“Hai, nona cantik!” sapa pria itu.Karen terkesiap mendengar ada orang yang menyapa, ia memindai sekeliling, khawatir ada nona lain di sekitarnya. Kosong, hanya ada dirinya. Ia pikir yang menyapa itu adalah karyawan restoran sebab suara itu tak menyebut namanya, ternyata bukan. Karen mengingat-ingat siapa pria yang menyapanya itu. Seingatnya selama ia berada di Jakarta minim sekali bertemu dengan orang. Melihat lawannya bicara nampak kebingungan, pria itu akhirnya berdehem.“Apa Anda tidak mengingat saya, nona?” tanya si pria. Pria itu memaklumi jika Karen tidak mengingatnya, karena pertemuannya beberapa hari lalu hanya sebentar.“Ooh, ya. Saya ingat, pak David?” beruntung otak Karen dapat diajak kerjasama, memproses informasi dengan cepat.“Ya, syukurlah Anda masih mengingat saya nona. Saya pikir Anda tidak akan mengingat nama saya. Saya sangat senang,” ucap David penuh basa-basi. Karen hanya bisa memaksakan senyum—malas.“Waktu itu kita
“Ada apa sayang?” tanya Diaz yang baru saja terbangun, ia tekejut melihat istrinya yang meringis kesakitan. Setelah mendengar jawaban istrinya, Diaz beranjak dari tempat tidur, bergegas membersihkan diri, hanya sekedar mencuci muka dan berganti pakaian. Ia meminta Karen untuk menunggu sebentar. Karen memanggil suaminya, dari suaranya jelas sekali ia sedang menahan sakit, membuat Diaz panik. Jam dinding masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Ia tidak mungkin menyetir sendiri mengingat kondisinya yang masih belum stabil. Pikirannya langsung tertuju pada Arashi, Diaz menggelengkan kepala, ia lupa jika iparnya baru saja kembali ke Jepang. Rain, hanya Rain yang bisa ia andalkan saat ini, ada baiknya juga ternyata mereka tinggal di kediaman Wijaya. “Sabar, sayang. Aku akan meminta Rain untuk mengantar kita ke rumah sakit.” Diaz bergegas menuju kamar Rain, lalu mengetuk pintu tiada jeda, seperti orang kesetanan. “Rain, bangun. Tolong aku! Cepat bangun!” ucap Dia
Karen ikut melihat kearah telepon genggam milik suaminya. Di layar itu terpampang jelas nama Ellen—adik bungsu sang suami.“Kenapa tidak diangkat? Siapa tahu penting,” beo Karen.“Malas,” jawab Diaz yang masih fokus dengan laptopnya.Pada akhirnya, nada dering itu berhenti dengan sendirinya. Beberapa detik kemudian suara itu kembali menguar keseluruh penjuru ruangan.“Angkatlah, mas!”Walau dengan perasaan enggan, Diaz akhirnya mengangkat telepon tersebut, dari sebrang sana, suara Ellen terdengar seperti mercon yang sedang dibakar. Diaz bahkan sampai menjauhkan telepon genggam itudari telinganya. Karen terkikik saat melihat tingkah suaminya, si bungsu—Ellen—memang memiliki warna tersendiri di keluarga Pradana.Tanpa basa-basi Diaz mematikan sambungan telepon dan melmpar benda pipih itu ke sofa yang lain.Nada dering itu kembali bergema, Karen meminta izin suaminya untuk mengangkat telepon tersebut.“Halo, nona cantik “ sapa Karen.“Ah, sy
Karen dan David melihat ke sumber suara. Karen tersenyum pada orang tersebut, sedangkan David menampakkan wajah kurang suka, ia berpikir kedatangan orang tersebut akan mengganggu dirinya yang sedang asik berbincang dengan Karen.“Maaf aku terlambat. Kamu sudah lama menunggu?”Karen akhirnya bisa bernafas lega, orang yang ia tunggu telah datang. Karen menatap adik iparnya, memberi kode untuk mengusir manusia yang ada di depannya.Ellen memang sudah mengamati David sejak tadi. Sebagai adik Diaz Pradana, sedikit banyak ia tahu tentang playboy cap kacang itu.“Oh hai, Ellen Pradana, lama tak berjumpa. Kau tak ingin menyapaku?” sapa David basa-basi.Ellen mendesis, lalu berkata, “Hai, pak David. Aku kira siapa!” Seraya tersenyum dengan terpaksa.“Pak David sudah selesai menggoda wanita cantik ini? Kalau sudah bisa tinggalkan kami? Kami ingin segera membicarakan hal-hal tentang wanita, kecuali kalau pak David ingin menjadi wanita,” usir Ellen, lalu terkekeh.
Ellen benar-benar tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh kakak iparnya. Otaknya berpikir bahwa yang dimaksud oleh Karen adalah rancangan yang tadi sudah dibuat oleh wanita itu.“Aku setuju semuanya, aku tidak akan menolak kalau itu semua adalah ide dari otakmu yang cemerlang,” ucap Ellen santai.Perkataan Ellen sontak membuat Karen berdecak—gemas. Adik iparnya itu benar-benar tidak mengerti atau hanya pura-pura tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.“Bukan itu maksudku, Len. Tapi perkembanganmu dengan Glen,” beo Karen langsung pada intinya.Ellen meringis, ia sama sekali tidak terpikir sampai di sana. Ellen mengatakan tidak ada yang berubah. Mereka hanya mengobrol seperti biasa.Karen langsung menepuk dahinya, dalam hati ia menggerutu, percuma saja diberi waktu berdua tapi tidak ada kemajuan.Mereka hanya berbincang sebentar lalu mengakhiri pekerjaan. Hamil membuat tubuh Karen terasa lebih cepat lelah, ingin sekali ia segera merebahkan tubuhnya d
“Sayang, aku menantikan malam panas penuh gairah malam ini,” bisik Diaz.Setelah mengatakan itu, Diaz langsung menggendong Ken dan berjalan cepat menuruni tangga.“Diaz Pradana!” pekik Karen sekuat tenaga.Wanita itu kesal karena sejak tadi sang suami terus saja menggodanya.Rain yang mendengar teriakkan saudari kembarnya, manjadi ikut kesal, tanpa sadar ia berdecak.“Menikahlah, maka kamu akan tahu betapa asiknya menggoda istri,” ucap Adinata pada Rain, seraya mengerlingkan mata pada Ratna.Membuat wanita itu tersipu malu dan menepuk lengan Adinata.“Papi bisa aja,” balas Ratna.“Memangnya menikah semudah ngurus bisnis,” lirih Rain.“Yang pasti kalau menikah itu lebih nikmat daripada mengurus bisnis,” sahut Diaz lalu mendudukkan Ken di samping tempat duduknya.“Mas, besok aku akan ke butik Ellen,” ujar Karen, setelah mereka kembali ke kamar usai makan malam.Diaz tentu saja mengiyakan meski matanya tidak fokus pada sang istri.
Tidak sampai di situ saja David menggoda Diaz. Ia bahkan menunjukkan kartu nama yang Karen berikan. Kartu yang membuatnya sangat kesal, karena ia tak paham huruf kanji. Diaz nampak acuh, namun sesungguhnya ia memperhatikan kartu nama milik istrinya. Sebenarnya Diaz tak perlu khawatir tentang kartu nama tersebut, akan tetapi ia tetap saja tidak suka jika David memiliki kartu itu. Diaz akan membuat perhitungan dengan istrinya yang telah sembarangan memberikan kartu nama pada orang seperti David.Diaz langsung menyambar kartu nama itu, lalu mengantonginya di saku jas.“Terima kasih untuk hari ini, pak David,” pamit Diaz, tanpa mempedulikan David yang kesal kartu nama itu diambil begitu saja oleh Diaz.“Diaz Pradana, sialan. Kembalikan benda itu,” seru David.Diaz berjalan penuh kemenangan, senyumnya terukir lebar. Hal yang dulu tak pernah Diaz lakukan.Diaz menyuruh Glen melajukan mobil ke arah butik milik Ellen. Tanpa banyak bertanya Glen menuruti perintah atasannya. Ia sudah d
Karen tersenyum, dugaannya benar. Tadi saat ia sedang menerima telepon dari Arashi, dari lantai dua tidak sengaja ia melihat ada mobil yang mencurigakan. Mobil itu hanya berhenti di pinggir jalan dan tak bergerak hingga Diaz pergi. Karen sengaja menampakkan diri untuk memperkuat asumsinya.Ternyata Karen benar, mobil itu tadi memang sengaja mengikuti suaminya. Dan saat ini berganti halauan mengikuti dirinya.“Ada masalah apa sebenarnya kamu, mas?” gumam Karen.“Sepertinya kalian ingin bermain-main denganku ya!” seru Karen. Karen memutar otak, tapi ia tak bisa gegabah dalam berindak.“Kita melaju pelan-pelan, mang Jun. Aku akan coba hubungi Rain lebih dulu. Untuk sementara ini, kita bermain-main dulu dengan mereka.”“Baik, non.”Karen menghubungi Rain, menceritakan detail kejadian saat ini. Rain meminta saudari kembarnya untuk bersikap biasa dan kembali ke rumah. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Meski semua sopir di keluarga Wijaya dibekali dengan ilmu beladiri b
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,