Tidak berapa lama, pengacara Bianna kembali berbicara, "Semua ini adalah rencana Tuan Kevin. Kami mendapat bukti bahwa dia menemui beberapa dewan direksi secara diam-diam dan mencoba menghasut mereka."
Bianna membelalakkan mata. "Kevin?"Pengacara itu mengangguk. "Ya. Dia berusaha mempengaruhi mereka agar berbalik melawan Anda. Jika dia berhasil, maka kontrol Anda atas perusahaan ini akan semakin lemah."Rasa marah mulai membara dalam diri Bianna. Dia mengepalkan tangannya di atas meja. "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku akan mengadakan pertemuan dengan seluruh dewan direksi dan pemegang saham. Kevin harus dipecat secepatnya!"Namun, pengacara itu tidak terlihat lega dengan keputusan Bianna. "Nyonya Bianna, ada satu hal lagi yang harus Anda ketahui," katanya hati-hati.Bianna menatapnya tajam. "Apa lagi?""Karena pembelian saham Anda sebelumnya terdeteksi memiliki unsur kecurangan akibat pemDamian melihat Bianna yang runtuh dan tidak sedang baik-baik saja. Akan tetapi pikirannya kosong dan tidak tahu harus melakukan apa. Hingga tanpa berpikir panjang, Damian menarik Bianna mendekat dan menutup jarak di antara mereka. Dalam sekejap, bibirnya sudah mendarat di bibir Bianna.Bianna terkejut. Dia berusaha mendorong Damian, menolak ciuman itu. Namun, semakin dia melawan, semakin Damian memperdalam ciumannya, seolah-olah ingin menyampaikan semua yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Perlahan, tubuh Bianna melemas. Hawa panas yang menjalar dari bibir Damian membuatnya kehilangan kekuatan untuk melawan. Entah bagaimana, ciuman itu justru membuat emosinya mereda.Saat Damian akhirnya melepaskan ciumannya, Bianna terengah-engah, matanya masih melebar karena syok."Kamu sudah tenang sekarang?" Suara Damian terdengar lembut, berbeda dari sebelumnya.Bianna tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya masih ber
Damian menatap Bianna dalam-dalam, matanya seolah-olah menelusuri setiap inci wajah wanita di hadapannya. Suasana begitu tenang, hanya ada suara deburan ombak yang menyapu pantai dan angin yang berembus lembut meski sedikit terasa dingin pun membawa aroma laut yang khas. Bianna merasa tubuhnya memanas karena cara Damian menatapnya begitu intens, begitu dalam, seolah-olah dia adalah satu-satunya hal yang ingin dimiliki pria itu di dunia ini. “Aku jatuh cinta padamu, Bianna,” ulang Damian dengan suara lebih lembut, lebih dalam. “Aku tidak tahu kapan tepatnya, tapi yang jelas, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu lagi.” Jantung Bianna berdetak kencang. Dia merasa ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, sesuatu yang selama ini dia coba ingkari. Damian adalah seseorang yang awalnya berada di sisinya hanya karena perjanjian mereka. Namun, sekarang Bianna menyadari, Damian telah menjadi lebih dari itu.
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotel dengan cahaya keemasan yang hangat. Damian sudah terjaga lebih dulu. Dia berbaring miring, menatap Bianna yang masih terlelap di sampingnya. Napas Bianna teratur, wajahnya terlihat begitu damai, dengan rambut yang sedikit berantakan tetapi tetap memancarkan pesona yang membuat Damian tidak bisa mengalihkan pandangannya. Senyum tipis terukir di wajahnya. Pikirannya kembali ke malam tadi, bagaimana mereka akhirnya benar-benar membuka hati dan mengakui perasaan masing-masing. Damian merasa dadanya menghangat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tenang, merasa memiliki seseorang yang bisa mengisi ruang kosong di hatinya. Tanpa ragu, dia mendekat dan mengecup lembut bibir Bianna. Awalnya hanya singkat, tetapi saat hendak menarik diri, Bianna menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Damian menegang sesaat, tetapi kemudian melihat
Leony berdiri di depan pintu apartemen Viella, mengetuk dengan sabar meski hatinya sudah dipenuhi rencana licik. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, menampilkan Viella yang mengenakan gaun tidur satin berwarna merah marun. Tatapannya penuh selidik melihat tamu yang tidak dikenalnya."Siapa kamu?" tanya Viella dengan nada dingin.Leony tersenyum miring dan melangkah masuk tanpa diundang, membuat Viella sedikit mengernyit. "Aku yakin kamu pasti mengenalku," ucap Leony santai. "Aku Leony, istri Kevin."Viella melipat tangan di depan dada. "Lalu kenapa kamu datang kemari?"Leony menelusuri ruangan apartemen Viella dengan tatapan tajam sebelum akhirnya duduk di sofa. "Aku tahu kamu pernah menjadi partner Kevin," ujarnya, lalu menatap Viella dengan penuh arti. "Dan kamu juga punya masa lalu dengan Damian, bukan?"Viella langsung waspada. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya dengan nada penuh selidik.
Mata Damian langsung terbuka lebar. Dia menatap Bianna dengan ekspresi kaget, lalu menoleh ke sekelilingnya, menyadari di mana dirinya berada.Wajahnya seketika menegang saat ingatan samar mulai kembali. Viella pasti sudah menaruh sesuatu di minumannya tadi!Damian segera bangkit, meraih pakaiannya dengan tergesa-gesa. Namun, sebelum dia bisa berkata apa pun, Damian mendengar suara tamparan keras yang saat dia menoleh, ternyata Bianna yang tengah mendaratkan telapak tangannya di pipi Viella.“Kamu pikir aku akan diam saja?” Suara Bianna bergetar karena marah. “Sekali lagi kamu berani macam-macam, aku akan melaporkanmu ke polisi!”Viella terdiam, tidak menyangka Bianna akan bereaksi sekeras itu. Bianna berbalik dan berjalan keluar, hatinya diliputi emosi yang berkecamuk.Damian segera menyusulnya. Namun, sebelum pergi, dia menatap Viella dengan dingin. “Ini terakhir kalinya aku menemuimu.”Setelah ber
Di dalam kantor Harland Group, suasana tegang menyelimuti ruangan. Beberapa karyawan terlihat berbisik-bisik ketika sekelompok polisi berseragam masuk dengan langkah tegap. Mereka langsung menuju ke ruangan utama, tempat Kevin berada.Kevin yang tengah duduk di kursinya, menandatangani beberapa dokumen, mendongak dengan bingung saat melihat polisi memasuki ruangannya."Ada apa ini?" tanyanya dengan nada tajam.Salah satu petugas melangkah ke depan, menunjukkan surat perintah penangkapan. "Tuan Kevin, Anda ditangkap atas dugaan pemalsuan kepemilikan saham dan penyuapan terhadap beberapa anggota dewan direksi."Kevin terperanjat. "Apa? Itu tidak mungkin!" Dia segera berdiri, mencoba meraih surat tersebut untuk membacanya. "Aku tidak melakukan hal semacam itu! Ini pasti ada kesalahan!"Polisi tidak terpengaruh dengan protes Kevin. Mereka mendekat dan salah satu dari mereka langsung memborgol tangannya.
Di tengah kesibukannya di kantor, Damian menerima telepon dari Dion. Suaranya terdengar tegang dan terburu-buru."Kevin kabur! Dia berhasil melarikan diri saat dalam perjalanan ke kejaksaan!"Damian langsung berdiri dari kursinya, rahangnya mengeras. "Apa? Bagaimana bisa?""Ada seseorang yang membantunya. Polisi sedang mengejarnya, tapi sejauh ini belum ada jejaknya,” jelas Dion lagi dari balik telepon. Jantung Damian berdegup kencang. Pikirannya langsung tertuju pada Bianna. Jika Kevin kabur, kemungkinan besar dia akan mencari Bianna. Tanpa permisi, Damian mematikan sambungan teleponnya lalu mencari nomor Bianna.Nada sambung terdengar, tetapi panggilan tidak diangkat. Dia mencoba lagi, tetap tidak ada jawaban."Sial!" Damian mengumpat, meraih jasnya yang terlampir di punggung kursi, lalu segera berjalan keluar dengan langkah cepat sambil bicara lagi dengan Dion melalui sambungan telepon. "Aku akan
Leony mendelik marah sebelum mengayunkan tangannya dan menampar wajah Kevin dengan keras. Kevin hanya menyeringai miring, tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Leony bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan cepat, dia menghidupkan mesin dan menginjak gas. Akan tetapi, sebelum dia bisa melaju jauh, Kevin berhasil membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam. "Keluar, Kevin!" bentak Leony tanpa menghentikan kecepatan laju mobilnya. "Tidak. Kita belum selesai berbicara," balas Kevin dengan nada dingin. Dia mencoba menghentikan tangan Leony di atas stir, tetapi wanita itu keukeuh bertahan. Dia justru menekan pedal gas lebih dalam. Mobil pun melaju kencang di jalan raya, sementara keduanya terus berdebat. "Kamu pikir aku akan terjebak selamanya!" seru Kevin. "Kamu pantas mendapatkannya!" balas Leony dengan suara penuh amarah. Me
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha