Leony tersenyum sinis mendengar ucapan Bianna yang terkesan menyombongkan diri. "Jangan berpikir kamu bisa bermain dalam dunia bisnis hanya karena berhasil mendapatkan beberapa saham!"
Bianna menghela napas pelan, lalu mengangkat satu dokumen lagi dari mapnya. Dengan tenang, dia menatap ke seluruh ruangan dan meletakkan dokumen itu di meja."Biar aku jelaskan sesuatu padamu, Leony. Dari semua pemilik saham yang tersisa, hanya tinggal dua orang yang memiliki kendali atas Harland Group ini. Dan tebak siapa salah satunya?" Bianna tersenyum kecil sebelum melanjutkan, suaranya terdengar begitu percaya diri. "Aku salah satunya karena aku memiliki 80% saham perusahaan ini."Ruangan berubah hening. Beberapa anggota dewan yang tadinya ragu langsung membelalakkan mata mereka."Apa ...?" Leony tergagap, tubuhnya sedikit goyah karena keterkejutan. "Itu tidak mungkin! Dari mana kamu mendapatkan semua saham itu?"Bianna mengangKalau mau jujur, Bianna sebenarnya tidak pernah benar-benar ingin menyakiti Kevin. Akan tetapi, di saat yang sama, dia juga tidak bisa membiarkannya terus memegang kendali atas perusahaan.Namun, sebelum Bianna sempat mengatakan sesuatu, Kevin akhirnya bersuara."Dengar," ucap Kevin, suaranya berat. Semua mata kini tertuju padanya. "Bukan Bianna yang tidak bisa melupakan aku. Tapi akulah yang tidak bisa melupakannya."Sekali lagi, keheningan menyelimuti ruangan.Leony menatap Kevin tajam. "Apa maksudmu?"Kevin menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Bianna tidak melakukan ini untuk membalas dendam atau menghancurkanku. Dia hanya ingin menyelamatkan perusahaan."Bianna mengerjap cepat, menatap Kevin yang kini terlihat lebih tenang dan yakin."Tapi aku mohon," lanjut Kevin, suaranya lebih rendah kali ini.Semua orang terkejut ketika Kevin tiba-tiba berlutut di hadapan Bi
Kevin menarik napas dalam, mempersiapkan dirinya. "Kenapa kamu tiba-tiba muncul di Harland Group dan mengambil alih perusahaan?"Bianna tersenyum kecil, tetapi bukan senyuman yang menyenangkan. "Harland Group hampir bangkrut, Kevin. Jika aku tidak mengambil alih, perusahaan itu mungkin sudah hancur. Itu saja.""Tidak hanya itu." Kevin menatapnya dengan tajam. "Aku tahu ini lebih dari sekadar bisnis. Apa ini karena aku?"Bianna terdiam, tidak segera menjawab.Kevin melanjutkan dengan suara lebih pelan, "Bianna ... apakah kamu masih peduli padaku?"Bianna terkejut dengan pertanyaan itu. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, tetapi dia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya."Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan," jawabnya singkat.Kevin menatapnya lama, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku."Bianna mengalihkan pandangann
Damian tetap tidak menunjukkan emosi. "Kalau memang begitu, buktikan." Suaranya tegas. "Jangan biarkan emosi lama menghalangi tujuanmu."Bianna terdiam sambil mengepalkan tangannya. Dia tahu Damian benar, tetapi hatinya masih berat menerima kenyataan itu. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan dan dia tidak bisa membiarkan perasaannya menghancurkan semuanya.Bianna bangkit dari tempat duduknya, matanya menatap Damian dengan marah. “Kamu tidak mengerti, Dami! Aku sudah berjuang terlalu lama untuk ini. Aku sudah kehilangan banyak hal! Harland Group adalah milikku, aku yang pantas mengendalikannya!”Damian menatapnya dengan sinis, langkahnya mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa inci. “Tapi kamu tidak bisa bertindak seperti pemimpin sejati, Bia.” Suaranya rendah, tetapi tajam. “Kamu terlalu lemah.”Bianna terkesiap, dadanya bergetar menahan emosi. “Apa maksudmu?”Damian menyeringai kecil. “Jika kamu be
Sean yang baru saja menyesap sup hampir aja tersedak, sedangkan Damian langsung terbatuk kecil, jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. “Tidak, Opa. Bukan itu.” Damian buru-buru mengelak. Eduardo menyipitkan matanya, seolah-olah mencoba membaca sesuatu dari ekspresi Damian. “Kenapa reaksimu seperti itu?” Jelas nada curiga keluar dari bibir orang tua itu. “Jangan terlalu lama menunda, Damian.” Damian menarik napas panjang, mencoba menahan dirinya agar tidak menunjukkan ekspresi frustasi. “Kami tidak menunda, Opa. Mungkin memang belum diberi saja.” Eduardo mengangguk pelan, meski raut wajahnya tetap menunjukkan sedikit keraguan. “Kalau begitu, periksakan lagi. Pastikan tidak ada masalah. Dan satu lagi ….” Tatapannya kini lebih serius. “Jangan biarkan Bianna terlalu stres dan lelah karena pekerjaan.” Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya, Opa. Aku akan bicara dengannya.” *** Pagi hari, Bianna turun dari kamar dengan langkah cepat, mengenakan blazer hitam dan
