Share

Kota Yuzhu 1

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-23 09:00:46

Kota Yuzhu

Rumah beroda itu bergerak perlahan, roda-roda kayunya meninggalkan jejak samar di tanah yang lembap. Sejak beberapa hari meninggalkan Hóngshā, perjalanan terasa lancar dan tanpa hambatan berarti. Di dalamnya, suasana hangat dan tenang. Aroma teh melayang ringan, bercampur harum dupa yang baru saja dibakar. Meski jalanan di luar dipenuhi hiruk-pikuk pedagang, suasana dalam rumah itu seperti dunia berbeda—damai, seakan waktu berjalan lebih lambat.

Junjie dan Song Mingyu duduk di dekat jendela, dikelilingi tumpukan gulungan kertas. Surat-surat yang baru tiba dari berbagai kota Kekaisaran Shenguang terhampar di hadapan mereka. Mata mereka fokus menelaah kabar yang dikirimkan para bawahan. Secangkir teh hangat di meja perlahan kehilangan uapnya, sementara sepiring camilan manis dibiarkan hampir tak tersentuh.

“Ayah baru saja mengabarkan kota Lingyun dalam kondisi aman dan kondusif,” ujar Song Mingyu. Suaranya tenang saat menggulung kembali surat yang
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Yuzhu 2

    Lorong pasar Kota Yuzhu dipenuhi hiruk-pikuk. Para pedagang berjejer di sepanjang jalan berbatu, sementara para pembeli saling tawar-menawar dengan suara nyaring. Aroma rempah, arang yang terbakar, dan manisan hangat bercampur di udara, membuat suasana semakin hidup. Ren Hui dan Junjie berjalan berdampingan, meninggalkan gerobak arak bersama lobak yang dititipkan di salah satu kedai. Setelah mengantarkan arak kepada para pelanggan setia, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pasar yang ramai itu. Kota Yuzhu, sebuah kota kecil di utara, tampak lebih dari sekadar oasis setelah mereka meninggalkan kota Hóngshā yang dikelilingi Gurun Merah. Suasana pasar yang penuh kehidupan terasa menenangkan, seperti sejuknya angin yang membelai wajah di tengah hari yang cerah. "Kota ini lumayan ramai, bahkan lebih ramai dari kota Xuelian," gumam Ren Hui pelan. Matanya sesekali melirik ke sekeliling, memperhatikan para pedagang yang sibuk melaya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rahasia Zhu Zijing

    Keheningan mewarnai kedai kecil. Aroma mie hangat dan rempah khas memenuhi udara, bercampur dengan harum arak yang baru dituangkan. Ren Hui memandang mangkuk mie di depannya, melirik Junjie yang duduk di seberangnya. Suasana semakin hening, hanya diiringi suara obrolan sayup dari pelanggan lain."Ada apa dengan mereka berdua?" Ren Hui akhirnya bertanya. Suaranya terdengar pelan seakan takut mengusik ketenangan yang rapuh. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, seperti menunggu jawaban yang mungkin tak ingin ia dengar.Junjie menunduk sejenak, tatapannya jatuh pada mangkuknya sendiri. "Habiskan dulu mie-nya," ujarnya pendek dan lembut. Ia kembali menyantap makanannya, menghindari tatapan Ren Hui. Ren Hui mengangguk kecil, mengikuti saran itu. Keduanya menyelesaikan hidangan dalam diam, hanya suara sumpit yang sesekali beradu dengan mangkuk.Setelah makanan habis, pelayan mengantarkan sepiring kue manis dan mengisi ulang kendi arak mereka. Hawa dingin dari luar mulai merayap masuk, namun ar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Penguntit

    Setelah menghabiskan arak, Ren Hui dan Junjie meninggalkan kedai, berjalan perlahan menyusuri pasar yang ramai. Bau rempah-rempah dan arak bercampur dalam udara, ditemani suara pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka. Mereka singgah di beberapa tempat, membeli bahan makanan, rempah-rempah, bahkan beberapa kain tebal yang dirasa akan berguna.“Apakah mereka masih mengikuti kita?” tanya Ren Hui dengan nada santai, meski matanya menyapu kerumunan yang bergerak di sekitar mereka.Junjie hanya menganggukkan kepala tanpa bicara, lalu memilih duduk di sebuah bangku kayu di depan kedai. Di tempat itu, mereka menitipkan gerobak berisi arak dan Lobak, keledai mereka yang setia.“Kau tahu siapa mereka?” Ren Hui bertanya lagi, suaranya sedikit lebih rendah kali ini. Ia mulai menata barang-barang belanjaan di dalam gerobak dengan gerakan tenang, meski pikirannya tak berhenti memutar kemungkinan.Lagi-lagi, Junjie menggelengkan kepala tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kami Ingin Bernegosiasi

    "Aiyo Xin!" Xuan Yu mengeluh saat sosok tadi melangkah mendekat, berdiri di sampingnya dengan gerakan penuh kepercayaan diri. Matanya yang tajam bergantian menatap Junjie dan Ren Hui, sebelum berhenti pada wajah Ren Hui yang masih terkekeh ringan. "Apa yang kau tertawakan?" tanyanya, nada suaranya terdengar tajam dengan sedikit nada jengkel.Ren Hui menghentikan tawanya, lalu meluruskan punggung. Sorot matanya berubah lebih serius saat meneliti dua pemuda di hadapannya. Dari helaian rambut hingga ujung sepatu, ia menatap mereka dengan cermat, seolah membaca kisah yang tersembunyi dalam raut wajah dan postur mereka. "Tanpa topeng hantu, ternyata kalian tampan dan keren juga," ucapnya tulus, nada suaranya terdengar hangat namun tegas.Ucapan Ren Hui membuat kedua pemuda itu saling melirik. Ekspresi mereka tak bisa menyembunyikan keterkejutan kecil yang segera ditepis dengan kepura-puraan tenang."Ngomong-ngomong, kenapa kalian mengikuti kami?" Ren Hui bertan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang Tetap Hutang !

    Mereka tiba di rumah beroda menjelang senja, saat cahaya matahari yang memudar memantulkan rona keemasan di permukaan sungai. Baihua, si rubah putih, berlari riang menyambut Ren Hui. Ekornya yang lebat berayun-ayun di udara Lobak mendengus keras melihatnya, ekspresinya seolah penuh kekesalan setiap kali melihat Baihua bermanja-manja pada Ren Hui.“Aiyo! Baihua! Kau seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Ren Hui!” teriak Song Mingyu dari dalam rumah beroda. Pemuda itu bergegas menyusul rubah kecil itu, tetapi langkahnya terhenti di pintu. Matanya membulat, melihat bukan hanya Ren Hui dan Junjie yang kembali, melainkan tiga orang asing yang berdiri di belakang mereka.“Mari masuk,” Ren Hui mempersilakan tamunya dengan sikap santai. Ia kemudian menoleh ke Mingyu. “Mingyu, bantu aku membawa barang-barang ini,” ujarnya, memberi isyarat pada beberapa karung dan keranjang belanjaan yang diletakkan di gerobak.Song Mingyu yang masih termangu akhirnya te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Pasukan Hantu Kematian 1

    "Pangeran Yongle, seperti yang kau ketahui dan aku yakin kau mengetahui dengan pasti, Pasukan Hantu Kematian dari Manor Keberuntungan Besar tidak pernah berminat pada tahta sejak lama." Xin memulai dengan suara tenang, penuh kehati-hatian, seakan memastikan setiap kata dipilih dengan cermat agar tak ada kesalahpahaman.Junjie duduk tegak di kursinya, memandang lurus ke depan tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya serius, menandakan ia mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Xin. Napasnya teratur, tetapi jari-jarinya yang perlahan mengetuk meja kayu menunjukkan pikirannya yang sedang bekerja keras."Namun, beberapa tahun ini, tepatnya sekitar dua puluh lima tahun lalu saat Nona Kedua Hong menikahi seseorang dari Kediaman Teratai Hijau. Sejak itu semua berubah. Kediaman Keberuntungan Besar di Utara selalu beriringan pada kekuasaan. Sehingga menimbun perpecahan dalam Pasukan Hantu Kematian." Kata-kata Xin mengalir perlahan, namun setiap suku katanya seakan memba

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dewa Dapur

    Lei menatap Ren Hui lekat-lekat, sorot matanya penuh rasa penasaran yang belum terjawab. "Jadi benar kau ini Ren Jie sang Dewa Pedang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah menantang, setengah ingin memastikan.Langkah kakinya menggema ringan ketika ia berjalan menuju dapur. Matanya menyapu Ren Hui dari ujung kepala hingga kaki, seolah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata.Ren Hui, yang sedang mengisi mangkok porselen dengan sup yang baru matang dan masih mendidih panas, hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Ah, terserah kaulah, anak muda! Nah, bawa ini ke meja!" ujarnya sambil menyodorkan mangkuk berisi sup asparagus dan kepiting yang masih mengepul hangat pada Lei. Aroma gurih sup itu memenuhi ruangan, membuat siapa pun yang menciumnya sulit menahan lapar.Lei menerima mangkuk itu, tapi tidak segera beranjak. Matanya tetap mengawasi Ren Hui, bibirnya melengkung menyeringai. "Aku rasa kau lebih cocok dijuluki sebagai Dewa Arak a

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Yingying Kembali Lagi

    "Apakah kau mengundang seseorang?" Junjie menatap Ren Hui dengan tatapan penuh tanda tanya. Ren Hui hanya mengalihkan pandangannya ke pintu yang tertutup rapat, seolah merasakan sesuatu yang aneh.Sedari malam menjelang, kedua pintu rumah beroda memang ditutup rapat, menyaring angin dingin yang menggigit dari luar. Hanya pintu bagian belakang yang selalu dibiarkan sedikit terbuka, tertutupi tirai bambu yang rapat. Memberi kesan seakan rumah beroda itu benar-benar tertutup dari dunia luar."Seingatku tidak," sahut Ren Hui seraya menggelengkan kepala dengan ringan. "Tetapi, siapa yang tahu? Mungkin saja seseorang berniat mampir mengunjungi rumah berodaku, kan? Bisa saja kawan lama, atau mungkin musuh lama?" Ujarnya dengan nada bercanda, mengusik ketegangan yang mulai terasa.Song Mingyu dan Junjie hanya saling melirik, lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan Ren Hui yang tak serius itu. Sementara itu, ketiga tamu mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status