Share

Penguntit

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2025-01-27 11:00:45

Setelah menghabiskan arak, Ren Hui dan Junjie meninggalkan kedai, berjalan perlahan menyusuri pasar yang ramai. Bau rempah-rempah dan arak bercampur dalam udara, ditemani suara pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka. Mereka singgah di beberapa tempat, membeli bahan makanan, rempah-rempah, bahkan beberapa kain tebal yang dirasa akan berguna.

“Apakah mereka masih mengikuti kita?” tanya Ren Hui dengan nada santai, meski matanya menyapu kerumunan yang bergerak di sekitar mereka.

Junjie hanya menganggukkan kepala tanpa bicara, lalu memilih duduk di sebuah bangku kayu di depan kedai. Di tempat itu, mereka menitipkan gerobak berisi arak dan Lobak, keledai mereka yang setia.

“Kau tahu siapa mereka?” Ren Hui bertanya lagi, suaranya sedikit lebih rendah kali ini.

Ia mulai menata barang-barang belanjaan di dalam gerobak dengan gerakan tenang, meski pikirannya tak berhenti memutar kemungkinan.

Lagi-lagi, Junjie menggelengkan kepala tanpa
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kami Ingin Bernegosiasi

    "Aiyo Xin!" Xuan Yu mengeluh saat sosok tadi melangkah mendekat, berdiri di sampingnya dengan gerakan penuh kepercayaan diri. Matanya yang tajam bergantian menatap Junjie dan Ren Hui, sebelum berhenti pada wajah Ren Hui yang masih terkekeh ringan. "Apa yang kau tertawakan?" tanyanya, nada suaranya terdengar tajam dengan sedikit nada jengkel.Ren Hui menghentikan tawanya, lalu meluruskan punggung. Sorot matanya berubah lebih serius saat meneliti dua pemuda di hadapannya. Dari helaian rambut hingga ujung sepatu, ia menatap mereka dengan cermat, seolah membaca kisah yang tersembunyi dalam raut wajah dan postur mereka. "Tanpa topeng hantu, ternyata kalian tampan dan keren juga," ucapnya tulus, nada suaranya terdengar hangat namun tegas.Ucapan Ren Hui membuat kedua pemuda itu saling melirik. Ekspresi mereka tak bisa menyembunyikan keterkejutan kecil yang segera ditepis dengan kepura-puraan tenang."Ngomong-ngomong, kenapa kalian mengikuti kami?" Ren Hui bertan

    Last Updated : 2025-01-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang Tetap Hutang !

    Mereka tiba di rumah beroda menjelang senja, saat cahaya matahari yang memudar memantulkan rona keemasan di permukaan sungai. Baihua, si rubah putih, berlari riang menyambut Ren Hui. Ekornya yang lebat berayun-ayun di udara Lobak mendengus keras melihatnya, ekspresinya seolah penuh kekesalan setiap kali melihat Baihua bermanja-manja pada Ren Hui.“Aiyo! Baihua! Kau seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Ren Hui!” teriak Song Mingyu dari dalam rumah beroda. Pemuda itu bergegas menyusul rubah kecil itu, tetapi langkahnya terhenti di pintu. Matanya membulat, melihat bukan hanya Ren Hui dan Junjie yang kembali, melainkan tiga orang asing yang berdiri di belakang mereka.“Mari masuk,” Ren Hui mempersilakan tamunya dengan sikap santai. Ia kemudian menoleh ke Mingyu. “Mingyu, bantu aku membawa barang-barang ini,” ujarnya, memberi isyarat pada beberapa karung dan keranjang belanjaan yang diletakkan di gerobak.Song Mingyu yang masih termangu akhirnya te

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Pasukan Hantu Kematian 1

    "Pangeran Yongle, seperti yang kau ketahui dan aku yakin kau mengetahui dengan pasti, Pasukan Hantu Kematian dari Manor Keberuntungan Besar tidak pernah berminat pada tahta sejak lama." Xin memulai dengan suara tenang, penuh kehati-hatian, seakan memastikan setiap kata dipilih dengan cermat agar tak ada kesalahpahaman.Junjie duduk tegak di kursinya, memandang lurus ke depan tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya serius, menandakan ia mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Xin. Napasnya teratur, tetapi jari-jarinya yang perlahan mengetuk meja kayu menunjukkan pikirannya yang sedang bekerja keras."Namun, beberapa tahun ini, tepatnya sekitar dua puluh lima tahun lalu saat Nona Kedua Hong menikahi seseorang dari Kediaman Teratai Hijau. Sejak itu semua berubah. Kediaman Keberuntungan Besar di Utara selalu beriringan pada kekuasaan. Sehingga menimbun perpecahan dalam Pasukan Hantu Kematian." Kata-kata Xin mengalir perlahan, namun setiap suku katanya seakan memba

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dewa Dapur

    Lei menatap Ren Hui lekat-lekat, sorot matanya penuh rasa penasaran yang belum terjawab. "Jadi benar kau ini Ren Jie sang Dewa Pedang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah menantang, setengah ingin memastikan.Langkah kakinya menggema ringan ketika ia berjalan menuju dapur. Matanya menyapu Ren Hui dari ujung kepala hingga kaki, seolah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata.Ren Hui, yang sedang mengisi mangkok porselen dengan sup yang baru matang dan masih mendidih panas, hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Ah, terserah kaulah, anak muda! Nah, bawa ini ke meja!" ujarnya sambil menyodorkan mangkuk berisi sup asparagus dan kepiting yang masih mengepul hangat pada Lei. Aroma gurih sup itu memenuhi ruangan, membuat siapa pun yang menciumnya sulit menahan lapar.Lei menerima mangkuk itu, tapi tidak segera beranjak. Matanya tetap mengawasi Ren Hui, bibirnya melengkung menyeringai. "Aku rasa kau lebih cocok dijuluki sebagai Dewa Arak a

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Yingying Kembali Lagi

    "Apakah kau mengundang seseorang?" Junjie menatap Ren Hui dengan tatapan penuh tanda tanya. Ren Hui hanya mengalihkan pandangannya ke pintu yang tertutup rapat, seolah merasakan sesuatu yang aneh.Sedari malam menjelang, kedua pintu rumah beroda memang ditutup rapat, menyaring angin dingin yang menggigit dari luar. Hanya pintu bagian belakang yang selalu dibiarkan sedikit terbuka, tertutupi tirai bambu yang rapat. Memberi kesan seakan rumah beroda itu benar-benar tertutup dari dunia luar."Seingatku tidak," sahut Ren Hui seraya menggelengkan kepala dengan ringan. "Tetapi, siapa yang tahu? Mungkin saja seseorang berniat mampir mengunjungi rumah berodaku, kan? Bisa saja kawan lama, atau mungkin musuh lama?" Ujarnya dengan nada bercanda, mengusik ketegangan yang mulai terasa.Song Mingyu dan Junjie hanya saling melirik, lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan Ren Hui yang tak serius itu. Sementara itu, ketiga tamu mereka

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Negosiasi Selesai

    Makan malam pun usai, menyisakan meja yang kini hanya dihiasi batang-batang bambu hijau berisi arak. Udara di dalam rumah beroda masih menghangat oleh aroma masakan yang baru saja disantap, bercampur dengan samar wangi kayu pinus yang dipoles halus.Ren Hui mengangkat kepalanya, tersenyum ringan. "Nah, sekarang kalian bisa kembali melanjutkan perbincangan tadi." Dia bangkit, menyisihkan mangkuk dan sumpit yang tersisa, sementara Song Mingyu membantunya membereskan meja. Tatapannya kemudian beralih pada Yingying. "Dan kau, sebaiknya beristirahat di atas," ujarnya lembut.Tabib wanita itu tak langsung menjawab. Tatapan tajamnya melayang ke arah ketiga tamu mereka—Xin, Xuan Yu, dan Lei. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Dia mengenali mereka. Bagaimana mungkin dia lupa? Mereka adalah anggota Pasukan Hantu Kematian, kelompok yang telah beberapa kali bertempur melawan mereka. Dan tentu saja, mereka terlibat dalam insiden yang mer

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hangatnya Pagi, Harumnya Teh Pahit

