Sementara itu di kerumunan para siswa, Frey Han Rollock tentu merasa sedikit terkejut. Dia benar-benar tidak menduga Darrel akan memiliki skor poin rata-rata. Padahal dia masih mengingat dengan jelas kekalahannya waktu itu. Namun, dari hal tersebut Frey diam-diam tersenyum sinis tanpa alsan yang pasti."Apakah dia sedang bermain-main? Bagaimana jika aku diam-diam ikut campur," gumam Frey sambil tersenyum dingin.Biar bagaimanapun Frey sangat senang mengetahui skor Darrel lebih rendah dari apa yang dia miliki. Ini akan menjadi kesempatan untuknya membalas setelah dipermalukan waktu itu. Diam-diam Frey tersenyum jahat....Setelah semua peserta menyelesaikan tahap pertama dan kedua, ujian terakhir dimulai: duel satu lawan satu. Ini adalah bagian yang paling dinantikan oleh semua orang—kesempatan untuk membuktikan diri dalam pertarungan nyata.Arena duel terbentang luas di depan para siswa. Setiap pasangan akan dipilih secara acak untuk bertarung, dan mereka harus menggunakan semua yang
Serangan itu mengenai pinggang kiri Sanz dengan akurat, membuatnya terpental jauh ke sisi arena. Tubuh Sanz menghantam dinding arena dengan keras, membuat retakan kecil di tembok. Suasana arena mendadak sunyi. Para penonton terkejut melihat pemandangan itu, terutama karena Darrel yang sejak awal tampak defensif, tiba-tiba mengalahkan Sanz dalam satu pukulan.Sanz terkapar di tanah, tak mampu bergerak. Darrel, yang masih berdiri dengan tenang di tengah arena, tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Profesor Jack akhirnya menghampiri Sanz, memeriksa kondisinya sebelum mengumumkan hasil duel. "Pemenangnya, Darrel Van Bertrand!"Sorakan dan bisikan segera memenuhi arena. Tak ada yang menyangka bahwa Darrel, yang mencetak skor rata-rata dalam dua tahap ujian sebelumnya, bisa mengalahkan Sanz dengan begitu mudah. "Apa yang terjadi?""Tak mungkin? Bukannya dia memiliki skor poin rata-rata di tahap ujian pertama dan kedua, Mengapa Sanz kalah dari orang itu dengan skor keterampilan yang jauh
Di dalam kelas, terlihat beberapa siswa yang sudah duduk. Mereka semua terlihat biasa saja, dengan aura dan postur tubuh yang tidak mencerminkan bakat khusus. Salah satu dari mereka yang tampak sedikit berbeda adalah Lean Forc, teman sekamar Darrel di asrama. Pemuda berwajah culun itu tampak aneh melihat kesana kemari sambil menulis sesuatu di buku kecilnya. “Hallo,” sapa Darrel dengan senyum ramah, "Kau di kelas ini juga ya." Lean menoleh dengan sedikit kejutan, dia hanya mengangguk pelan. "Ya, kelas paling cocok untuk orang dengan bakat rendah sepertiku. Dan apa yang kau lakukan disini?" Darrel tertawa kecil, mengabaikan kerendahan hati Lean. "Tentu saja untuk belajar, memangnya apa lagi." Lean memandang Darrel dengan mata menyipit, "Bukannya nilaimu cukup bagus di atas rata-rata, kau bahkan mampu mengalahkan pemuda berbakat seperti Sanz, lantas mengapa kamu datang ke kelas paling rendah ini? Jangan bilang kau tersesat?" ucapnya. "Mana kutahu, aku mendapatkan perintah
Beberapa hari kemudian, suasana di Akademi Ravencroft terasa lebih tegang dari biasanya, terutama bagi kelas pemula. Darrel telah menyelesaikan rutinitas pagi dan bergegas menuju lapangan tempat latihan fisik berlangsung. Hari ini adalah kelas praktek, di mana setiap murid diharuskan menjalani latihan fisik yang cukup berat. Lapangan luas yang dipenuhi debu telah siap menyambut para siswa dengan tantangan yang tak sedikit.Darrel memandang sekeliling, melihat teman-temannya, termasuk Lean, yang berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Mereka tahu bahwa latihan fisik di bawah pengawasan Instruktur Sebastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Selain latihan keras yang mereka jalani, ada satu hal lagi yang membuat mereka semakin takut: sifat kejam Sebastian.Instruktur Sebastian muncul di depan mereka dengan senyum sinisnya yang sudah dikenal oleh seluruh siswa. Dengan tangan di pinggang, ia memerintahkan murid-murid untuk mulai berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putar
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan atmosfer di Akademi Kekaisaran Ravencroft semakin dipenuhi ketegangan. Sejak kesepakatan berisiko yang dilakukan Darrel dengan Instruktur Sebastian, suasana kelas pemula di Akademi Ravencroft berubah drastis. Para siswa, yang sebelumnya sudah terbebani oleh tugas-tugas fisik yang berat, kini merasa lebih tertekan oleh taruhan besar yang digantungkan di atas kepala mereka. Mereka kini hidup dalam ketakutan akan hasil dari kompetisi antar kelas yang akan datang.Darrel, yang kini menjadi pusat perhatian, merasakan tatapan canggung dari rekan-rekannya. Rasa gugup yang melingkupi mereka tampak jelas. Darrel tahu bahwa keputusan yang ia buat bukan hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga masa depan seluruh siswa kelas pemula. Sebagian besar dari mereka, meski tak berani berkata secara langsung, merasa bahwa keputusan Darrel terlalu gegabah. Mereka tidak yakin apakah bisa membantu Darrel dalam memenangkan kompetisi tersebut, terutama mengingat
Mereka berlatih setiap hari, berusaha meningkatkan kemampuan fisik, mental, dan taktik. Darrel mengatur strategi dengan hati-hati, memanfaatkan setiap keahlian yang dimiliki oleh anggota timnya."Lean, kau akan bertanggung jawab dalam bidang informasi dan strategi. Kau tahu lebih banyak tentang hutan Crofis daripada kami semua," kata Darrel saat mereka berlatih di lapangan.Lean, meskipun tidak sekuat anggota tim lainnya, memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia adalah tipe orang yang dapat menganalisis situasi dengan cepat dan merencanakan strategi yang matang. Darrel tahu bahwa keahlian Lean sangat penting untuk kerjasama tim mereka."Aku akan melakukan yang terbaik," jawab Lean dengan serius. Ia memang tidak memiliki fisik dan keterampilan berpedang yang hebat, tapi ia bertekad untuk tidak menjadi beban bagi kelompoknya.Dims, meskipun tidak sekuat Jose, adalah seorang yang cepat dan gesit. Ia menjadi andalan dalam latihan kecepatan dan ketangkasan. "Kalau kita bisa bertahan dari b
Dengan bimbingan dari Drakonis yang mengalir dalam dirinya, Darrel mengajarkan mereka teknik-teknik dasar yang memanfaatkan kecepatan, namun dengan penekanan pada keseimbangan dan ketepatan serangan. Setiap gerakan Dims dan Lissa diarahkan untuk mengurangi gerakan yang tidak perlu, sehingga mereka bisa bergerak lebih cepat dan efisien.Dims, yang biasanya bertarung dengan penuh antusiasme tanpa memikirkan pertahanan, kini mulai memahami pentingnya menjaga jarak dan menyesuaikan langkah kakinya. Setiap serangan yang ia lakukan sekarang lebih terukur, lebih terfokus.Lissa, yang awalnya ragu dengan setiap gerakan, mulai merasakan peningkatan kepercayaan diri. Dengan sedikit dorongan dari Darrel, dia bisa merasakan bahwa setiap langkah dan ayunan pedangnya lebih presisi."Kalian luar biasa, aku hanya mengajarkan kalian sedikit, namun kalian berkembang dengan cepat." kata Darrel setelah beberapa kali latihan intens. "Teruslah berlatih, ini baru teknik dasar, tapi kalau kalian bisa menguas
Keesokan harinya, Darrel dan teman-temannya berada di tempat latihan sejak pagi. Semangat dan antusiasme mereka membara, meskipun waktu latihan terasa sangat melelahkan. Mereka sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, dan setiap detik yang terbuang adalah kehilangan kesempatan untuk berkembang. Latihan fisik yang keras diiringi dengan strategi yang matang telah menjadi bagian dari rutinitas mereka. Mereka sudah hampir melupakan dunia luar, fokus pada persiapan untuk kompetisi yang semakin dekat.Namun, ketenangan mereka tak berlangsung lama. Tiba-tiba, sekelompok siswa dari kelas menengah berjalan menghampiri mereka. Mereka mengenakan seragam akademi yang rapi dan menatap tim Darrel dengan pandangan arogan. Di depan kelompok itu, seorang siswa bertubuh kekar dan tinggi berdiri dengan tangan disilangkan di dada, tersenyum mengejek."Itu Andrew Vandirc," bisik Lean pada Darrel. "Dia keponakan Instruktur Sebastian. Salah satu siswa yang paling berpengaruh di kelas men
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap