“Ada apa ini?” Suara Damian memupus ketegangan di antara Bianna dan Kevin. Bianna menoleh dan tersenyum manja menyambut sang suami yang entah dari mana, tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. Masih sambil tersenyum, Bianna mendekati Damian lalu tangannya bergelayut manja di lengan kanan sang suami. “Kamu ke mana aja, Dami? Aku, kan, mencarimu.” “Aku?” Damian menunjuk dirinya sendiri. “Aku ada bersama dengan Tuan Alberto dan ya, kebetulan Anda ada di sini Tuan Kevin Jeremy. Saya ingin memberitahu Anda dan mungkin ini akan jadi kabar buruk untuk Anda.” Mendengar ucapan Damian, bukan hanya Kevin yang kemudian memutar tubuhnya menghadap pria berkharisma itu, tetapi juga Bianna yang sampai memiringkan kepalanya hanya untuk memastikan suaminya yang berbicara. “Kabar apa, Dam? Kenapa wajah kamu terlihat senang sekali?” Akhirnya Bianna tanyakan rasa penasarannya yang juga mungkin mewakili pertanyaan Kevin yang masih bergeming di tempatnya. Terdengar kekehan dari bibir Damian lalu p
Bianna sungguh tak menyangka kalau kedatangan Kevin ke kantornya pagi ini untuk mengatakan hal sekonyol ini. Apa maksudnya dengan menginginkannya kembali? Terang saja Bianna langsung mendecih tak suka. Wanita yang pagi ini memakai rok sepan sepanjang batas lutut dan blazer dengan warna senada–pink fuschia–itu melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap ke arah pria berpakaian jas lengkap itu dengan tatapan tajam. “Apa maksud ucapanmu?” tanya Bianna datar. “Seperti yang kamu dengar, Bia. Aku ingin kamu kembali padaku. Kita bersama-sama mengurus perusahaan, dengan begitu—” “Kamu sedang tidak gila, kan, Vin?” sela Bianna sebelum Kevin selesai bicara. “Atau Leony sudah membuangmu? Tapi, apa pun itu, aku tidak peduli karena aku tidak akan pernah mau kembali padamu. Kamu dengar itu?” Kevin terlihat terkekeh seakan-akan ucapan Bianna hanya kelakaran saja. Sedetik kemudian pria itu maju dan kini jaraknya dengan Bianna hanya satu langkah saja. “Aku dengar, Bia. Tapi aku yakin h
“Kevin benar-benar sudah gila, Om! Aku tidak bisa percaya dia senekat itu!” pekik Bianna di dalam ruang kerjanya. Wanita itu beruntung karena Sean berhasil mengusir Kevin setelah menghadiahinya beberapa pukulan di wajahnya. Setelah mendengar ancaman akan dipanggilkan pihak keamanan, barulah pria itu bangkit dan pergi dengan sendirinya. “Damian harus tahu ini, Bia,” ujar Sean menyarankan. “Om yakin? Bagaimana kalau Damian akan mengamuk nantinya?” Itu karena Bianna tahu watak sang suami. “Tapi tetap saja hal seperti ini tidak bisa kita sembunyikan karena kamu masih istrinya Damian, otomatis dia harus tahu apa yang sudah terjadi padamu, Bia.”Bianna mengangguk paham. “Baiklah, aku mengerti Om. Nanti aku akan segera ceritakan pada Damian. Terima kasih banyak, ya, Om, kalau nggak ada Om, aku nggak tahu apa yang akan terjadi tadi.”“Tidak usah sungkan, Bia. Bagaimanapun Kamu adalah istri dari Damian dan juga bagian d
“Ini Elara, kan, Om?” tanya Bianna setelah melihat foto wanita yang sama yang pernah dia lihat di mobilnya Damian. Hanya saja saat ini Bianna melihat wanita itu foto berpelukan bersama Sean dengan wajah yang sama cerianya dengan foto yang Damian miliki.. Kali ini Bianna menyaksikan reaksi yang berbeda dari sang paman. Bola matanya membesar dan wajahnya terlihat tegang. Bianna menengok sejenak pada Damian yang masih berdiskusi dengan Dion dan ada Inez juga di sana. Bianna menghela napas lega karena suaminya tidak mendengar nama sang adik disebut olehnya. “Kamu tahu dari mana namanya?” tanya Sean di sela rasa terkejutnya.“Dari Damian. Aku lihat foto dia ada di dashboard mobilnya. Tapi aku heran apa yang terjadi padanya sampai di dalam rumah tidak ada satu pun fotonya, bahkan di foto keluarga, tidak ada dirinya. Kenapa begitu Om?” Bianna utarakan kebingungannya, tetapi dia harus menahan rasa ingin tahunya lebih lama lagi karena bukannya men
“Oh ya? Bagus, dong kalau dia bilang seperti itu. Artinya kamu tidak perlu repot-repot menggodanya agar bisa dekat dengannya kan?”“Apa? Jadi kamu tidak marah denger Kevin minta balikan sama aku?” Ini sungguh di luar ekspektasinya. Bianna tidak menyangka kalau Damian berkata seperti itu meski raut terkejut sangat jelas terlihat di wajahnya. “Kenapa harus marah? Bukannya kemaren kamu juga punya ide untuk deketin dia biar istrinya cemburu? Kenapa? Dia sendiri sudah bilang minta balikan, bukankah kebetulan yang menguntungkanmu?” Kata-kata itu entah mengapa sangat melukai hati Bianna. Tadinya wanita itu berharap kalau suaminya akan bereaksi selayaknya suami yang pada umumnya yang akan cemburu atau marah-marah karena ada pria lain yang berani mengatakan cinta pada istrinya, tapi kenyataannya pria yang ada di depannya in justru bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. “Begitu, ya? Sayang sekali reaksi kamu di luar perkiraanku.” Bianna berusaha se
“Astaga, Bia. Aku tidak bisa membayangkan gimana rasanya jadi kamu. Kamu pasti sedih banget kehilangan calon bayi kamu, kan?” Hersi terlihat ikut bersedih dengan kenyataan yang baru saja Bianna ceritakan padanya. “Waktu itu aku hampir gila dan putus asa, Her. Untung saja ada Damian yang nolongin aku, kalau tidak, mungkin kamu juga tidak akan bertemu denganku yang seperti ini, Hersi.” Bianna harus akui itu. Kenyataan kalau nyawanya selamat selain keberuntungan, pastilah karena campur tangan Damian yang menolongnya waktu itu. Damian yang tidak melihat siapa dirinya dan asal usulnya bersedia menjaga dan menunggunya hingga sadar dari koma. Sungguh, kalau bukan Damian yang menolongnya, akankah Bianna bisa ada di sini hari ini? Bianna juga pasti tak akan bisa menjawab. “Bagaimana ada orang seperti itu, Bia? Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?” Bianna menggeleng. “Lalu, dia begitu kaya raya dan aku sudah sempat searching siapa keluarganya, ternyata bukan dari kalangan biasa-biasa saja.
Mobil sedan Ford Mondeo silver metalik yang dikendarai Tian sudah berhenti di depan restoran ternama di kota Meksiko ini. Gegas Dia turun dari mobil kemudian dia membukakan pintu mobil belakang untuk membantu sang majikan turun. Baru saja Bianna melangkahkan kaki masuk ke restoran, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Bianna menepi sejenak lalu mengambil ponsel pintar itu. Dia tersenyum penuh arti melihat nama yang tertera di layar. “Ya,” sapanya datar. “Di mana? Ini sudah mau jam makan malam, kenapa belum pulang?” tanya Damian dari ujung telepon. Dari nada bicaranya, Bianna yakin pria itu pasti sedang kesal. “Aku sudah pesan pada Marta kalau tidak ikut makan malam di rumah, apa dia tidak bicara padamu?” Bianna masih mode santai, dia memang sengaja tidak memberitahu Damian langsung soal rencananya makan di luar. Bianna mendengar decakan kasar, tebakan Bianna, suaminya itu pasti ada di kamar karena terdengar suara musik di telinganya yang mungkin berasal dari laptop sang suami. “
“Leony? Bagaimana kamu bisa di sini?” Kevin bangkit dari duduknya melihat istrinya dengan tatapan tidak percaya, sedangkan Bianna hanya tersenyum sinis tanpa ingin memedulikan dua orang yang sedang saling melotot itu. “Jadi, ini kelakuan kamu di belakang aku, Vin? Apa kamu bilang tadi? Kamu ada janji dengan Esteban?” Leony berdecih. “Sayang sekali tipuanmu tidak ada gunanya karena tidak lama kamu pergi istri Esteban menelponku dan aku tanya padanya apa suaminya pergi denganmu? Dia jawab tidak karena saat ini mereka sedang makan malam berdua. Lalu apa yang aku lakukan? Tentu saja aku mengikutimu, Kevin. Tidak tahunya kamu berdua-duaan dengan pelac*r murahan ini!” Seketika Bianna menggebrak meja. Tentu saja dia tidak terima dengan perkataan Leony barusan, maka tanpa basa-basi Bianna layangkan telapak tangan kanannya pada pipi kiri Leony. “Tutup mulut busukmu itu, Leony! Atau tanganku yang akan melakukannya?” Terang saja Leony mendelik tak percaya dengan keberanian Bianna memperma
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha