Sekarang sudah hari selasa, Rian terpaksa menginap di salah satu hotel bintang tiga di Jakarta karena ia sedang mencari Dini. Kemarin, ia nekat pergi ke Dufan; area rekreasi sangat terkenal di Jakarta juga Asia. Karena ja mendengar Dini ada di sana, tetapi hingga malam hari, ia hanya berkeliling saja, setelah naik satu permainan rollercoaster yang membuat jantungnya mau copot. Ia bisa berteriak sepuasnya melampiaskan kekesalan dan kemarahannya pada Sonya, begitu jantungnya dibuat berdetak cepat saat menaiki wahana menyeramkan itu. Ia berharap bisa menemukan Dini di wahana itu, tetapi sungguh sayang, tidak ada gadis yang ia cari, melainkan perutnya saja yang bergolak menahan mual dan ingin muntah. Selasa pagi ia tidak bisa bangun karena seluruh tubuh dan kepalanya sakit. Rasa mual juga belum reda. Untunglah office boy hotel mau menolongnya untuk membelikan obat masuk angin dan juga sakit kepala. Rian juga minta dibelikan obat maaf karena ia merasa ini masalah lambungnya. Mengurung di
Dini hanya menyeringai saja saat Ramon bertanya. Justru ia bingung mau menjawab apa. Dirinya sudah bukan wanita baik-baik dan juga kotor. Apakah ia pantas mendapatkan kebahagiaan layaknya tetehnya?"Tuh, kalau diamnya wanita itu sama dengan iya, maka berarti kamu bersedia," tukas Ramon lagi sambil menatap Dini. Gadis itu tertawa sumbang dengan hati yang berdebar. "Ish, katanya gak jadi, gimana sih?" komentar Dini membuat Ramon tertawa pendek. "Kalau diterusin aja gimana, Din? Kamu mau tidak? Tapi kalau udah jadi istri jangan kebanyakan main loh!" kali ini Dini tertawa terpingkal-pingkal mendengar kalimat Ramon. "Lah, malah ketawa. Begini, saya bukanlah pria baik-baik yang memiliki masa lalu lurus, saya juga punya dosa dan khilaf. Kamu pun sama. Posisi kita sama, saya harap, kita bisa saling menguatkan. Tidak perlu cinta untuk menikah, karena banyak diluaran sana menikah dijodohkan, akhirnya mereka langgeng sampai punya anak. Saya menerima kamu apa adanya karena saya berharap Tuhan
Dini membuktikan ucapannya dengan menyiapkan makan malam untuknya dan juga Ramon. Hera dan putrinya pun ada di rumah untuk memantau tamu Ramon yang tidak lain adalah Dini. Tentu saja tidak baik membiarkan lelaki dan perempuan berduaan saja di rumah. Apalagi keduanya belum sah. Dini membuat dapur Ramon sangat berantakan. Maklum saja, ia memang bisa memasak, tetapi jarang ia lakukan karena mamanya selalu melarang. Sehingga semua perabotan keluar dari rak, bila ia sedang memasak. "Waduh, masak apa, Dini?" tanya Hera pada calon adik iparnya. Matanya berselancar memperhatikan dapur rumah yang sangat berantakan layaknya orang tengah masak untuk hajatan. "Nasi goreng telor ceplok, Teh. Teteh mau? Saya masak lebih kok. Ayo, makan sama-sama!" Dini membawa mangkuk keramik besar motif ayam jago untuk ia letakan di ruang makan. Hera hanya bisa menggelengkan kepala melihat kekacauan yang dibuat Dini. Namun, ia tetap membantu Dini membawakan piring berisi tiga potong ceplok telur. Dini kembali
"Papa, Desti gak bisa bujuk Dini. Dini tidak mau bertemu dengan Desti dan keluarganya juga melarang Desti untuk ketemu Dini. Udahlah, mau gimana lagi, semua juga karena ulah Papa. Makanya kalau gak mau kebakar, jangan main api. Dini juga mau menikah, Pa," ujar Desti saat dia itu menjenguk Miko di tahanan. "Nah, kalau gitu, kamu kasih tau aja calon suami Dini, biar gak jadi nikah, terus mau nikah sama Papa. Ayolah, Desti, kamu harus bantu Papa. Papa gak mau di sini lama-lama. Nih, kamu gak. Lihat badan Papa pada lebam, digebukin tahanan lain." Miko terus saja berusaha membujuk putrinya agar mau membantu bagaimana caranya agar ia bisa segera keluar dari penjara. "Ish, Papa ribet nih! Desti kuliah, Pa. Udah, Pa, pasrah aja sama nasib. Apalagi Papa emang salah. Papa jangan kebanyakan baca novel. Mana ada di kehidupan nyata pemerkosa menikahi korbannya, kalau pun ada itu sangat jarang. Yang ada nanti tambah trauma. Udah, ah, Desti mau ke kampus dulu! Papa renungkan kenapa Papa bisa terbe
"Rian, aku percaya sama kamu ya. Tolong jangan bikin kekacauan apapun!" Puspa memperingatkan lelaki itu saat ia terus memohon untuk bicara dengan Dini. Sampai saat ini, gadis itu belum tahu bahwa pernikahan Rian batal. Tidak ada satu orang pun yang mengatakan padanya perihal itu. Ditambah ponsel yang sudah ganti baru, berikut nomornya. "Iya, Puspa, aku juga tahu, aku hanya ingin bicara dengan Dini. Gak akan jauh-jauh, warung baso depan perumahan ini saja," ujar Rian sungguh-sungguh. Meskipun ragu, Dini akhirnya ikut naik ke atas motor besar Rian dengan duduk menyamping. Ia masih trauma jika duduk mengangkang karena lukanya belum benar-benar sembuh. Motor itu melaju amat pelan, seperti bukan digerakkan mesin, tetapi seperti sedang didorong oleh manusia. "Ini mau kapan sampainya, Pak? Saya gak bisa lama-lama di luar. Teh Puspa lagi repot," tegur Dini saat laju motor Rian semakin pelan. Gadis itu tentu saja terheran-heran melihat kelakuan Rian yang absurd. Ponsel yang ada di tangannya
Saya terima nikah dan kawinnya Medina Puspa Ningrum binti Ujang Kadarusman dengan mas kawin seperangkat alat solat dan logam mulia sebesar lima puluh gram, dibayar tunai. Kedua tangan semua orang yang ada di sana terangkat, ikut mendoakan segala kebaikan untuk pernikahan Puspa dan Galih. Wanita itu menunduk dengan sembari menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Saat suara semua orang di sana mengatakan sah, maka disaat itu pula hatinya berdebar kencang. "Silakan dicium punggung tangan suaminya," kata pembawa acara mengarahkan Puspa. Wanita itu dengan penuh khidmat, meraih tangan Galih, lalu menciumnya pelan, sembari menanti jepretan dari fotografer. Acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin pernikahan yang disiapkan sepasang oleh Galih. Lalu ditutup dengan prosesi sungkeman. Rian hanya bisa memandang senyum kebahagian Puspa dan Galih dari kejauhan. Ia juga melihat dengan jelas, sosok Ramon yang datang dan duduk tidak pernah jauh dari Dini, sehingga ia tidak mungkin untuk
Puspa sudah berada di dalam kamar hotel yang sudah disulap menjadi kamar pengantin yang super bagus. Kamar yang didesain apik, hingga membuat pengantin merasa nyaman berlama-lama di sana. Tentu saja kesal romantis sangat kental karena banyaknya taburan bunga di sepanjang jalan, mulai dari membuka pintu, sampai ke ranjang. Aroma mawar merah juga sangat disukai oleh Puspa. Ia benar-benar terhipnotis dengan suasana kamar yang membuatnya sangat nyaman dan tidak ingin segera masuk ke kamar mandi. Karena terlalu takut hiasan di ranjang rusak, maka Puspa memutuskan untuk duduk di kursi yang juga dihias cantik. Galih memberikan waktu padanya untuk bersiap. Puspa merasa suaminya sangat baik dan memahami dirinya. Ini memang bukan pernikahan pertama baginya, tetapi pernikahan kedua ini melebihi apa yang pernah ia lewati dulu saat bersama Ramon. Puas menatap kamar dengan dominasi bunga merah dan putih. Ia pun mulai membuka gaun pengantin mewah itu dengan susah payah. Sesuai arahan, gaun itu su
Malam ini, Ramon menginap di rumah Bu Suci. Menemani Robi yang sejak tadi menanyakan ke mana bunda dan ayah Galih. Ya, panggilan untuk Galih dari Robi adalah ayah, sedangkan untuknya adalah papa. Pria itu sama sekali tidak keberatan karena memang sudah seharusnya Robi memanggil dengan sebutan itu agar kedekatan mereka semakin kuat. Robi tidur di kamar Dini bersama Robi, sedangkan Dini meminjam kamar Puspa untuk beristirahat bersama satu orang sepupunya. Lalu saudara yang lain memilih tidur di depan TV. Saling berbincang hangat. Sudah lama sekali Bu Suci tidak mengumpulkan saudara di rumahnya, sehingga ia begitu senang dan sanggup begadang demi untuk bertukar kisah dengan para saudara. Keesokan paginya, satu per satu tamu Bu Suci dari kampung pun pulang. Mereka membawa bekal makan daging semur dan juga sambal goreng kentang, serta bihun. Bu Suci memabg sengaja memasak untuk oleh-oleh yang akan dibawa para sanak family-nya dari kampung. "Ramon, mau langsung makan?" tanya. bu Suci saa
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal