Dengan mencari seorang pendamping yang wajahnya mirip dengan mendiang suami, Mavis tidak akan merasa telah mengkhianatinya.“Sudah kubilang sebelumnya, aku punya urusan yang lebih penting. Aku nggak mungkin terus tinggal di sini. Bu Mavis, tolong sadarlah. Aku bisa menggerakkan Kelompok Hitam sebagaimana aku mau. Lebih baik lepaskan au, atau kamu sendiri yang akan menanggung akibatnya nanti,” kata Ronald.“Apa pun akibatnya au nggak takut. Aku kasih kamu waktu 24 jam untuk berpikir baik-baik. Kalau kamu menolak, jangan harap aku masih bersikap baik padamu.”Seusai berkata demikian, Mavis langsung pergi meninggalkan ruangan yang gelap itu dan mengunci pintu dari luar. Suasana kini menjadi sunyi senyap. Ronald memfokuskan diri mendengar semua pergerakan yang terjadi di luar. Setelah memastikan bahwa sudah tidak ada orang lagi yang berjaga, dia melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya, kemudian mengambil ponselnya di lantai.Kala itu Ronald baru menyadari ponselnya sudah kehabisa
Namanya juga remaja berusia 17 tahun, tidak mungkin kepandaian anaknya Mavis melampaui Ronald yang sudah dewasa dan paham tentang kebusukan politik, terutama jika ingin membuat rencana terselubung.“Tadi aku dengar Mama menelepon seseorang. Dia minta dua orang insinyur biologis untuk membuat chip. Dia mau menanamkan chip itu ke dalam kepalamu. Kalau rencananya berhasil, chip itu nantinya bisa bikin kamu berubah jadi orang lain. Segala pemikiran, perilaku, dan akal budimu bakal terpengaruh sama chip itu dan menimbulkan hal-hal yang nggak akan bisa kamu kontrol.”Rupanya ini semua sudah Mavis rencanakan sejak awal. Pantas saja dia nekat membius Ronald dan menahannya di sini. Ronald sendiri pernah mendengar desas-desus tentang chip yang dimaksud. Perusahaan gelap yang Rendy jalankan saat itu juga bekerja dalam bidang pembuatan chip yang serupa. Hal ini jelas merupakan kemajuan teknologi yang menentang moral. Pengembangan chip ini memang mendapatkan kecaman di dunia luar, tapi sesungguhnya
“Bu Mavis masih mau mengurungku terus?”“Hah, kamu pikir cuma satu pabrik doang cukup untuk mengancamku?” cibir Mavis. “Sekarang baru dua jam berlalu. Ketika waktunya habis nanti, kamu bakal tahu nasib apa yang menanti.”“Masih ada 22 jam. Setiap setengah jam sekali, bakal ada pabrik lain yang meledak. Jumlah pabrik yang ada di Perbatasan Helios ada delapan tempat. Berarti dalam waktu 4 jam ke depan, giliran pabrik yang ada di negara ini yang bakal meledak. Negara ini memang termasuk negara maju, tapi kalau kerusakannya sebesar ini, apa kalian masih bisa bertahan?”“Kamu mengancamku?” tanya Mavis dengan mata melotot.“Aku mana berani. Aku cuma mau Bu Mavis melihat betapa seriusnya masalah ini.”“Bu Mavis, gawat! Pabrik kedua di Perbatasan Helios meledak. Semua sumber daya berharga yang kita punya habis terbakar.”Sontak Mavis melihat rentang waktu sejak ledakan pertama, tepat setengah jam seperti yang Ronald katakan.“Dasar gila! Kamu tahu betapa berharganya sumber daya yang ada di pab
Rachel merasa lega bisa melihat Ronald pulang dengan selamat. Dia pun segera menyiapkan makanan yang sudah dibuat sejak tadi pagi dan berkata kepada anak-anaknya, “Jangan ganggu Papa dulu. Cepat cuci tangan dan sarapan.”Satu meja penuh dengan 12 macam hidangan. Keempat anak mereka, serta Peter dan Karl makan dengan sangat lahap,hanya Melvin sendirian saja yang tidak nafsu makan dan terlihat lesu. Setelah sarapan selesai, Peter dan Karl lanjut bermain game sambil menunggu makanan turun.“Ayo, Om ajak kalian jalan-jalan. Kalau nggak sekarang, entah kapan ada waktu lagi,” ujar Melvin sembari memasang senyum masam.Setelah mereka semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, hanya Rachel dan Ronald saja yang tersisa di ruang makan.“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Rachel.Setengah jam yang lalu, Ronald mengirim pesan kepada Rachel untuk membawa anak-anak pulang ke Suwanda apabila malam ini dia tidak pulang. Dari pesan itu, Rachel tahu pasti terjadi sesuatu, tapi dia tidak tahu apa pers
“Iya,iya. Sudah, ya. Aku jalan dulu. Kalau ada apa-apa, kita ketemuan di internet saja.”Karl lantas mengambil tas ranselnya dan berpamitan dengan mereka semua. Ingatan Ronald masih belum pulih sepenuhnya, jadi Peter memutuskan untuk menemani mereka pulang ke Suwanda.“Aku tetap di sini karena masih ada urusan, jadi aku nggak bisa ngantar kalian, ya. Hati-hati di jalan,” kata Melvin.“Aku bakal kangen sama Om Melvin,”ujar Michelle sembari memeluk leher dan mencium pipi Melvin.“Dulu kamu janji mau menganggap Om jadi papa angkat kamu?”“Ronald, aku mau Melvin jadi papa angkat untuk anak-anak kita, menurut kamu gimana?” tanya Rachel.“Asal anak-anak nggak keberatan, aku juga nggak masalah. Melvin, terima kasih selama ini sudah jagain istri dan anak-anakku. Kalau nanti kamu butuh bantuan, aku bakal bantu semaksimal mungkin.”“Aku dan Rachel kan teman lama. Sudah sepantasnya aku membantu, jadi nggak perlu berterima kasih.”“Nanti kalau urusan di Suwanda sudah selesai, aku bakal ngadain pe
“Aaaaa ....”Terdengar suara teriakan dari dalam toilet wanita. Sekitar delapan orang perempuan berbondong-bondong keluar dari toilet dengan wajah panik. “Mama! Kembalikan mamaku!” seru seorang anak kecil dari dalam toilet.Ronald berlari menuju toilet dengan wajah dingin sambil menggendong tiga orang anak. “Michelle, jangan nangis! Cepat bilang, apa yang terjadi?” tanya Michael cemas dengan raut wajah dingin sesampainya mereka di dalam toilet.“Ada dua laki-laki masuk terus mereka pukul Mama sampai pingsan. Habis itu mereka kabur lewat jendela sambil gendong Mama. Aku nggak bisa melindungi Mama,” jelas Michelle sambil menangis.Ronald langsung melepaskan ketiga anak itu dari gendongannya lalu berkata, “Eddy, tolong jaga adik-adikmu ya. Papa mau mengejar Mama dulu.”Ronald langsung melompat keluar jendela, sedangkan Eddy menggandeng ketiga adiknya lalu duduk di pos keamanan. Setelah mereka duduk, Michael langsung mengeluarkan notebook dari dalam tasnya dan mengetik sesuatu tanpa berb
Tangan Rachel langsung diikat begitu dia masuk ke dalam bungalo. Si penjaga berpakaian hitam buru-buru mengancamnya ketika Rachel berusaha untuk memberontak.“Kami potong jarimu kalau kamu berani memberontak!” seru si penjaga dingin.Rachel sadar kalau orang-orang ini pastinya tidak berbohong dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka pasti akan langsung menyerang Rachel jika dia berani memberontak. Namun, Rachel merasa bersyukur karena orang-orang ini sama sekali tidak tertarik dengan putrinya Michelle. Mereka meninggalkan Michelle di toilet dan sama sekali tidak menyentuhnya. Rachel pastinya tidak bisa setenang ini kalau Michelle juga diikat bersamanya di sini. Kedua penjaga itu bergegas keluar bungalo setelah selesai mengikat tangan Rachel. Bungalo ini terasa sangat kecil. Tidak ada jendela di sekitarnya. Hanya ada sebuah pintu kecil yang bisa digunakannya untuk keluar masuk dari tempat ini. Tidak lama kemudian, pintu bungalo itu terbuka dan seorang perempuan berjubah hitam langsung
Isabel melangkah maju dan menyeka wajah Rachel yang penuh dengan darah. Kemudian dia menusukkan suatu benda seperti kristal ke kulit Rachel. Rachel hampir saja membuka matanya karena rasa sakit yang dirasakannya sungguh dahsyat sampai hampir membuat jantung Rachel berhenti berdetak. Namun, dia tetap berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. “Seret dia ke ruangan sebelah. Terserah mau kalian apa kan perempuan ini. Yang penting dia masih hidup dan aku bisa membunuhnya nanti,” ujar Isabel kepada para pengawalnya.Para pengawalnya adalah laki-laki paruh baya. Mereka langsung terlihat bernafsu ketika Isabel melontarkan kata-katanya. Kedua laki-laki itu bergegas melepas ikatan di tangan Rachel dan membawanya ke ruangan sebelah. Lalu tiba-tiba ....Rachel membuka matanya dan menggunakan sikunya sebagai senjata. Dia menghantam leher salah satu pengawal dengan sangat keras. Pengawal itu menjerit kesakitan lalu jatuh tersungkur di atas lantai. Kemudian Rachel dengan cepat bergerak menga