Bianna menghela napas panjang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Matanya melirik ke arah jam dinding, dan alisnya langsung berkerut. Sudah pukul sebelas siang?
Dengan cepat, dia meraih ponselnya dan langsung menelepon Esma. "Siapkan mobil. Aku akan pergi sebentar lagi." Suaranya terdengar tegas. Tanpa menunggu jawaban panjang dari Esma, Bianna segera mengambil tas dan coat-nya dan melangkah keluar dari ruangan. Saat sampai di luar, Esma sudah menunggunya dengan ekspresi sedikit cemas. "Tuan Tian sudah mengkonfirmasi mobil akan siap dalam lima menit," kata Esma. "Apa aku perlu menemanimu?" Bianna menggeleng cepat, lalu tersenyum tipis. "Tidak usah, aku bisa pergi sendiri." "Tapi, Nyonya—" "Aku baik-baik saja, Esma. Jangan khawatir." Esma masih tampak ragu, tetapi dia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Hati-hati di jalan, Nyonya Bianna."<Sean baru saja selesai makan siang di kantin perusahaan ketika langkahnya terhenti karena mendengar percakapan yang menarik perhatiannya.Di salah satu sudut kantin, Esma dan Inez sedang berbicara dengan ekspresi khawatir.“Aku masih tidak mengerti kenapa Nyonya Bianna menolak ditemani,” kata Esma dengan cemas. “Aku sudah menawarinya, tapi dia bilang bisa pergi sendiri.”Inez mengangguk, “Aku juga merasa tidak tenang. Apalagi dia bertemu dengan Mr. Robert, semua orang tahu bagaimana reputasi pria itu. Dia sangat genit dan pintar memanipulasi orang. Aku hanya berharap dia tidak bertindak berlebihan.”Mendengar nama Bianna dan Robert dalam satu kalimat, Sean yang awalnya hanya mendengarkan, dengan cepat dia melangkah ke arah mereka dan tanpa ragu, menyentuh pundak Esma.Esma tersentak kaget dan langsung menoleh. “Tuan Sean?”“Apa maksudmu tadi?” Sean bertanya dengan nada serius. “Bianna pergi menemui R
Sementara itu, Damian yang sudah sampai di hotel segera melangkah cepat melewati koridornya, matanya tajam menelusuri setiap sudut restoran tempat Bianna dan Robert seharusnya bertemu. Rasa tidak tenang yang menghantuinya sejak tadi semakin menjadi-jadi. Dia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus mengganggunya.Saat memasuki area restoran lebih dalam, Damian menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Akan tetapi, dia tidak menemukan Bianna di mana pun. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ke mana perginya wanita itu? Apa sesuatu telah terjadi? pikirnya kalut.Kemudian, di sudut ruangan, dia melihat sosok pria yang sangat dikenalnya, Robert. Dan yang lebih mengejutkan, pria itu tampak duduk terlalu dekat dengan seorang wanita. Damian memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Robert bahkan terlihat seperti sedang mencium wanita itu.Darahnya langsung mendidih.Tanpa berpikir panjang, Damian melangkah cepat menuj
Sean baru saja turun dari mobilnya ketika matanya menangkap pemandangan yang cukup menarik di depan hotel. Dari kejauhan, dia melihat Bianna keluar dari pintu utama dengan langkah cepat, wajahnya tampak kesal. Tepat di belakangnya, Damian berjalan dengan ekspresi datar, tetapi jelas ada ketegangan di bahunya.Sean mengangkat alis, penasaran dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum dia bisa mendekat, dia melihat seorang pria yang tidak asing lagi, Robert.Robert berdiri di depan restoran hotel dengan wajah merah padam, jelas sekali dia sedang menahan amarah. Para tamu yang ada di dalam masih memperhatikannya dengan tatapan penasaran.Sean mendecak pelan. “Sepertinya aku terlambat,” pikirnya.Matanya kembali tertuju pada Bianna yang berjalan menuju mobilnya bersama Damian. Bianna tampak tegas, tidak seperti biasanya. Dia tidak menoleh ke belakang sama sekali, benar-benar mengabaikan Damian.Sean ingin tahu lebih banyak, tetapi dia juga tidak ingin mencampuri urusan yang sudah s
Setelah semua pemeriksaan selesai, Damian akhirnya diperbolehkan pulang. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit, Bianna menoleh ke Damian dengan ekspresi sedikit lega.“Jadi sekarang, kamu mau sedikit lebih hati-hati?”Damian hanya tersenyum miring. “Tidak ada jaminan.”Bianna mendengkus. “Astaga … laki-laki ini benar-benar.”Ketika langkah mereka sampai di teras rumah sakit, Bianna tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya tertuju pada taman kecil di sisi bangunan, dengan pepohonan rindang dan bangku-bangku kayu yang tampak nyaman. Suasana di sana begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk rumah sakit yang selalu sibuk.Damian menyadari Bianna berhenti dan menatapnya dengan raut bingung. “Kenapa?”Bianna masih menatap taman itu, lalu menghela napas pelan. “Aku ingin tinggal di sini sebentar.”Damian mengernyit. “Untuk apa?”“Aku hanya ingin menikmati udara segar,” jawab B
Mobil berhenti di halaman rumah dengan perlahan. Keduanya turun tanpa banyak bicara, suasana masih terasa canggung sejak dari rumah sakit.Saat Bianna hendak masuk ke rumah, ponselnya tiba-tiba bergetar di tangannya. Dia melirik layar dan langsung terkejut. Nama yang muncul di sana membuatnya refleks menghentikan langkah.Kevin.Jantungnya sedikit berdebar, bukan karena takut, tetapi lebih karena kaget. Apa yang pria itu inginkan sekarang?Tanpa pikir panjang, Bianna segera melangkah ke arah samping rumah, mencari tempat yang lebih tenang untuk menerima panggilan ini. Dia tidak ingin Damian mendengar percakapannya.Sementara itu, Damian yang baru saja hendak masuk ke dalam rumah sempat melihat layar ponsel Bianna sebelum dia pergi. Tatapan matanya berubah dingin sesaat, tetapi dia tidak mengatakan apa pun.Alih-alih bertanya atau menahan Bianna, Damian hanya melanjutkan langkahnya ke dalam rumah, seo
Bianna masuk ke kamarnya dengan langkah cepat. Begitu dia menutup pintu belakang, matanya langsung menangkap sosok Damian yang sudah duduk santai di sofa kamar. Pria itu sudah berganti pakaian, mengenakan kaos hitam polos dan celana santai.Bianna mengerutkan kening, mengingat tadi tangannya terluka. Dengan sedikit rasa ingin tahu, dia bertanya, “Sudah tidak sulit mengganti pakaian?”Damian menoleh dengan santai, mengangkat alisnya sebelum menjawab, “Tidak juga.”Bianna hanya mengangguk kecil, berpikir untuk langsung masuk ke ruang ganti, tetapi sebelum dia sempat melangkah, Damian tiba-tiba menyeringai kecil dan menambahkan, “Kenapa? Kamu kecewa karena tidak bisa membantuku mengganti pakaian lagi?”Bianna, yang awalnya tidak berniat memperpanjang percakapan, langsung mendelik. “Apa?”Damian menyandarkan tubuhnya ke sofa, ekspresi menggoda masih terpampang di wajahnya. “Aku hanya bertanya, siapa tahu kamu diam-diam menikmati tugas itu kemarin.”Bianna mendengus keras. “Jangan mengada-
Mendengar ucapan Viella, Damian tertawa sinis. Bisa-bisanya wanita itu berpikir seperti itu. “Yang sebenarnya? Kamu bicara seolah-olah kamu tahu segalanya, padahal kamu hanya ingin mempermainkan aku lagi. Aku memang bodoh dulu karena terus menuntut penjelasan darimu. Tapi aku sudah tidak peduli. Aku tidak punya hati lagi untukmu, Vi.” Sejenak, di seberang telepon terdengar keheningan sebelum suara Viella kembali terdengar. Kali ini nadanya tidak lagi manis, melainkan tajam dan menusuk. “Kamu benar-benar sudah berubah, Damian.” Damian menyeringai dingin. “Tentu saja. Kamu pikir aku akan terus menjadi pria bodoh yang kamu manfaatkan? Aku sudah selesai denganmu.” Viella mendengkus. “Dan kamu pikir istrimu lebih baik dariku? Dia bahkan menggoda pria lain. Kamu hanya akan dipermalukan, Dami. Kenapa bertahan dengan wanita yang seperti itu?” Damian mengepalkan tangannya. “Sekali lagi aku bilang, jangan bicara omong kosong. Kamu tidak tahu apa-apa.” “Aku tahu cukup banyak,” potong
Damian duduk di ruangannya dengan ekspresi serius. Dia sudah sampai di kantornya lebih awal dari biasanya, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian kemarin.Pintu ruangannya diketuk, lalu terbuka setelah Damian memberi izin. Innez masuk dengan membawa setumpuk dokumen yang sudah dia siapkan sejak tadi. "Ini informasi yang Anda minta, Tuan," katanya sambil meletakkan map cokelat di atas meja.Damian mengambilnya tanpa banyak bicara dan mulai membuka halaman pertama. Baru saja dia hendak membaca, Inez kembali bersuara."Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang lebih penting yang harus Anda tahu."Damian mengangkat pandangannya dan menatap sekretaris setianya itu dengan ekspresi bertanya. "Apa itu?"Inez tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya dia tetap mengatakannya. "Saham yang dimiliki oleh Mr. Robert ... sudah berpindah tangan."Damian mengernyit. "Sudah? Secepat itu?"Inez mengangguk. "Ya, se
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha