Masuk“Aku berutang nyawa padamu.”Elara menunduk dalam-dalam, lalu berlutut di hadapan Nathan. Gerakannya masih kaku, seolah tubuh fana ini belum sepenuhnya ia kuasai, namun sikapnya tulus.Nathan segera mengulurkan tangan. “Bangun, jangan lakukan itu.”Ia menatapnya dengan sorot waspada. “Mulai sekarang, kau hidup sebagai Elara. Jangan pernah biarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya terjadi di tubuh ini. Dunia kultivasi tidak ramah pada kisah kerasukan. Terutama bagi Keluarga Island.”Elara mengangguk pelan. “Aku paham, identitas ini akan kujaga.”Ia lalu menoleh ke arah atas, ke dinding kawah yang masih memancarkan cahaya merah. “Kalau begitu, kita naik sekarang?”“Belum,” jawab Nathan. “Aku datang kemari untuk satu hal lagi, Lumina Spectralis.”Alis Elara berkerut, lalu matanya sedikit melebar, seakan sebuah ingatan lama terkuak. “Tanaman Penatap Takdir?”Nathan tersenyum singkat. “Kau tahu?”Ekspresi Elara berubah canggung. “Tanaman itu, tumbuh tepat di atas peti matiku. Selama ratus
Ia menghela napas. “Aku juga mendengar kehancurannya. Tapi ada rumor bahwa sebagian dari mereka masih bertahan, bersembunyi di dunia yang tak lagi tercatat.”Elara mendongak tajam. “Guru… apakah kau tahu di mana mereka berada?” Ia melangkah maju refleks, nyaris berlutut.“Tidak,” Bonang buru-buru menahannya. “Aku hanya tahu cerita, bukan lokasi. Jangan berharap lebih.”Cahaya di mata Elara meredup.Tiba-tiba—GROOOM—Pulau bergetar hebat, diikuti tanah yang menjalar retak. Suara gemuruh menggulung dari perut bumi.“Tidak bagus,” kata Bonang cepat. “Gunung ini akan meletus! Ayo pergi sekarang!”Nathan langsung menarik Elara, mereka melesat menuju laut.Baru beberapa napas setelah meninggalkan pulau, lava menyembur ke langit. Pilar api puluhan meter menghantam udara, jatuh ke laut, mendidihkannya menjadi kabut putih.Nathan berhenti sejenak, menatap pulau yang kini berubah menjadi neraka merah. “Kita kembali,” katanya singkat.“Aku tidak ikut,” jawab Bonang. “Aku akan kembali ke Kota He
Dan di tengahnya terdapat sebuah mutiara sebesar ibu jari yang bercahaya lembut, dengan aura dingin yang hidup. Nathan mengambilnya, dan dalam sekejap kemudian hawa es menembus telapak tangannya dan mengalir ke dalam tubuh, membuatnya menggigil hebat. Tapi sebelum dia sempat bereaksi—“Letakkan.”Suara itu membuat waktu berhenti. Nathan menoleh, mata Elara yang selama ini kosong kini jernih, fokus dan seakan hidup.“Itu mutiara pusakaku,” katanya datar, tapi tegas. “Kau ingin memakannya begitu saja?”Nathan terpaku. “E-Elara…?”Dia belum sempat selesai bicara ketika Elara bergerak cepat, merebut mutiara itu dari tangannya. Gerakannya luwes dan terlihat sadar. Bukan refleks kosong seperti sebelumnya.Nathan tersentak mundur.“Ah—!”Teriakan kaget lolos dari tenggorokannya, bercampur antara nyeri dan keterkejutan. Elara juga berseru, refleks menutup tubuhnya sendiri dengan tangan.“Jangan menatap!” bentaknya. “Dasar cabul!”Nathan membeku lalu menatapnya lagi. Ekspresinya, caranya bica
“Guru Bonang, tunggu!” Nathan menghentikan langkah Bonang tepat di tepi kawah.Bonang menoleh setengah badan. “Kupastikan sekali lagi. Kalau kau turun dan hangus, jangan seret namaku ke alam arwah.”Nathan tidak menjawab, tatapannya jatuh ke dalam kawah. Cahaya merah berputar di dasar, lahar bergolak seperti makhluk hidup yang menunggu mangsa. “Tidak apa,” katanya pendek. “Aku akan turun.”Detik berikutnya, aura emas menyala dari tubuh Nathan. Tubuh Vajra Naga Emas aktif sepenuhnya. Sisik keemasan muncul, menutup kulitnya rapat-rapat.Bonang mendecak. “Kau memang keras kepala.”Nathan menggertakkan gigi, lalu melompat. Panas menghantamnya sebelum tubuhnya benar-benar jatuh. Udara seperti pecahan besi cair, api menyambar, menelan sosoknya tanpa ampun.Tubuhnya terasa seperti dilempar ke tungku raksasa. Pakaian tidak terbakar, tapi panasnya menembus segalanya. Nathan mengerang tertahan. Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang hingga bergetar. Energi naga dan kekuatan spiritual dipaksa
Perjalanan berlangsung tiga hari penuh.Mereka terus bergerak ke barat daya, sampai daratan berakhir dan yang tersisa hanyalah lautan luas tanpa batas.“Guru Bonang,” kata Nathan sambil menatap cakrawala. “Kamu yakin Lumina Spectralis ada di sini? Jangan sampai aku dipermainkan.”Bonang tidak menjawab, ia mengeluarkan sebuah kompas bernama Aether, jarumnya berputar liar sebelum akhirnya menunjuk satu arah. “Tenang,” katanya singkat.Angin laut membawa aroma asin yang tajam. Setelah setengah hari berjalan, sebuah pulau kecil muncul di kejauhan. Pulau itu berwarna merah kusam dan asap tipis mengepul dari puncaknya.“Gunung api…” gumam Nathan.Bonang mengumpulkan energi spiritual di telapak kakinya, lalu melangkah ke permukaan laut. Air tidak tenggelam, ia berjalan seolah di atas kaca. Nathan mengikutinya dari belakang. Di belakang mereka, Elara melayang rendah di atas permukaan air dengan diam, sunyi, dan tak bersuara.Tiga sosok bergerak menuju pulau. Jika manusia biasa melihat pemanda
“Sampai di sini saja.”Slash!Tebasan melintas, cahaya pedang menembus tubuh sosok Sarah tanpa hambatan.“AARGGHH—” Jeritan terputus.Tubuh cantik itu bergetar, lalu berubah perlahan menampakkan kulit yang terkelupas, wujudnya menyusut, bulu hitam tumbuh liar. Dalam hitungan detik, yang tersisa hanyalah makhluk menyerupai kera cacat, menjijikkan, dan melolong sebelum hancur menjadi serpihan cahaya.Nathan mundur satu langkah, tenggorokannya terasa mual. Ia baru sadar, apa yang tadi ia peluk.Kemudian cahaya memudar perlahan dan kesadarannya kembali.Tangannya masih menempel kuat pada batu sigil raksasa. Simbol-simbol di permukaan batu berdenyut, lalu satu per satu terlepas dan masuk ke dalam tubuh Nathan.Rentetan pengetahuan mengalir deras. Sigil Alterum dan Sigil Schisma.Pemahaman itu tertanam sempurna di benaknya.“Masih sempat kau tersenyum?” Bonang mendengus tajam. “Kau hampir mati di dalam sana. Sigil perasaan itu bukan main-main!”Nathan tersenyum kaku. “Cih! Roh sigilnya… men







