Malam ini, Ramon menginap di rumah Bu Suci. Menemani Robi yang sejak tadi menanyakan ke mana bunda dan ayah Galih. Ya, panggilan untuk Galih dari Robi adalah ayah, sedangkan untuknya adalah papa. Pria itu sama sekali tidak keberatan karena memang sudah seharusnya Robi memanggil dengan sebutan itu agar kedekatan mereka semakin kuat. Robi tidur di kamar Dini bersama Robi, sedangkan Dini meminjam kamar Puspa untuk beristirahat bersama satu orang sepupunya. Lalu saudara yang lain memilih tidur di depan TV. Saling berbincang hangat. Sudah lama sekali Bu Suci tidak mengumpulkan saudara di rumahnya, sehingga ia begitu senang dan sanggup begadang demi untuk bertukar kisah dengan para saudara. Keesokan paginya, satu per satu tamu Bu Suci dari kampung pun pulang. Mereka membawa bekal makan daging semur dan juga sambal goreng kentang, serta bihun. Bu Suci memabg sengaja memasak untuk oleh-oleh yang akan dibawa para sanak family-nya dari kampung. "Ramon, mau langsung makan?" tanya. bu Suci saa
Puspa lapar. Ia ingin makan karena terus-terusan digempur Galih. Ini sudah tiga ronde dari sejak pagi dan mereka baru satu kali makan dan satu kali ngemil. Tentu saja bagi Puspa sangat berat karena pada dasarnya ia hobi makan dan ngemil. Galih masih memeluk tubuh istrinya dengan mata terpejam, meskipun lelaki itu tidak benar-benar tidur. Ia hanya melepas lelah seteleh tiga ronde terlewati. "Mas, laper," rengek Puspa. "Ya udah nih, makan saya aja!" Puspa yang gemas dengan jawaban suaminya, langsung beringsut hendak melepaskan diri dari pelukan, tetapi tidak semudah itu karena Galih mengeluarkan seluruh tenaganya agar Puspa tetap berada di dalam pelukannya. "Ish, lapar beneran, Mas. Nanti kalau maag-nya kambuh gimana? Masa pengantin baru sakit maag?" Galih membuka matanya begitu mendengar kata sakit. Tangannya ia panjangkan agar bisa meraih gagang telepon yang ada di samping ranjang. "Mau makan apa, hem?" tanya Galih sembari mencoba menghubungi bagian dapur. "Bosan makan di kamar,
["Apa? Mama kena serangan jantung?"]["Iya, Teh Dini, cepat pulang ya. Ibu sudah menelepon Teh Puspa, tetapi nomornya tidak tersambung. Mungkin karena pengantin baru, jadinya tidak aktif ponselnya."]["Baik, Bu Menik, terima kasih informasinya, saya segera pulang sekarang. Titip Robi dan mama dulu."]Dini menelepon Ramon, tetapi tidak diangkat. Pria itu sedang berbincang dengan dua orang pria berpakaian rapi dan terlihat sangat serius. Ia tidak mungkin menganggu pekerjaan lelaki itu karena sudah lebih dari sepekan ia merepotkan Ramon.Gadis itu berlari keluar dari tempat acara pameran untuk memesan taksi yang akan membawanya pulang ke Bandung. Terpaksa ia mengeluarkan uang yang tempo hari pernah diberikan Ramon padanya untuk uang jajan, sebagai ongkos pulang. Bang, mama kena serangan jantung lagi. Saya pulang duluan naik taksi online. Nanti saya kabari kalau sudah sampai di Bandung. SendDini mengirimkan pesan pada Ramon., berikut screenshot perjalanannya di aplikasi. Setengah jam
Puspa dan Galih langsung menuju rumah sakit saat Bu Gina memberitahu keduanya dengan mendatangi hotel. Sepanjang jalan Puspa menangis karena merasa kesal kenapa ponsel lupa ia charger, sehingga ia tidak bisa cepat mendapatkan kabar soal mamanya. Bagaimana jika sesuatu hal buruk terjadi pada mamanya? Maka ia akan menjadi orang yang paling bersalah. "Sudah, Sayang, jangan nangis. Mama pasti baik-baik saja." Galih mencoba menenangkan Puspa dengan menyentuh pipi basah wanita itu. "Mama gak pernah sampai ke ICU, Mas." Isak Puspa dengan suara tertahan. "Iya, mungkin ini mama kelelahan juga karena baru saja hajatan. Saudara pada ngumpul di rumah sejak tiga hari lalu, jadinya pasti capek. Sudah, tenangkan diri kamu. Minta sama Allah untuk menjaga mama ya. Saya yakin mama kuat." Puspa mengangguk; menerima tisu yang diberikan Galih untuk menghapus air matanya. Kini mereka sudah tiba di rumah sakit. Puspa ingin sekali bisa berlari ke ruang ICU, agar bisa segera melihat keadaan mamanya, tetap
Keesokan harinya, Dini pulang ke rumah untuk mandi dan berencana tidur sebentar. Namanya di rumah sakit, kalian pasti tidak akan benar-benar bisa tidur dengan lelap walaupun hanya sepuluh menit. Itu yang dirasakan oleh Dini saat ini. Matanya mengantuk da tubuhnya menjadi lemas, maka ia putuskan untuk mandi, makan, lalu memejamkan mata sebentar. Puspa di rumah sakit bersama suaminya, bergantian jaga dengan Dini. Lalu di mana keberadaan Robi? anak kecil itu masih berada di rumah salah satu saudara mereka yang memiliki anak kecil seusia Robi. Dini berencana akan mengunjungi Robi, baru setelahnya ia pergi ke Pak RT untuk meminta rekaman CCTV saat kejadian mamanya pingsan. Dini tersenyum saat Ramon mengirimkan fotonya yang sudah duduk di kursi pemateri yang sebentar lagi akan ia pimpin. Ada rasa haru menyeruak di hati gadis muda seperti Dini. Ternyata seperti ini rasanya manis saat berhubungan dengan seseorang. Bukan karena nafsu ingin memiliki, lebih kepada hormat, dan merindukannya set
Rian merasa sia-sia menemui Dini, karena gadis itu benar-benar sudah tidak bisa diiming-imingi ataupun dibujuk. Pengaruh dari sikap lelaki yang menjadi calon suaminya sepertinya sangat dominan dan masuk ke kepala Dini, sehingga gadis itu begitu teguh pada pendiriannya. Namun, jangan panggil ia Rian jika belum berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Jika Dini memang tidak bisa dipengaruhi, maka ia masih bisa membujuk Puspa agar bisa merayu Dini agar membatalkan acara pernikahan. Ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan Dini kembali. Apalagi setelah melihat Dini bisa begitu patuh pada calon suaminya, maka tidak salah kalau ia harus merebut Dini kembali.“Kenapa balik lagi? tumben?” tanya Galih pada Rian yang sudah muncul kembali ke rumah sakit pukul sebelas siang. “Iya, mau tahu kabar Mama Suci.” Galih tidak yakin dengan jawaban Rian karena ia tahu siapa adiknya.“Kamu gak ngantor?” kali ini Puspa yang bertanya. Biasanya ia akan memanggil Rian dengan sebutan Mas, tetapi setelah
Setelah mendengar penuturan Robi, Dini pun pergi mendatangi rumah Desti, tetapi sayang rumah itu kosong dan garis polisi masih terpasang di sekeliling rumah temannya itu. Rumput-rumput tumbuh dengan liar dan subur dan tidak terawat. Jelas sekali, sejak kejadian malam itu Miko ditangkap, belum ada lagi yang masuk ke rumah mengerikan itu. Dini bergegas melajukan kembali motornya, kali ini pergi mengunjungi rumah Pak RT untuk meminta rekaman CCTV. Untunglah Pak RT di rumah dan bersedia menolongnya. Berdasarkan dari video rekaman itu, memang benar, Desti-lah yang datang menemui mamanya. Keduanya nampak berbincang sebentar, lalu tidak lama kemudian mamanya pun jatuh pingsan.“Wanita ini yang membuat mama di ICU, Pak RT. Saya kana melaporkannya,” kata Dini dengan tekad yang sudah bulat. Ia akan membuat ayah dan anak mendekam dipenjara jika mamanya tidak kunjung sadarkan diri.“Baiklah, semoga masalah ini segera selesai dan menemukan jalan keluar terbaik,” kata Pak RT dengan senyum hangatn
Setiap sentuhan dari Galih selalu saja membuat darahnya berdesir. Mulai dari kepala hingga ujung kaki, tepatnya di jari jempolnya, tidak ada satu pun yang luput dari lidah suaminya. Puspa limbung dan sudah sangat basah, padahal suaminya belum lagi memulai hidangan utama. Ia tidak yakin bisa bertahan lebih dari satu menit jika pendahulunya saja sudah membuatnya tidak berkutik. "Bagaimana rasanya, Sayang? Apa bisa dikatakan suami kamu ini mulai pintar?" tanya Galih di sela-sela ia menyusu seperti bayi yang kehausan. Puspa tidak bisa menjawab karena seluruh energinya sudah terkuras untuk menahan hasrat yang menggelora. "Sayang, jangan siksa saya," lirih Puspa sembari meraih senjata suaminya yang kini sudah ia genggam dengan begitu keras. "Apa mau hidangan utama sekarang?" Puspa mengangguk dengan kedua kaki yang sudah menekuk. Galih bersiap dengan membuka sedikit lebih lebar paha sang Istri. Menggerakkan jagoannya di pinggir bibir yang sudah amat sangat basah. Lalu hanya dengan dua kal
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal