Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali, tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak bergoyang.Air Sungai Berantas pun tidak tampak beriak, di atas pohon Welung Pati marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di hadapan orang banyak, segera dia melompat ke bawah ke arah perahu.Sambil melayang turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu. Kali ini pria berpakaian putih rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu rupa, kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu, pendayung itu melesat ke atas, melayang ke arah Welung Pati.Welung Pati menggeram marah, tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu, kini terhalang oleh kayu pendayung.“Praakk!” Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Sunga
Langit pagi itu tampak cerah, nyaris tak terlihat setitik awan pun yang menutupi kebiruan langit di sebuah kawasan pantai. Para nelayan tengah asyik-asyiknya menangkap ikan di tengah lautan, tiba-tiba saja terdengar suara bergemuruh disertai munculnya gumpalan angin puting beliung yang diiringi kilatan petir.Para nelayan yang tadi tengah asyik melaut menangkap ikan terlihat panik, begitu pula dengan para penduduk yang berada di sekitaran pantai itu mereka berhamburan ke luar rumah. Pusaran angin itu seperti menyedot air laut yang dilewatinya, Anehnya meskipun pusaran angin itu sempat melewati permukaan lautan, namun tak ada sedikitpun berdampak membuat lautan itu meluap seperti munculnya gelombang tinggi.Permukaan laut tetap tenang, hanya di bagian yang dilewati pusaran angin puting beliung itu saja yang menimbulkan riak dan gelombang-gelombang kecil. Di dalam pusaran angin puting beliung itu bukannya air laut yang tersedot dari bawah naik ke atas, melainkan sosok pemuda berpakaian
Pendekar Rajawali Dari Andalas itu membayangkan betapa menderitanya para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata itu atas kekejaman Kerajaan Dharma yang dipimpin oleh Saka Galuh, dan memang perlakuan tidak manusiawi yang kerap diterima oleh para warga yang terlambat membayar upeti apalagi tidak dapat membayarnya sama sekali dalam bulan tertentu.Para prajurit utusan Kerajaan bukan hanya akan mengambil paksa persediaan makanan berupa padi dan beras di rumah warga yang tidak mampu membayar upeti pada bulan itu, mereka juga akan mendapat penyiksaan terlebih jika warga itu berusaha menghalang-halangi para prajurit dalam melakukan tindakan pemaksaan itu.Karena membayangkan betapa menderitanya para warga di bawah kepemimpinan Saka Galuh yang merupakan raja sebuah Kerajaan besar, sedangkan seorang Adipati yang pernah ia temui dulu di Tanah Minang saja yang hanya seorang Adipati dapat membuat warga desa semenderita begitu apalagi seorang raja yang kejam seperti Saka Galuh itu.“Keparat..!
“Hemmm, berarti otak semua itu adalah Ibunda Saka Galuh. Putranya itu hanya sebagai alat saja untuk menduduki tahta Kerajaan sementara semuanya dikendalikan olehnya,” ujar Arya memberi pandangan.“Benar Arya, aku juga sependapat denganmu. Dwinta memang kejam wanita berhati iblis!” Wayan Bima turut geram.“Oh, jadi nama Ibunda Saka Galuh itu Dwinta?” Wayan Bima hanya menjawab dengan anggukan kepalanya sementara rasa geramnya belum reda pada Ibu tiri dari Sekar itu.“Dia memang kejam Mas Arya, semasa remajaku di belakang Ayahanda aku kerap diperlakukan tidak baik bahkan pernah diperintah untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh para pembantu di istana,” Sekar menceritakan keluh-kesahnya saat diperlakukan rendah oleh Ibu tirinya itu sewaktu di istana.“Kamu tak pernah menceritakan itu pada Ayahandamu?”“Aku takut Mas, karena selalu diancam akan disakiti.”“Paman Wayan dan Bi Lasmi tahu akan hal itu?” Arya alihkan pertanyaan pada Paman dan Bibi angkat Sekar.“Awalnya kami tidak tahu, Arya
“Ya, sebagai seorang putra mahkota sudah selayaknya pula kamu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari para prajurit dan bahkan Panglima Kerajaan. Berangkatlah besok pagi, kamu akan di antar oleh beberapa orang prajurit istana yang pernah Ayahanda bawa serta dulu ke sana,” pinta Sang Prabu memberi perintah.Saka Galuh sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan usulan Ayahandanya itu, namun ia tak berani menolak perintah meskipun kesehariannya seorang Saka Galuh selalu membangkang perintah di belakang Sang Prabu.Pagi itu Saka Galuh memang terlihat bersiap seperti seorang yang akan berpergian jauh, tentu saja Sang Prabu senang karena putranya itu menjalani perintahnya dan akan menjadi seorang pemuda yang memiliki keahlian silat.Akan tetapi harapan Sang Prabu itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, saat Saka Galuh dan beberapa orang prajurit istana berlayar dengan perahu ke Pulau Madura. Putra mahkotanya itu memilih menuju Pulau Jawa, ia sengaja berada di Pulau Jawa i
“Benar, jika dibiarkan bukan tidak mungkin makin lama rakyat akan semakin menderita.”“Sepertinya malam telah kian larut Arya, sebaiknya kita sekarang istirahat. Mari kita tidur di dalam,” ajak Wayan Bima.“Kalian saja yang tidur di dalam, aku di sini saja.”“Jangan Arya, di luar udaranya terlalu dingin. Kita bisa tidur di ruangan depan,” ujar Wayan Bima.“Tidak apa-apa, Paman. Kalian masuk dan beristirahatlah di dalam, aku di sini saja sembari memantau situasi Desa Kuta ini.”“Baiklah jika begitu kami pamit untuk istirahat dulu,” Arya anggukan kepalanya sembari tersenyum, Wayan Bima, Lasmi dan Sekar masuk ke dalam rumah.Udara malam di pendopo terlebih letaknya tidak jauh dari pinggiran pantai tentu saja dingin apalagi jika angin bertiup dari lautan, namun bagi Arya hal itu merupakan hal biasa bahkan lebih nyaman berada di pendopo itu karena biasanya dia tidur di pinggir hutan yang terkadang diterpa hujan yang tentu lebih dingin lagi.Arya memang telah rebahkan tubuhnya berbaring di
“Justru berlebih makanya uang hasil penjualan ikan-ikan ini aku bagikan pada para warga desa yang kehidupannya sangat sulit, sebab penghasilan mereka tidak mencukupi karena harus menyisihkan untuk upeti buat istana Kerajaan.”“Paman Wayan memang luar biasa, sangat mulia hatimu Paman,” puji Arya dengan rasa kagumnya.“Hanya membantu sesama saja Arya, dan hal itu aku lakukan karena kepemimpinan Saka Galuh telah banyak membuat para warga desa menderita. Para sahabatku di desa-desa lain juga melakukan itu jika penghasilan mereka berlebih dari kebutuhan sehari-hari,” tutur Wayan Bima sambil mengendalikan gerobak kudanya.“Pada saat Prabu Swarna Dipa memimpin apa tidak ada upeti yang ditarik pihak istana, Paman?”“Tentu saja ada, Arya. Dan itu memang sudah ketentuannya di setiap kawasan yang dikuasai sebuah Kerajaan, hanya saja upeti yang beliau anjurkan pada rakyatnya semasa kepemimpinan Prabu Swarna Dipa terbilang kecil dan tidak memberatkan para warga desa,” jawab Wayan Bima menjelaskan
“Hemmm, istana Kerajaan ini cukup besar dan megah juga. Para prajurit dan penjaga di sini juga tidak terkesan ketat dengan membolehkan siapa saja masuk hingga taman di halaman istana ini,” gumam Arya sambil terus mengitari pandangannya ke seluruh bagian luar istana itu yang tentunya dengan tetap bersikap santai dan tak menunjukan gerak-gerik mencurigakan.Sekitar setengah jam Arya duduk di taman mengamati kawasan istana Kerajaan itu, ia pun kembali ke pasar menemui Wayan Bima.“Wah, cepat sekali ikan-ikan Paman terjual habis!” seru Arya girang bercampur terkejut saat ia tiba di meja di mana Wayan Bima dan dia tadi berjualan ikan.“Itu karena ada beberapa orang pelangganku memborongnya untuk dijual lagi di pasar-pasar kecil di desa mereka,” tutur Wayan Bima diiringi senyumnya. “Menyenangkan sekali berdagang ikan di pasar ini ya, Paman?” Arya begitu semangatnya membantu Paman Wayan membereskan tempat ikan-ikan yang tadi mereka bawa dari rumah, kemudian merapikan meja dan tempat mereka
Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali, tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak bergoyang.Air Sungai Berantas pun tidak tampak beriak, di atas pohon Welung Pati marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di hadapan orang banyak, segera dia melompat ke bawah ke arah perahu.Sambil melayang turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu. Kali ini pria berpakaian putih rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu rupa, kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu, pendayung itu melesat ke atas, melayang ke arah Welung Pati.Welung Pati menggeram marah, tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu, kini terhalang oleh kayu pendayung.“Praakk!” Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Sunga
"Aku meragukan hal itu Kangmas, lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon. Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki, seorang mata-mata tidak akan melakukan hal itu." ujar Adipati Seto Wirya alias Danar."Siapapun dia kita harus menyelidiki, aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini harus segera dikurung, jangan sampai orang itu melarikan diri. Kau tunggu di sini, awasi dia.”"Cepatlah!" kata Adipati Seto Wirya."Suruh Gandita kemari!" sambungnya.Orang yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum sepertinya tidak tahu kalau dirinya di awasi, dia terus saja menyantap buah itu sambil duduk berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya.Kulit cempedak dan juga biji buah itu dibuang seenaknya ke bawah, beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang jatuh ke dalam perahu milik Welung Pati yang ditambatkan di tepi Sungai Berantas itu.Kulit cempedak dan juga biji buah itu dibuang seenaknya ke bawah, beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang ja
"Lihat saja dengan diriku, pengabdian dan jasa apa yang tidak aku lakukan untuk Kerajaan, aku tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiranku dicurigai, perlakuan terhadap diriku sungguh menyakitkan. Aku dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja,” tutur Adipati Gadra."Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati Seto Wirya pula."Lihat saja dengan diriku, pengabdian dan jasa apa yang tidak aku lakukan untuk Kerajaan, aku tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiranku dicurigai, perlakuan terhadap diriku sungguh menyakitkan. Aku dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja,” tutur Adipati Gadra."Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?" sambung Adipati Gadra."Namanya Welung Pati, Dia Ketua Padepokan Gagak Timur. Dia orang kepercayaan ku yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita. Dan dia pula lah yang aku minta tolong untuk berkirim pesan berupa surat kepada Kangmas Adi," jawab Adipati Seto W
Arus Sungai Berantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu, sebuah perahu kecil meluncur perlahan melawan arus dari arah seberang. Di atasnya ada dua orang penumpang berpakaian seperti petani, yang satu berusia hampir setengah abad. Rambutnya yang disanggul di sebelah atas sebagian nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya, kumis dan janggutnya lebat.Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama akan ketahuan bahwa kumis dan janggut lebat itu adalah palsu, orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang lurus-lurus ke muka, sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya.Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar, pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain kuning terikat di keningnya, rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak."Ketua,
“Lihat di depan sana tak ada satupun bangunan padepokan yang berdiri selain reruntuhan yang kini telah menjadi arang, apa kamu yakin letak Padepokan Lumut itu di kawasan ini?”“Yakin Kang, dulu aku dan beberapa orang anggota Padepokan Gagak Timur pernah ke sini menemui Ketua Padepokan Lumut itu,” jawab Danar.Tak beberapa lama beberapa orang warga Desa Tandur yang tadi juga mengikuti rombongan berkuda itu menghampiri mereka, sementara Arya hanya mengawasi dari kejauhan saja.“Maaf Kisanak, kalian ini dari mana dan ada tujuan apa datang ke kawasan desa kami?” tanya salah seorang warga yang menghampiri Bari dan rekan-rekannya, Bari pun turun dari kuda begitu pula dengan rekan-rekannya.“Kami datang dari Padepokan Gagak Timur, tujuan kami hendak menemui Ketua Padepokan Lumut. Apakah benar di kawasan ini tempat berdirinya Padepokan Lumut itu, Kisanak?” jawab Bari lalu balik bertanya.“Ya benar, akan tetapi Padepokan Lumut itu sudah runtuh dan Ketua padepokan itu pun telah tewas.”“Apa? Pa
“Ya Ketua, aku akan sampaikan itu jika dia bertanya.”“Nah, sekarang kalian berangkatlah ke sana. Jangan lupa bawa serta beberapa orang dan kereta kuda untuk membawa bahan makanan bantuan dari Padepokan Lumut itu nantinya,” Welung Pati memberi perintah.“Baik Ketua, kami mohon diri untuk berangkat ke sana,” ujar Bari yang di percaya sebagai pemimpin rombongan yang akan berangkat ke Padepokan Lumut itu.****Selepas tengah hari Arya yang 2 hari ini masih berada di Desa Tandur menginap di rumah Sapto sebagai kepala desa di sana bermaksud hendak mohon diri melanjukan perjalanannya, pada saat itu pula wanita berpakaian ungu tampak murung karena musti berpisah dengan pendekar tampan yang dalam beberapa hari ini mendampinginya.“Jadi hari ini kamu hendak melanjutkan perjalanan ke arah barat sana, Arya?” tanya Sapto di ruangan depan rumahnya.“Jadi Paman, aku rasa tujuanku membantu Mantili dan seluruh warga desa di kawasan ini telah selesai.”“Baiklah, tak ada yang dapat kami berikan sebagai
Meskipun di langit tampak beberapa awan yang menyelimuti tapi pagi itu cukup cerah dan di perkirakan menjelang siang hujan tidak akan turun, di sebuah kawasan yang di sana terdapat sungai besar memanjang banyak terdapat pemukiman dan deretan lahan persawahaan yang luas milik warga desa.Sungai itu bernama Sungai Berantas, yang tak jauh dari kawasan itu tampak pula menjulang tinggi Gunung Kawi, di pinggiran Sungai Berantas itu lah berdiri sebuah bangunan Kerajaan yang sangat besar dan Megah.Kerajaan itu salah satunya yang sampai sekarang tak mampu ditundukan Pangeran Durjana bersama Padepokan Nerakanya di kawasan timur Pulau Jawa, termasuk pula Padepokan Gagak Timur yang di pimpin Welung Pati yang saat itu berada tidak jauh dari perbatasan wilayah kekuasaan Kerajaan besar di pinggiran Sungai Berantas.Kerajaan itu sendiri tidak lain adalah Kerajaan Kediri, yang pada masa itu di pimpin oleh Prabu Jayabaya. Pada masa itu pula Kerajaan Kediri berkembang sangat pesat hingga di kenal sampa
“Wuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaaam..! Blaaaaaaar..!” Bola berwarna hijau pekat itu pun meledak di tengah-tengah antara Lenggo Lumut dan Mantili yang berhadap-hadapan sejarak 7 tombak.“Bedebah..! Kembali Bola Lumut Beracun ku mampu ia bendung..!” geram Lenggo Lumut dalam hati, sementara Arya yang kini duduk santai berjuntai-juntai di atas atap salah satu bangunan padepokan tertawa membuat Ketua Padepokan Lumut itu makin geram.“Mantili..! Kali ini kau tidak akan lolos lagi..! Nyawamu akan melayang menyusul arwah kedua orang tuamu di neraka..! Hiyaaaaaaaaaaat..!” berawal dengan merentangkan kedua tangannya ke atas kemudian menghentakannya ke tanah, tubuh Lenggo Lumut berubah berwarna hijau keseluruhannya dan bentuk tubuhnya sedikit lebih besar dan tinggi.Tubuh Lenggo Lumut yang menghijau itu ia putar perlahan makin lama makin kencang seperti gasing menderu mengejar Mantili seiring dengan lesatan sinar-sinar hijau yang puluhan jumlahnya, Arya sempat di buat terkejut dan ingin melompat memban
“Hiyaaaaaat..! ajian Cincin Bulan Menentang Angin..! Blaaaaaaam..! Blaaaaaaaar..!” puluhan benda bulat berwarna ke kuning-kuningan itu meledak sebelum tiba di tempat Mantili berdiri, hal itu di karenakan cahaya putih berupa lingkaran yang berasal dari kedua telapak tangan yang di putar oleh murid Kiai Bimo melesat dan menghantam ke semua Bola-bola kematian itu.Ratu Lentik bukan kepalang terkejutnya, ia tak menyangka jika lawannya memiliki ajian sedahsyat itu.“Jika ajian Bola-bola Kematian tidak mempan, saat aku akan beri dia pelajaran dengan ajian Gelang-gelang Setan!” gumam Ratu Lentik.Kedua tangan Ratu Lentik nampak di gerak-gerakan ke atas dan ke bawah, kemudian di kedua tangannya itu mulai dari siku hingga pergelangan memancar cahaya kuning menyilaukan, cahaya itu makin terang seiring munculnya beberapa buah gelang memenuhi dari siku hingga pengelangan tangannya itu.“Hiyaaaaaaat..! Kali ini kau pasti mampus wanita keparat..! Ziiiiiiiiiing..! Ziiiiiiiiiiing..!” beberapa buah ge