Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Kami Ingin Bernegosiasi

Share

Kami Ingin Bernegosiasi

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2025-01-27 15:00:12

"Aiyo Xin!" Xuan Yu mengeluh saat sosok tadi melangkah mendekat, berdiri di sampingnya dengan gerakan penuh kepercayaan diri. Matanya yang tajam bergantian menatap Junjie dan Ren Hui, sebelum berhenti pada wajah Ren Hui yang masih terkekeh ringan. "Apa yang kau tertawakan?" tanyanya, nada suaranya terdengar tajam dengan sedikit nada jengkel.

Ren Hui menghentikan tawanya, lalu meluruskan punggung. Sorot matanya berubah lebih serius saat meneliti dua pemuda di hadapannya. Dari helaian rambut hingga ujung sepatu, ia menatap mereka dengan cermat, seolah membaca kisah yang tersembunyi dalam raut wajah dan postur mereka. "Tanpa topeng hantu, ternyata kalian tampan dan keren juga," ucapnya tulus, nada suaranya terdengar hangat namun tegas.

Ucapan Ren Hui membuat kedua pemuda itu saling melirik. Ekspresi mereka tak bisa menyembunyikan keterkejutan kecil yang segera ditepis dengan kepura-puraan tenang.

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian mengikuti kami?" Ren Hui bertan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang Tetap Hutang !

    Mereka tiba di rumah beroda menjelang senja, saat cahaya matahari yang memudar memantulkan rona keemasan di permukaan sungai. Baihua, si rubah putih, berlari riang menyambut Ren Hui. Ekornya yang lebat berayun-ayun di udara Lobak mendengus keras melihatnya, ekspresinya seolah penuh kekesalan setiap kali melihat Baihua bermanja-manja pada Ren Hui.“Aiyo! Baihua! Kau seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Ren Hui!” teriak Song Mingyu dari dalam rumah beroda. Pemuda itu bergegas menyusul rubah kecil itu, tetapi langkahnya terhenti di pintu. Matanya membulat, melihat bukan hanya Ren Hui dan Junjie yang kembali, melainkan tiga orang asing yang berdiri di belakang mereka.“Mari masuk,” Ren Hui mempersilakan tamunya dengan sikap santai. Ia kemudian menoleh ke Mingyu. “Mingyu, bantu aku membawa barang-barang ini,” ujarnya, memberi isyarat pada beberapa karung dan keranjang belanjaan yang diletakkan di gerobak.Song Mingyu yang masih termangu akhirnya te

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Pasukan Hantu Kematian 1

    "Pangeran Yongle, seperti yang kau ketahui dan aku yakin kau mengetahui dengan pasti, Pasukan Hantu Kematian dari Manor Keberuntungan Besar tidak pernah berminat pada tahta sejak lama." Xin memulai dengan suara tenang, penuh kehati-hatian, seakan memastikan setiap kata dipilih dengan cermat agar tak ada kesalahpahaman.Junjie duduk tegak di kursinya, memandang lurus ke depan tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya serius, menandakan ia mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Xin. Napasnya teratur, tetapi jari-jarinya yang perlahan mengetuk meja kayu menunjukkan pikirannya yang sedang bekerja keras."Namun, beberapa tahun ini, tepatnya sekitar dua puluh lima tahun lalu saat Nona Kedua Hong menikahi seseorang dari Kediaman Teratai Hijau. Sejak itu semua berubah. Kediaman Keberuntungan Besar di Utara selalu beriringan pada kekuasaan. Sehingga menimbun perpecahan dalam Pasukan Hantu Kematian." Kata-kata Xin mengalir perlahan, namun setiap suku katanya seakan memba

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dewa Dapur

    Lei menatap Ren Hui lekat-lekat, sorot matanya penuh rasa penasaran yang belum terjawab. "Jadi benar kau ini Ren Jie sang Dewa Pedang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah menantang, setengah ingin memastikan.Langkah kakinya menggema ringan ketika ia berjalan menuju dapur. Matanya menyapu Ren Hui dari ujung kepala hingga kaki, seolah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata.Ren Hui, yang sedang mengisi mangkok porselen dengan sup yang baru matang dan masih mendidih panas, hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Ah, terserah kaulah, anak muda! Nah, bawa ini ke meja!" ujarnya sambil menyodorkan mangkuk berisi sup asparagus dan kepiting yang masih mengepul hangat pada Lei. Aroma gurih sup itu memenuhi ruangan, membuat siapa pun yang menciumnya sulit menahan lapar.Lei menerima mangkuk itu, tapi tidak segera beranjak. Matanya tetap mengawasi Ren Hui, bibirnya melengkung menyeringai. "Aku rasa kau lebih cocok dijuluki sebagai Dewa Arak a

    Last Updated : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Yingying Kembali Lagi

    "Apakah kau mengundang seseorang?" Junjie menatap Ren Hui dengan tatapan penuh tanda tanya. Ren Hui hanya mengalihkan pandangannya ke pintu yang tertutup rapat, seolah merasakan sesuatu yang aneh.Sedari malam menjelang, kedua pintu rumah beroda memang ditutup rapat, menyaring angin dingin yang menggigit dari luar. Hanya pintu bagian belakang yang selalu dibiarkan sedikit terbuka, tertutupi tirai bambu yang rapat. Memberi kesan seakan rumah beroda itu benar-benar tertutup dari dunia luar."Seingatku tidak," sahut Ren Hui seraya menggelengkan kepala dengan ringan. "Tetapi, siapa yang tahu? Mungkin saja seseorang berniat mampir mengunjungi rumah berodaku, kan? Bisa saja kawan lama, atau mungkin musuh lama?" Ujarnya dengan nada bercanda, mengusik ketegangan yang mulai terasa.Song Mingyu dan Junjie hanya saling melirik, lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan Ren Hui yang tak serius itu. Sementara itu, ketiga tamu mereka

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Negosiasi Selesai

    Makan malam pun usai, menyisakan meja yang kini hanya dihiasi batang-batang bambu hijau berisi arak. Udara di dalam rumah beroda masih menghangat oleh aroma masakan yang baru saja disantap, bercampur dengan samar wangi kayu pinus yang dipoles halus.Ren Hui mengangkat kepalanya, tersenyum ringan. "Nah, sekarang kalian bisa kembali melanjutkan perbincangan tadi." Dia bangkit, menyisihkan mangkuk dan sumpit yang tersisa, sementara Song Mingyu membantunya membereskan meja. Tatapannya kemudian beralih pada Yingying. "Dan kau, sebaiknya beristirahat di atas," ujarnya lembut.Tabib wanita itu tak langsung menjawab. Tatapan tajamnya melayang ke arah ketiga tamu mereka—Xin, Xuan Yu, dan Lei. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Dia mengenali mereka. Bagaimana mungkin dia lupa? Mereka adalah anggota Pasukan Hantu Kematian, kelompok yang telah beberapa kali bertempur melawan mereka. Dan tentu saja, mereka terlibat dalam insiden yang mer

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hangatnya Pagi, Harumnya Teh Pahit

    Keesokan paginya, ketenangan rumah beroda mereka terusik oleh suara ketukan keras di pintu. Langit masih berembun, tetapi Wei Xueran, dengan gaya sembrono khasnya, sudah berdiri di depan pintu bersama Pasukan Bayangan dari Paviliun Embun Pagi."Ren Hui! Junjie! Kalian masih tidur?" Suaranya nyaring menembus udara pagi yang masih dingin, menimbulkan kegemparan di dalam rumah.Junjie mengerjapkan mata malas, baru saja hendak menguap ketika pintu diketuk lebih keras. "Apa dia tidak tahu sopan santun?" gerutunya.Kekacauan itu memuncak saat Wei Xueran masuk begitu saja dan terlibat perkelahian kecil dengan Junjie, hanya karena sepotong kue bulan yang tersisa di atas meja makan. Suara mereka beradu memenuhi ruangan sempit, hingga akhirnya Yingying turun tangan.Tanpa banyak bicara, tabib ilahi itu mengangkat jarum-jarum akupunturnya, yang berkilauan tajam di bawah cahaya pagi."Aiyo Yingying! Singkirkan jarum-jarum mengerikanmu itu dariku!" We

    Last Updated : 2025-01-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Janji

    Pagi itu, suasana di dalam rumah beroda terasa hangat oleh aroma teh dan sisa hidangan sarapan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang bergerak. Setelah beberapa saat menikmati keheningan pagi, Wei Xueran akhirnya membuka pembicaraan dengan nada tegas, "Yang Mulia Pangeran Yongle, aku diminta Raja An Bang dan Chu Wang untuk membawamu dan Tuan Muda Song kembali ke ibukota."Junjie tetap tenang, meniup permukaan tehnya agar tidak terlalu panas sebelum menyeruputnya perlahan. Sementara itu di seberangnya, Song Mingyu menatapnya sejenak sebelum melirik Wei Xueran dengan alis sedikit terangkat. Keraguan terlihat jelas di wajahnya, seperti seseorang yang berharap mendapat jawaban berbeda."Haruskah aku ikut?" tanyanya akhirnya, suara datarnya menyamarkan harapan kecil dalam hatinya.Wei Xueran menyeringai, menikmati momen itu seolah ia baru saja menang dalam

    Last Updated : 2025-01-30
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Berbagai Kabar Berita

    Beberapa bulan berlalu, dan keadaan di Kekaisaran Shenguang perlahan kembali stabil. Permaisuri Wu masih duduk di tahtanya, tetapi kekuatan keluarganya telah menyusut drastis. Salah satu pukulan terbesar adalah eksekusi Wu Zhengting, penguasa Kota Chunyu sekaligus adik kandung Permaisuri Wu. Dengan kejatuhan ini, pengaruh keluarga Wu dalam pemerintahan kian meredup, seolah-olah musim semi baru tengah bersemi di dalam istana.Di sisi lain, Nona Muda Pertama Chao, Chao Ping, kembali ke ibu kota dalam keadaan selamat. Namun, ia tidak berusaha memperbaiki perjanjian pertunangannya dengan Chu Wang. Ia hanya datang mengunjungi Perdana Menteri Kiri sebagai seorang sahabat lama."Perjalanan ke Hóngshā telah membuka mata dan hatiku. Hidup tidak hanya berputar pada cinta dan pasangan hidup. Aku telah melihat banyak hal, dan semua itu mengubah cara pandangku," katanya pelan. Ada keteguhan dalam suaranya, seolah ia telah menemukan arah hidup yang lebih luas dari sekadar status

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status