Napas Cara tertahan. Emosi di wajah Ethan begitu pekat. Berhasil membuat bulu kudunya merinding. “Apa yang kau inginkan dari mereka?”Ethan semakin menundukkan kepalanya. Menyingkirkan jarak di antara wajah mereka. “Sepertinya aku sudah mengatakan padamu, kan?”Membuat si kembar kecewa padanya dan Zevan, ulang Cara dalam hati. Wajahnya memucat.“Jadilah istri yang patuh dan penonton yang baik, Cara. Mungkin itu akan menjadi satu-satunya kesempatan bagimu untuk memperbaiki hubungan kita. Sepertinya gambaran keluarga yang bahagia bersamamu dan si kembar bukanlah masa depan yang buruk untuk dibangun. Kau bersedia menjadi bagian dari kebahagiaan kami?”Cara membeku. Ethan seolah menekan kata kami. Merujuk pada pria itu dan si kembar dan mengecualikan dirinya. “Kau tak bisa begitu saja merebut mereka dariku.”“Katakan itu saat kau memalsukan keguguranmu dan menyembunyikan mereka dariku.”“Toh kau tak menginginkan mereka.”“Belum,” koreksi Ethan. Menarik tubuh dan menegakkan punggung. “Seka
Rupanya tak hanya Zevan yang diundang Ethan untuk acara makan malam tersebut. Tetapi juga kedua orang tuan Ethan, Irina dan Roy. Yang sudah menunggu di dalam restoran. Ethan seolah sengaja memilih lokasi restoran yang ada di pinggiran kota. Dengan suasana yang lebih pribadi. Selain karena restoran ini juga salah satu bangunan yang baru dibelinya bulan lalu. Ekpreso Zevan seketika berubah dingin ketika beralih pada keangkuhan di wajah Ethan. “Kau menculik mereka?” Ethan tersenyum, kedua kaki tangannya menahan pria itu yang hendak bergerak ke arahnya dengan ancaman. “Lepaskan!” Zevan menyentakkan tangannya dari pegangan pengawal Ethan. Matanya melotot penuh kedongkolan. Menghela napas kasar dan mundur satu langkah. “Menculik? Kenapa pemilihan katamu terdengar sedikit menyinggung perasaanku, Zevan. Mereka anakku. Anak-anakku.” “Kau membunuh mereka.” “Mereka masih hidup, bukan?” Zevan menggeram. Wajahnya semakin menggelap dengan sikap santai yang dipamerkan oleh Ethan. Seolah sem
Tubuh Cara dibanting di tengah kasur. Cukup keras meski tidak menyakiti karena kasurnya yang empuk. Tubuh Ethan menindih di atas wanita itu. Satu tangan memaku kedua tangan cara di atas kepala sementara tangan yang lain menahan berat tubuhnya agar tak sepenuhnya menindih Cara. Wajah Ethan berada tepat di atas wajah Cara. Saling mengunci pandangan meski dengan emosi yang berbeda. “Aku tak pernah menyangka menyentuhmu bisa menjadi candu seperti ini, sayang,” kekehnya. Mengambil satu lumatan singkat dan dalam di bibir Cara. Sengaja membiarkan napas panasnya berhembus di seluruh permukaan wajah Cara. Cara menggeliat dengan sia. “Kau benar-benar keterlaluan, Ethan. Untuk apa kau menyiapkan kamar untuk mereka jika kau tidak berniat membuat mereka tinggal di sini.” “Kau berharap mereka tinggal di sini?” “Lalu apa yang sebenarnya kau inginkan? Kau ingin menggunakan mereka untuk mengancamku, kan?” Ethan tertawa kecil. ”Tidak, tapi aku suka kepercayaan dirimu. Hanya saja, aku yang menggun
Beberapa saat kemudian … Dengan gaun malam pilihan Ethan, pria itu menyeret Cara masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apapun. Tak memedulikan rontaan Cara. “Di mana ini?” Cara memucat ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling mobil yang mulai berhenti di area parkir. “Klub malam,” jawab Ethan dengan geli akan kebengongan di wajah Cara. Cara menoleh, menatap Ethan yang terkekeh. Ia bertanya bukan karena tidak tahu tempat macam apa ini. “Zaheer sedang mengadakan pesta ulang tahunnya. Dan kau akan menjadi pasanganku malam ini.” Entah kenapa Cara merasakan firasat yang buruk tentang ini. Begitu keduanya memasuki ruangan yang berisik hingga menyakiti gendang telinga Cara, Zaheer yang berpakaian warna gold dengan kilau terlalu mencolok tersebut langsung datang menghampirinya. Kepala pria itu dihiasi mahkota dengan warna senada. Karena suara yang terlalu bising, keduanya menyapa dan bicara dengan membaca gerakan bibir. Melambaikan tangan ke arah tamu undangan yang lain. Eth
“Apa yang terjadi?” gusar Ethan begitu menemukan Zaheer yang berdiri di depan pintu ruangan berwarna putih tersebut. Ada kecemasan yang tersirat di kedua matanya. Muncul tanpa ia menyadarinya. “Seperti yang kau bilang, aku hanya menakutinya. Dan seperti yang kau bilang dia akan ketakutan. Tiba-tiba dia meminta waktu untuk ke kamar mandi. Dia mengatakan hanya lima menit, saat kupikir dia masuk ke dalam terlalu lama dan menemukannya pingsan. Entah dari mana dia mendapatkan obat itu, mulutnya sudah dipenuhi busa.” Ethan menggeram. “Apa yang dikatakan oleh dokter?” “Overdosis obat. Tepatnya obat apa, dokter masih belum memberitahuku. Dia ingin bicara denganmu. Sekarang perutnya sedang dikuras, selebihnya aku tak tahu. Aku hanya menyuruh mereka melakukan apa pun yang diperlukan agar dia selamat setelah mengatakan dia istrimu.” Kedua tangan Ethan mengepal kuat. “Dia sengaja.” Zaheer hendak mengatakan sesuatu untuk membantah, tetapi ia sendiri tak yakin dengan perkiraannya sendiri.
Mata Ethan memicing tajam ke arah Cara, yang terengah pelan sambil menahan ringisan di wajah. “Apa yang dikatakannya benar?” Cara menyentakkan wajahnya dari genggaman Ethan yang mulai melonggar. “Jangan berpura tak tahu, Ethan. Kau yang memberikannya pada Emma, kan?” Alis Ethan menyatu. “Emma yang mengatakannya?” Cara membuang wajah. Tak perlu menjawab. Sandiwara Ethan memang selalu sempurna. Tak pernah tak sempurna. Pria itu yang mendorongnya jatuh, pria itu pula yang akan mengulurkan tangan ke arahnya. Membiarkan semua orang merundungnya, lalu menjadikan dirinya menjadi istimewa dibandingkan wanita-wanita pria itu yang lain. Ethan memang pria paling manipulatif yang pernah ia kenal. Kemarahan di dadanya masih bergemuruh meski Ethan mulai tampak tenang. Entah apa yang menjadi berbeda dirinya mati karena pria itu lewat tangan Emma atau dengan tangannya sendiri. Melihat kemarahan Ethan, sepertinya mati di tangannya sendiri adalah kelancangan yang tak bisa pria itu maafkan. Bukan
“S-sakit, Ethan,” rintih Cara. Tangannya berusaha menarik tekanan Ethan yang semakin kuat.“Aku tahu.” Pegangan Ethan akhirnya melonggar. Melengkungkan seringai jahat sembari mundur satu langkah dan membiarkan perawat menangani sang istri.Cara menggigit bibir bagian dalamnya, pandangannya tertunduk. Menghindari tatapan intens Ethan dan mengamati perawat yang segera menutup luka tusukan di sana dengan plester dan kembali memasang jarum infus di tangannya yang lain.“Kalian bisa keluar,” perintah Ethan tepat ketika si perawat menyelesaikan pekerjaannya. Kembali meninggalkan mereka berduaan.“Apakah kau akan berhenti memikirkan Zevan jika aku memenjarakannya?”Cara tercekat pelan. “Apa?”“Aku tak tahan ketika mendengar mereka memanggil Zevan. Sangat mengganggu. Dan semakin aku memikirkannya, sepertinya …”Cara menggeleng dengan cepat. “Tidak, Ethan.”Ethan tertawa kecil. “Aku tak butuh ijinmu.”“Zevan tidak bersalah. Akulah yang datang padanya.”“Ck, kau memang tak bisa menahan diri unt
Cara memelintirkan lengannya dengan kesal. “Lepaskan, Zaheer.”Pegangan Zaheer semakin kuat, menghadang di antara Cara dan Zevan saat pria itu beranjak berdiri.“Bukankah keahlian Ethan memang menjadi menyedihkan?”“Katakan itu pada dirimu sendiri, Zevan. Apakah rumah utama kekurangan cermin untukmu?” Zaheer menyelipkan tawa kecil sebelum melanjutkan. “Atau kau terlalu malu menatap wajahmu sendiri?”Wajah Zevan membeku. Kata-kata Zaheer berhasil mengena di hatinya.“Meski kau cucu kesayangan kakek, kau tahu kakak masih berpikir logis untuk tidak menjadikanmu penerusnya, kan? Kenapa kau masih tak menyadari dirimu yang sebenarnya.”Zevan menggeram. Kedua tangannya mengepal.Pandangan Zaheer turun ke bawah. Tersenyum lebih tinggi. “Sejak kembali, rupanya kau kesulitan mengendalikan emosimu, ya? Apakah karena Ethan ternyata masih unggul dibandingkan dirimu? Bahkan setelah kau membuatnya berakhir di penjara.”Tatapan Zevan seketika beralih pada Cara. Yang mulai diselimuti kebengongan. “Omo
“Di mana Ethan?” Pagi itu, Zaheer muncul di ruang perawatan Cheryl dan tak menemukan Ethan. Hanya Cara dan si kembar yang masih terlelap. Cara menggeleng tak tahu. Saat keluar dari kamar mandi, Ethan sudah tidak ada. Zaheer menatap Cara dan si kembar bergantian. “Bisakah kita bicara?” “Katakan.” Cara menatap dua berkas di tangan Zaheer. “Di luar.” Cara pun ikut keluar. Langkah keduanya berhenti tak jauh dari pintu dan Zaheer memberikan salah satu berkas di tangannya pada Cara. “Apa ini?” “Hasil tes darahmu.” Zaheer membuka satu persatu lembaran yang ada di dalamnya dan berhenti di lembaran terakhir. “Kau tahu apa ini?” Cara mengernyit tak mengerti. “Aku bukan dokter, Zaheer. Kenapa kau malah bertanya padaku?” Zaheer mendengus tipis. “Kau yakin tak tahu?” Cara menutup berkas tersebut. Kesal oleh tatapan penuh curiga Zaheer. “Aku hamil, kan? Ethan sudah tahu. Kau puas?” Zaheer menahan lengan Cara yang hendak melewatinya. “Kau yakin hanya kami yang tahu tentang kehamilanmu?
Ethan melompat ke arah Cara dan berhasil menangkap kepala wanita itu sebelum membentur lantai. Kemudian menggendong sang istri keluar dan membawanya ke ruang IGD. Betapa terkejutnya Ethan saat mendengar penuturan sang dokter yang mengatakan tentang kehamilan Cara. Stres dan tubuh yang lemah membuatnya mengalami pendarahan. Pun begitu Ethan merasa lega karena setidaknya janin itu cukup kuat untuk bertahan. “Lalu bagaimana kontrasepsi itu tidak berjalan dengan baik?” “Ada beberapa hal seperti yang pernah saya jelaskan.” Ethan jelas tak butuh mendengar hal itu lagi. Sekarang Cara hamil. Dan itu lebih mengejutkannya. Saat Cara meminta untuk melakukan kontrasepsi di tengah kebutuhan biologisnya yang tak pernah tak tertahankan jika di hadapkan pada wanita itu, kehamilan adalah hal yang sejujurnya ingin ia hindari. Pengalamannya tentang menghadapi kehamilan Cara bukanlah hal yang ingin diulang. Dan luka itu masih menganga lebar setiap kali menatap si kembar. Ethan mengangguk setelah san
‘Cara, bisakah kau membantuku? Aku membutuhkanmu. Sekarang.’ ‘Nighty Club.’ Cara menunjukkan pesan singkat yang dikirim oleh Zevan. Yang langsung mengambil ponsel miliknya. Tetapi tak ada pesan tersebut di ponselnya. “Aku memang ada urusan di sini, tapi aku tak mengirim pesan tersebut padamu.” “Apa?” “Seseorang pasti mengirimnya untuk menjebakmu.” Keduanya saling pandang. Tak lain dan tak bukan pasti. “Emma,” gumam keduanya bersamaan. “Sebelum berangkat ke sini, dia mengunjungi apartemenku. Aku tak tahu dia akan melakukan trik semacam ini dan entah apa tujuannya.” Cara menghela napas rendah. “Setidaknya sekarang kau baik-baik saja.” Zevan mengangguk. “Apakah itu artinya kau memang akan datang jika terjadi sesuatu padaku?” “Tentu saja aku akan membantumu.” Keduanya tertawa bersama. “Bukankah kau harus pergi?” “Aku akan membatalkannya. Aku tak mungkin meninggalkanmu di tempat ini sendirian. Tunggu sebentar.” Zevan mengangkat panggilan yang tiba-tiba masuk. Sedikit menjauh
“Ini akan menjadi terakhir kalinya aku membantumu, Bianca.” Ethan menurunkan gulungan bajunya. Melirik tajam pada sang mama yang berada di ujung ranjang. “Apa pun itu trik yang sedang kalian mainkan, tak akan bekerja padaku. Jadi hentikan rencana yang coba kalian susun. Aku sudah muak dengan permainan keluarga ini.” “Apa maksudmu permainan, Ethan?” Senyum kepuasan yang tersemat di bibir Irina seketika membeku. Menatap Bianca dan Ethan dengan kebengongan. Ethan mendengus tipis. Menatap mamanya yang terlihat konyol dengan kebengongan tersebut. “Tidak bisakah kalian menyembunyikan perasaan kalian dengan lebih baik?” “Kami benar-benar tak mengerti apa yang kau maksud, Ethan. Permainan? Apakah semua ini terlihat seperti permainan di matamu? Aku baru saja mengalami kecelakaan dan membutuhkanmu?” Bianca menunjukkan perban yang membebat tangan kiri dan keningnya. “Kau pikir aku bercanda?” Ethan sama sekali tak tertarik mengamati semua perban dan plester yang terpasang tersebut. Saat mene
Cara pulang lebih lambat pun, Ethan masih belum sampai di apartemen. Ia berusaha tak peduli dengan pengabaian Ethan. Walaupun ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya. Kedua kakinya langsung melangkah menuju kamar utama. Merasa begitu penat dan lelah hingga sangat malas hanya untuk sekedar ke kamar mandi. Ia pun hanya berbaring di sofa. Menunggu rasa lelahnya mereda sebelum membersihkan diri. Toh Ethan juga tak akan segera kembali.Kehamilannya kali ini tidak seberat yang pertama. Mungkin karena kali ini bukan anak kembar? Atau …mungkin memang anak kembar. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya atas ketidak tahuannya. Seharusnya ia segera pergi ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun bagaimana jika Ethan tahu? Apa yang harus dikatakannya? Apakah pria itu akan terkejut?Cara menggelengkan kepala. Kenapa sekarang ia harus peduli pada reaksi Ethan? Ia tak pernah mengharapkan kehamilan ini. Tak pernah membayangkan dirinya akan kembali dihamili oleh Ethan
Cara merasa lega –sedikit- menemukan Zaheerlah yang berdiri di balik pintu bilik. Menyambar alat tes kehamilan yang masih diamati oleh pria itu. “Apa yang kau lakukan di toilet wanita, Zaheer?”“Kau hamil?”“Bukan.”“Bukan? Kau pikir aku bekerja di rumah sakit tidak menggunakan otakku, ya?” dengus Zaheer. “Jangan membodohiku, Cara. Aku tahu benda apa itu.”“Itu bukan milikku.”“Dan untuk apa kau menyimpan alat tes kehamilan yang bukan milikmu.”“Dan untuk apa aku melakukan tes kehamilan jika aku melakukan kontrasepsi.” Suara Cara berhasil keluar dengan tanpa getaran sedikit pun. “Kalau kau tak percaya, kau bisa tanya pada Ethan sendiri.”Kedua alis Zaheer bertaut penuh curiga. “Lalu milik siapa itu?”Cara menela ludahnya sambil berpaling. Berjalan mendekati tempat sampah sekaligus menghindari tatapan menelisik Zaheer yang belum sepenuhnya percaya. “Ada seseorang mengirimkannya padaku.”“Apa?”“Pasti milik salah satu wanita Ethan, kan? Semua menginginkan menjadi teman tidur, kekasih da
Ponsel Ethan yang berdering menyela di tengah kesibukan dokter yang memeriksa Cara. Pria itu mengabaikannya, tak melepaskan pengamatannya dari sang dokter. Namun, deringan yang tak kunjung berhenti tersebut tampak mengganggu, Ethan terpaksa mengurus panggilan terebut. Berjalan keluar menjauh. “Ada apa lagi, Bianca?” Cara masih bisa mendengar nada kesal yang diucapkan Ethan sebelum pria itu benar-benar menjauh. Hingga perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan dokter tentang apa saja yang ia rasakan. “Mual dan pusing. Sepertinya saya hanya kecapekan, Dok.” “Riwayat penyakit maag?” “Tidak ada. Tapi beberapa hari ini saya kurang berselera makan. Mungkin karena itu.” “Hubungan dengan suami?” Cara menatap sang dokter, tak mengerti. “Ya, hubungan suami istri.” Cara semakin tak mengerti kenapa itu ada hubungannya dengan sakintnya. Dokter wanita itu tersenyum. “Apakah Anda melewatkan tamu bulanan Anda?” Wajah Cara yang sudah pucat tiba-tiba membeku. Menatap kedua mata sang dokter denga
“Dia yang memaksa masuk menggunakan kartu aksesku, Ethan.” Emma mengulurkan kartu hitam mengkilat yang ada di tangannya. “Sepertinya aku harus mengembalikannya padamu, kan? Pengawalmu baru saja membawa barang-barangku ke mobil.” Ethan terdiam. Menatap kartu tersebut tetapi ada hal lain yang memenuhi pikirannya. Alis Emma menyatu melihat Ethan yang tampak lebih diam dari biasanya, dan yang satu ini pasti ada hubungannya dengan kemunculan Bianca yang begitu tiba-tiba tersebut. “Kenapa? Kau baik-baik saja?” Ethan melirik dengan ujung matanya. “Keluarlah. Urusan kita sudah selesai.” Emma terdiam sejenak. “Tidak. Belum, Ethan.” Ethan menghela napas sambil mengambil kartu yang diberikan Emma dan memasukkannya ke dalam laci. “Jika itu tentang perasaanmu. Lupakan, Emma. Aku tak butuh mendengar hal konyol semacam ini lagi.” Wajah Emma memerah, kecewa sekaligus malu. “Kau tak perlu memikirkan apa yang pernah Bianca lakukan untuk hidupmu, Ethan. Saat itu kau masih anak-anak dan dia meman
“Aku berhasil menemukannya. Setelah satu atau dua minggu menyelam di sana.”Cara masih membeku dalam keterkejutannya. Untuk waktu yang cukup lama. Menatap benda dengan hiasan permata tersebut. Ia sudah lupa bagaimana bentuk cincin yang Ethan selipkan di jari manisnya dengan penuh pemaksaan tersebut.“Apakah itu artinya pernikahan kalian juga …”“Ya, aku menggunakan pistol yang menempel di kepalanya untuk memaksanya mengucapka sumpah pernikahan.” Ethan menatap lurus kedua mata Cara. “Matanya yang jernih dipenuhi air mata. Bibirnya bergetar karena ketakutan dan wajahnya yang sepucat mayat tampak begitu cantik di mataku. Tapi …” Ethan sengaja mengulur kalimatnya, mengamati lebih lekat wajah Cara sebelum kemudian menyambar satu ciuman singkat di bibir wanita itu. “Dia memang selalu terlihat cantik. Tepat seperti yang dikatakan oleh Mano. Kau setuju?”Bianca menatap Cara dengan senyum yang lebih lebar. Menyembunyikan ribuan tanya yang mendadak muncul di benaknya. “Kau menyelam?”Ethan meng