    Keesokan paginya, ketenangan rumah beroda mereka terusik oleh suara ketukan keras di pintu. Langit masih berembun, tetapi Wei Xueran, dengan gaya sembrono khasnya, sudah berdiri di depan pintu bersama Pasukan Bayangan dari Paviliun Embun Pagi."Ren Hui! Junjie! Kalian masih tidur?" Suaranya nyaring menembus udara pagi yang masih dingin, menimbulkan kegemparan di dalam rumah.Junjie mengerjapkan mata malas, baru saja hendak menguap ketika pintu diketuk lebih keras. "Apa dia tidak tahu sopan santun?" gerutunya.Kekacauan itu memuncak saat Wei Xueran masuk begitu saja dan terlibat perkelahian kecil dengan Junjie, hanya karena sepotong kue bulan yang tersisa di atas meja makan. Suara mereka beradu memenuhi ruangan sempit, hingga akhirnya Yingying turun tangan.Tanpa banyak bicara, tabib ilahi itu mengangkat jarum-jarum akupunturnya, yang berkilauan tajam di bawah cahaya pagi."Aiyo Yingying! Singkirkan jarum-jarum mengerikanmu itu dariku!" We

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Janji

    Pagi itu, suasana di dalam rumah beroda terasa hangat oleh aroma teh dan sisa hidangan sarapan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang bergerak. Setelah beberapa saat menikmati keheningan pagi, Wei Xueran akhirnya membuka pembicaraan dengan nada tegas, "Yang Mulia Pangeran Yongle, aku diminta Raja An Bang dan Chu Wang untuk membawamu dan Tuan Muda Song kembali ke ibukota."Junjie tetap tenang, meniup permukaan tehnya agar tidak terlalu panas sebelum menyeruputnya perlahan. Sementara itu di seberangnya, Song Mingyu menatapnya sejenak sebelum melirik Wei Xueran dengan alis sedikit terangkat. Keraguan terlihat jelas di wajahnya, seperti seseorang yang berharap mendapat jawaban berbeda."Haruskah aku ikut?" tanyanya akhirnya, suara datarnya menyamarkan harapan kecil dalam hatinya.Wei Xueran menyeringai, menikmati momen itu seolah ia baru saja menang dalam

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Menuju Kota Es

    Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tiba Di Kota Embun Beku

    Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Berbagai Kabar Berita

    Beberapa bulan berlalu, dan keadaan di Kekaisaran Shenguang perlahan kembali stabil. Permaisuri Wu masih duduk di tahtanya, tetapi kekuatan keluarganya telah menyusut drastis. Salah satu pukulan terbesar adalah eksekusi Wu Zhengting, penguasa Kota Chunyu sekaligus adik kandung Permaisuri Wu. Dengan kejatuhan ini, pengaruh keluarga Wu dalam pemerintahan kian meredup, seolah-olah musim semi baru tengah bersemi di dalam istana.Di sisi lain, Nona Muda Pertama Chao, Chao Ping, kembali ke ibu kota dalam keadaan selamat. Namun, ia tidak berusaha memperbaiki perjanjian pertunangannya dengan Chu Wang. Ia hanya datang mengunjungi Perdana Menteri Kiri sebagai seorang sahabat lama."Perjalanan ke Hóngshā telah membuka mata dan hatiku. Hidup tidak hanya berputar pada cinta dan pasangan hidup. Aku telah melihat banyak hal, dan semua itu mengubah cara pandangku," katanya pelan. Ada keteguhan dalam suaranya, seolah ia telah menemukan arah hidup yang lebih luas dari sekadar status

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Janji

    Pagi itu, suasana di dalam rumah beroda terasa hangat oleh aroma teh dan sisa hidangan sarapan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang bergerak. Setelah beberapa saat menikmati keheningan pagi, Wei Xueran akhirnya membuka pembicaraan dengan nada tegas, "Yang Mulia Pangeran Yongle, aku diminta Raja An Bang dan Chu Wang untuk membawamu dan Tuan Muda Song kembali ke ibukota."Junjie tetap tenang, meniup permukaan tehnya agar tidak terlalu panas sebelum menyeruputnya perlahan. Sementara itu di seberangnya, Song Mingyu menatapnya sejenak sebelum melirik Wei Xueran dengan alis sedikit terangkat. Keraguan terlihat jelas di wajahnya, seperti seseorang yang berharap mendapat jawaban berbeda."Haruskah aku ikut?" tanyanya akhirnya, suara datarnya menyamarkan harapan kecil dalam hatinya.Wei Xueran menyeringai, menikmati momen itu seolah ia baru saja menang dalam

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status