Di dalam mobil yang melaju dengan tenang, suasana terasa begitu dingin sama halnya udara di luar. Damian duduk di samping Bianna, tetapi tidak satu kata pun keluar dari mulut mereka. Hanya suara roda yang melaju di atas aspal dan sesekali desahan napas Bianna yang terdengar.Bianna menatap lurus ke depan, tangan terlipat di pangkuannya. Setelah beberapa menit dalam diam, akhirnya dia berbicara."Turunkan aku di kantor saja." Suaranya datar, tanpa emosi.Damian meliriknya sekilas, tetapi tidak langsung menjawab. Mobil tetap melaju ke arah yang telah ditentukan.Bianna menghela napas dan mengulang, "Dami, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku tidak mau melakukan pemeriksaan apa pun."Damian akhirnya bersuara, suaranya terdengar tenang, tetapi tegas. "Aku setuju."Bianna menoleh, terkejut. "Apa?"Damian tetap menatap ke depan, ekspresinya tetap tenang. "Aku setuju. Kita tidak akan pergi ke rum
Esok paginya, matahari Paris bersinar hangat, menyinari jalanan berbatu yang mulai dipenuhi turis. Damian dan Bianna keluar dari hotel mereka dengan pakaian kasual dibalut coat sepanjang paha, sesuatu yang jarang mereka kenakan di tengah kesibukan kerja. Meskipun suasana kota tampak romantis, ekspresi mereka tetap datar, seolah-olah mereka hanya melakukan tugas yang sudah ditentukan. Damian membawa kamera di tangannya, sedangkan Bianna berjalan di sampingnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku mantelnya. Mereka menuju Menara Eiffel, tempat pertama yang akan mereka gunakan sebagai latar belakang “bulan madu” palsu mereka. “Baiklah, kita mulai dari sini,” ujar Damian, mengangkat kamera. Bianna menatapnya, lalu menghela napas. “Haruskah kita benar-benar melakukan ini?” Damian mengangkat bahu dengan santai. “Kamu tahu Opa. Kalau dia tidak melihat bukti, dia akan mengirim seseorang untuk mengawasi kita.” Bianna berdecak pelan, tahu bahwa Damian benar. Akhirnya, dia pun berpose
Namun, bukannya menjawab, Damian justru berdiri dengan kasar, mendorong kursinya ke belakang hingga terdengar suara berdecit di lantai kayu restoran. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah keluar dengan wajah muram dan penuh emosi.Bianna semakin bingung. Dia mengalihkan pandangannya ke arah yang tadi ditatap Damian dan menemukan dinding foto tersebut. Dengan rasa penasaran yang membuncah, Bianna bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat.Matanya menelusuri setiap foto di sana hingga akhirnya dia melihatnya, foto Kevin yang tersenyum bahagia dengan seorang wanita yang sedikit familiar, tetapi Bianna tidak ingat pernah melihat di mana wanita itu. Perasaan aneh menjalar dalam hatinya. Dengan cepat, dia meraih foto tersebut dan segera berlari keluar restoran, mengejar Damian yang sudah lebih dulu pergi.Bianna berlari mengejar Damian yang terus berjalan dengan langkah cepat. Wajah pria itu masih dipenuhi amarah, matanya me
Bianna terkejut mendengar ucapan Damian. "Apa?" Seketika Bianna menarik ingatannya kembali saat dia melihat foto wanita di dalam dashboard mobil Damian juga di laptop Sean. Bianna pun yakin kalau wanita itu benar adalah Elara Lysander. Damian tidak langsung menatapnya. Dia menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong, seakan-akan sedang mengingat kembali kenangan yang sudah lama dia kubur."Aku tidak tahu dengan siapa Elara berpacaran," lanjutnya. "Aku tidak peduli saat itu. Aku terlalu sibuk dengan perusahaan, terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku pikir, selama dia bahagia, tidak ada alasan bagiku untuk ikut campur."Bianna tetap diam, membiarkan Damian melanjutkan ceritanya."Tapi, akhirnya aku mendapatkan berita itu," suara Damian melemah, dan dia mengepalkan tangannya. "Berita bahwa adikku bunuh diri."Bianna menahan napas."Dia tidak meninggalkan banyak pesan. Hanya sepucuk surat," kata D
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha