetapi tubuhku lemas. Kuputuskan untuk memakai sweater dan menikmati teh hangat di teras rumah.Foto selfie pasangan suami istri yang berbahagia. Puspa dan Ramon. Pasti tidak akan mungkin aku bisa berfoto seperti itu pada suamiku sendiri.My loveItulah status dari Mbak Puspa. Aku hanya bisa pasrah saja karena memang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku p
"Ayu, aku gak bawa sikat gigi nih, minta sikat gigi baru dong!" Teriak Mas Ramon dari dalam kamar mandi."Gak punya, adanya sikat WC!" Sahutku dengan ketus. Enak saja, sudah datang tak diundang kayak jelangkung, minta sikat gigi baru pula? Memangnya pakai duit siapa beli sikat giginya? Lagian aku memang kehabisan stok sikat gigi baru."Tolong belikan sikat di warung! Masa aku gak sikat gigi?""Bodo amat!" Aku berjalan dengan kesal masuk ke dalam kamar. Aku duduk di pinggir tempat tidur dengan gelisah. Suara gemericik air dari kamar mandi masih terdengar meriah.Mas Ramon sedang mandi atau buang-buang air sih? Akhirnya kubuka lemari, lalu mengambil uang sepuluh ribu dari dalam dompet. Tidak tega juga dengan suami pesanan seperti Mas Ramon."Saya ke warung dulu, Mas. Biasa pakai sikat gigi seribuan atau sepuluh ribuan!" Teriakku di depan pintu kamar mandi.
Pov Ramon Pusing dengan rumah tangga yang rumit antara aku, Ayu, dan juga Puspa, membuatku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Hendro. Lelaki itu adalah teman dekatku sejak kami sama-sama duduk di bangku STM. Usianya sudah sama sepertiku, dua puluh sembilan tahun, tetapi ia belum juga menikah, masih ingin bersantai katanya. Hendro sedang memandikan kandang burungnya saat aku memarkirkan motor di depan rumahnya. "Eh, tumben lu, hari minggu main, bisanya kelonan terus sama Puspa," sapanya sambil mencolek bahuku. "Ya kali gue gak main-main, Hen, bosen juga. Mumpung cuaca cerah, itu, gue bawa baso," kataku pada Hendro sambil menunjukkan bungkusan di motor. "Wah, teman paling pengertian lu! Tunggu di sini ya, gue ambil mangkuk dulu." Hendro pun masuk ke dalam rumah. Aku memilih duduk sambil memperhatikan empat kandang burung yang sepertinya baru dibe
Pov RamonAku memesan online makanan favorit Ayu yaitu Coto Makassar. Hal itu sengaja kulakukan karena gadis itu terus saja mengunci rapat mulutnya sejak malam panas yang kami lewati bersama. Tepatnya aku saja yang merasa panas. Ayu walaupun tidak memberontak, tetapi ia tampak tidak ikhlas melakukannya bersamaku.Tentu saja ia merasa seperti itu karena selama ini aku selalu berbuat tidak baik padanya. Bingung harus bagaimana, kuputuskan hari ini tidak berangkat. Aku khawatir Ayu nekat dan melakukan hal buruk karena kecewa denganku."Bukannya ini makanan favorit kamu? Kenapa daritadi hanya diaduk-aduk saja nasinya?" tanyaku dengan suara lembut. Ayu mau menunduk tanpa mau menyahut. Tangannya masih sibuk memutar-mutar kuah soto dengan sesekali menarik air hidungnya."Aku suapi ya?" tanyaku lagi."Kenapa masih di sini?" tanya Ayu pelan."Saya sedang
"Ma, makanya kalau makan itu jangan sembarangan lagi. Namanya udah umur, pasti lambungnya tidak kuat kalau terlalu pedas. Mama harus jaga kesehatan ya, Ma. Puspa kan lagi hamil, gak bisa sering bolak-balik ke rumah. Bang Ramon juga lagi sibuk-sibuknya," nasihatku pada mama yang hari ini sudah kembali ke rumah. Untunglah hanya empat hari saja sejak dirawat dan aku masih sempat mengurus beliau."Iya, Mama gak akan makan sembarangan lagi. Jadi kamu pulang hari ini?" tanya mamaku seakan tidak rela aku buru-buru pulang."Iya, Ma, nanti naik taksi online saja.""Sudah kamu beritahu, Ramon?""Belum, biar kejutan saja. Terakhir saya bilang masih tiga hari lagi baru pulang, pasti Bang Ramon kaget saya pulang tiba-tiba. Lagian, bayinya ingin manja sama papanya, Mas." Mamaku tersenyum mafhum. Ia mengangguk, kemudian memelukku dengan erat.Setelah membantu Bude Yati memasak sarapan, aku pun bersiap-siap kembali ke rumah. Tas pakaian sudah dib
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal