Candice spontan menurunkan tangannya. “George, tapi aku hanya menganggapmu sebagai teman terbaikku. Aku nggak pernah kepikiran ….”George menahan pundak Candice. George yang sekarang terasa sangat asing bagi Candice. “Kamu ….”“Candice, kamu pernah bilang kamu tidak akan menikah dengan Louis. Semua itu hanyalah perjodohan keluarga kalian saja ….” George menempelkan telapak tangannya di wajah dingin Candice. “Tapi sikapmu terhadapnya sewaktu di rumah sakit waktu itu menyadarkanku mungkin aku akan kehilanganmu.”Candice mendorong George. Raut wajahnya kelihatan serius. “George, apa benar kamu yang kirim foto-foto itu?”George tidak menyangkal dan tidak mengakuinya. “Gimana kalau iya?”Pundak Candice sedikit gemetar, begitu pula dengan bibirnya. “Kenapa kamu berbuat seperti ini …. Aku percaya banget sama kamu. Saat Claire bilang sama aku, aku bahkan nggak percaya sama sekali. Aku kira dia salah paham.”Tangan yang menggenggam pundak Candice semakin erat lagi. Dia membungkukkan tubuhnya un
Louis dapat merasakan tubuh Candice sedang gemetar. Dia langsung berlari ke hadapan Candice, lalu setengah berjongkok di hadapannya. Dia menggenggam tangan dingin Candice, lalu bertanya, “Apa yang terjadi?”Claire juga menatapnya.Candice langsung menangis dengan keras. “Maaf … maaf … aku bukan sengaja.” Candice sungguh merasa takut dan tidak tenang. Kali ini, dia tidak bisa memendam perasaannya lagi.Louis langsung memasukkan kepala Candice ke dalam pelukannya. Candice masih tak berhenti gemetar dan terus meminta maaf dengan menangis.Sepertinya Claire menyadari sesuatu. Pada saat ini, dokter berjalan keluar dari ruangan UGD, lalu bertanya, “Di mana anggota keluarga George?”Candice menahan tangisnya, lalu mendorong Louis. Dia berjalan maju dengan tubuh gemetar. “Aku … aku temannya.”Dokter berjalan ke sisinya. “Apa kamu kenal dengan anggota keluarganya?”Candice tidak sanggup untuk berbicara. Claire langsung berjalan ke hadapan dokter, lalu membalas, “Aku akan bantu untuk hubungi ang
Claire berjalan ke luar ruang pasien. Saat dia masuk ke dalam ruangan, Candice masih memandang ke luar jendela. Dia berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di bangku. “Candice, tujuh hari lagi akan diadakan upacara pemakaman George.”Ketika mengungkit masalah George, Candice baru mulai merespons. Jari tangannya tampak gemetar.Claire menggenggam tangan Candice, lalu berkata, “Aku tahu, kamu menyalahkan dirimu. Aku juga menyalahkan diriku. Waktu itu, aku seharusnya menemanimu ke sana. George bisa meninggal juga demi menyelamatkan nyawamu. Kamu nggak bisa melupakan rasa sakit di hatimu ini. Jadi, kamu merasa bersalah sama dia.”Tetiba Candice bersuara, “Semua ini salahku …. Aku sudah mencelakainya. Orang yang seharusnya mati itu aku ….”“Candice, nggak ada yang benar maupun salah dalam masalah ini. Apa dia menyelamatkanmu supaya kamu hidup dalam rasa bersalah?”Air mata Candice mulai menetes. Dia menggeleng. “Tapi aku ….”“Sudahlah, jangan bicara lagi.” Claire menyeka air matanya. “Sebenarn
Ketika Annisa mengatakan ucapan itu, Claire seolah-olah membayangkan George masih hidup. Terkadang di saat sedang berduka, mereka yang tidak bisa menerima kenyataan, akan memilih untuk menghindar. Itulah sebabnya Annisa bisa berkhayal serasa mendiang masih di muka bumi ini.Claire tidak menyela setiap omongan Annisa. Dia seolah-olah sedang mengobrol santai dengan Claire saja. Namun seiring berjalannya waktu, Annisa pun menangis sembari tersenyum. Nada bicaranya juga terdengar terisak-isak.Saat ini, Candice berjalan mendekat dengan memeluk sebuah kotak usang.Claire menatap ke sisinya. Candice berhenti di hadapan Annisa, lalu memaksakan wajah pucatnya untuk menunjukkan senyuman. Dia menyerahkan kotak usang itu kepada Annisa. “Tante, di dalamnya ada buku perpustakaan sekolah yang dipinjamkan George untuk aku dulu. Setiap kali aku selalu menindasnya, aku nggak pernah balikin buku pinjamannya. Itulah sebabnya buku George sering dipanggil wali kelas sampai dilarang ke perpustakaan lagi.”K
Cahya memalingkan kepalanya. Saat ini, Javier dan Claire sudah tidak kelihatan batang hidungnya lagi. Dia pun tersenyum. “Dari mana ada yang lain?”Cherry spontan tersenyum.Cahya menunduk untuk mengecup Cherry. Cherry menjulurkan tangan untuk memeluknya. Gambaran kedua orang tampak indah di bawah pancaran cahaya lampu putih.Saat ini, di area parkiran.Javier menindih Claire di atas kap mobil sembari menciumnya dengan ganas. Telapak tangan Javier meraba dari bibir hingga ke lehernya.Claire menopang wajah Javier. Dia sedang berusaha mengembalikan akal sehatnya. “Berhenti! Kita bukan lagi di rumah!”Javier tersenyum. Dia menggenggam tangan Claire, lalu mengecup jari tangannya. “Kalau begitu, ayo pulang.”Setelah pulang ke Vila Blue Canyon, kedua orang mulai berciuman di depan rak sepatu. Javier tak bisa menahan hasratnya lagi. Dia memeluk Claire, lalu menggendong Claire ke atas meja.Javier melepaskan dasinya sembari melayangkan pandangan ganas ke wanitanya. “Kamu tidak bisa kabur lagi
“Apa kamu baik-baik saja?” Saat Widya hendak berdiri, orang itu mengulurkan tangannya. Widya pun tertegun, lalu spontan mengangkat kepalanya.Widya memandang lelaki tampan di hadapannya. Saking tampannya, dia pun terbengong di tempat.Sejak kapan kedatangan cowok ganteng di perusahaan?Hendri menatapnya dengan bingung. “Hei, apa … kamu baik-baik saja?”“Oh … maaf.” Widya segera berdiri, lalu menepuk-nepuk roknya. Senyumannya semakin cerah lagi. “Aku baik-baik saja.”Hendri mengangguk, lalu melintasi sisinya.Widya kepikiran sesuatu. Namun, si lelaki sudah berjalan ke departemen administrasi. Dia pun terbengong. Jangan-jangan dia kenal dekat dengan Bu Claire?Claire mendengar suara ketuk pintu. Dia meletakkan kontrak, lalu berkata, “Masuk.” Dia menatap lelaki yang berjalan ke dalam ruangan dengan bingung. “Kamu?”Si lelaki menatapnya. “Ini aku, Hendri.”Claire berdiri, lalu mengamati Hendri selama beberapa saat. “Hendri?” Dia berjalan ke hadapan Hendri. “Kamu operasi plastik?”Hendri me
Beberapa pegawai wanita tersenyum.Claire menatap mereka, lalu tersenyum sembari mengangkat-angkat alisnya. “Bekerjalah dengan baik. Aku akan rekrut lebih banyak cowok ganteng lagi.”“Bu Claire, kami cinta banget sama kamu!”Claire memalingkan kepala untuk menatap Widya. “Kamu ajari dia selama beberapa waktu ini.”Widya terbengong, lalu melirik Hendri sekilas. Kemudian, dia baru mengangguk.Claire membalikkan tubuhnya, menepuk pundak Hendri. “Kerjalah dengan baik.”Setelah Claire pergi, Widya menatap Hendri dengan tersenyum. “Aku bawa kamu ke meja kerjamu dulu, ya. Kemudian, aku bawa kamu keliling perusahaan.”Hendri mengangguk.…Sore harinya, Claire dan River sedang makan bersama di restoran. Sembari makan, mereka juga melakukan panggilan video dengan Wilson.Wilson sedang duduk di kursi roda. Ubannya semakin banyak saja. Wajahnya juga kelihatan semakin tua saja. Saat ini, setengah tubuhnya sudah lumpuh. Dia tidak bisa hidup sendiri, mesti dilayani orang lain.Kedua mata Claire tampa
Steven mengangguk. Dia kepikiran sesuatu. “Tapi, aku hanya berharap semoga Jody tidak seperti kakekmu yang tidak berperasaan itu. Bocah itu sudah lama di bawah didikan kakekmu. Karakternya bahkan semakin mirip dengan kakekmu.”Javier pun tersenyum. “Meski Kakek sadis, bukannya dia sangat nurut sama ucapan Nenek.”Setelah dipikir-pikir, sepertinya tidak ada yang salah dengan ucapan Javier.“Oh ya, Ayah.” Tetiba Javier kepikiran sesuatu. “Aku lupa memasukkan ketiga anak ke dalam kartu keluarga.”“Terlalu banyak yang terjadi pada 3 tahun lalu. Kamu malah sempat lupa ingatan.” Steven mendengus dingin. “Kalau kamu tidak mengungkitnya, aku kira kamu sudah melupakannya.”Javier sungguh tidak berdaya.Steven mengusap dagunya sembari merenung. “Nama Jessie tidak usah diganti. Namanya cukup bagus. Hanya saja, sepertinya ada yang kurang dengan nama Jerry dan Jody.”Waktu itu, Claire juga tidak terlalu memedulikan masalah nama. Boleh dikatakan bahwa dia hanya asal pilih saja.“Kamu itu kakeknya me