“Sayang, aku menantikan malam panas penuh gairah malam ini,” bisik Diaz.
Setelah mengatakan itu, Diaz langsung menggendong Ken dan berjalan cepat menuruni tangga.“Diaz Pradana!” pekik Karen sekuat tenaga.Wanita itu kesal karena sejak tadi sang suami terus saja menggodanya.Rain yang mendengar teriakkan saudari kembarnya, manjadi ikut kesal, tanpa sadar ia berdecak.“Menikahlah, maka kamu akan tahu betapa asiknya menggoda istri,” ucap Adinata pada Rain, seraya mengerlingkan mata pada Ratna.Membuat wanita itu tersipu malu dan menepuk lengan Adinata.“Papi bisa aja,” balas Ratna.“Memangnya menikah semudah ngurus bisnis,” lirih Rain.“Yang pasti kalau menikah itu lebih nikmat daripada mengurus bisnis,” sahut Diaz lalu mendudukkan Ken di samping tempat duduknya.“Mas, besok aku akan ke butik Ellen,” ujar Karen, setelah mereka kembali ke kamar usai makan malam.Diaz tentu saja mengiyakan meski matanya tidak fokus pada sang istri.Tidak sampai di situ saja David menggoda Diaz. Ia bahkan menunjukkan kartu nama yang Karen berikan. Kartu yang membuatnya sangat kesal, karena ia tak paham huruf kanji. Diaz nampak acuh, namun sesungguhnya ia memperhatikan kartu nama milik istrinya. Sebenarnya Diaz tak perlu khawatir tentang kartu nama tersebut, akan tetapi ia tetap saja tidak suka jika David memiliki kartu itu. Diaz akan membuat perhitungan dengan istrinya yang telah sembarangan memberikan kartu nama pada orang seperti David.Diaz langsung menyambar kartu nama itu, lalu mengantonginya di saku jas.“Terima kasih untuk hari ini, pak David,” pamit Diaz, tanpa mempedulikan David yang kesal kartu nama itu diambil begitu saja oleh Diaz.“Diaz Pradana, sialan. Kembalikan benda itu,” seru David.Diaz berjalan penuh kemenangan, senyumnya terukir lebar. Hal yang dulu tak pernah Diaz lakukan.Diaz menyuruh Glen melajukan mobil ke arah butik milik Ellen. Tanpa banyak bertanya Glen menuruti perintah atasannya. Ia sudah d
Karen tersenyum, dugaannya benar. Tadi saat ia sedang menerima telepon dari Arashi, dari lantai dua tidak sengaja ia melihat ada mobil yang mencurigakan. Mobil itu hanya berhenti di pinggir jalan dan tak bergerak hingga Diaz pergi. Karen sengaja menampakkan diri untuk memperkuat asumsinya.Ternyata Karen benar, mobil itu tadi memang sengaja mengikuti suaminya. Dan saat ini berganti halauan mengikuti dirinya.“Ada masalah apa sebenarnya kamu, mas?” gumam Karen.“Sepertinya kalian ingin bermain-main denganku ya!” seru Karen. Karen memutar otak, tapi ia tak bisa gegabah dalam berindak.“Kita melaju pelan-pelan, mang Jun. Aku akan coba hubungi Rain lebih dulu. Untuk sementara ini, kita bermain-main dulu dengan mereka.”“Baik, non.”Karen menghubungi Rain, menceritakan detail kejadian saat ini. Rain meminta saudari kembarnya untuk bersikap biasa dan kembali ke rumah. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Meski semua sopir di keluarga Wijaya dibekali dengan ilmu beladiri b
Karen mengulas senyum lalu memegang punggung tangan suaminya.“Akan aku usahakan, mas. Terima kasih.”Karen tidak bisa menjanjikan hal itu pada Diaz, bukan tak percaya pada suaminya, hanya saja Karen masih butuh waktu untuk menyesuaikan.Karen melepas pelukan suaminya, lalu menggeser posisi duduk menghadap ke arah sang suami. Menatap netra coklat sang suami. Memberi pria itu sedikit ketenangan, lewat sorot mata indahnya.“Kamu tak perlu cemas, mas. Dan…kamu harus lebih berhati-hati menghadapi lawanmu, akubakan selalu mendukungmu,” ucap Karen.Karen memeluk sang suami lalu membenamkan wajahnya di dada bidang itu.“Bisakah kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi mas?” tanya Karen.Terasa Diaz menghela nafas pelan.“Aku tidak yakin. Aku masih menyelidiki semua ini, sayang.”Karen mengecup bibir suaminya.Diaz berpesan pada Karen agar lebih berhati-hati lagi saat keluar rumah dan harus bersama sopir.“Iya mas, untuk itu kamu tak
Setelah memberi komando pada asisten pribadinya, Diaz kembali berkutat dengan komputernya.Namun, konsentrasinya telah buyar oleh kejadian tadi. Sejenak ia berpikir, “Bodoh sekali aku, merka pasti tidak hanya menyerang komputerku,” monolog Diaz, lalu memanggil Glen.“Panggilkan manajer divisi IT,” perintah Diaz pada Glen.“Ada apa lagi pak? Apa ada masalah?”“Cepat panggilkan, sejak kapan kamu dibayar hanya untuk banyak bertanya?” ketus Diaz.Dengan menggerutu dalam hati, Glen melakukan panggilan melalui interkom. Bos-nya itu memang paling pandai membuatnya spot jantung.Tak berselang lama, manajer divisi IT pun datang. Diaz menatap pria itu dengan tatapan dingin, hal yang biasa diterima oleh hampir semua karyawan di Pradana grup.Diaz memerintahkan divisi IT untuk memeriksa komputer divisi product development, pemasaran, dan brand. Tentunya tanpa sepengetahuan pengguna komputer dengan kata lain remote.Ia mencurigai orang yang menyerang kompu
Di sisi lain, melihat kesibukan divisi IT hari ini, memembuat divisi lain juga sibuk. Sibuk membuat spekulasi, tentang apa yang sedang terjadi hari ini.Di pagi hari, tim 3 IT sudah sibuk di ruang CEO, lalu setelah itu Glen datang ke ruang IT dan keluar dengan membawa tumpukan kertas.Saat ini, CEO datang langsung ke ruangan IT dengan wajah sangat tidak bersahabat. Bahkan pria itu tak kunjung keluar dari ruangan tersebut, menambah riuhnya perbincangan hari ini.Mulut yang masih bisa mengghibah menandakan otak mereka masih banyak yang kosong, dengan kata lain orang-orang itu kurang kerjaan.Glen yang akan menyusul Diaz pun memperingatkan para karyawan yang tak kunjung fokus dengan pekerjaan mereka.Kasak-kusuk tetap berlanjut sepeninggalan Glen.“Sepertinya ada masalah serius, yang sedang terjadi berkaitan dengan komputer pak Diaz,” ucap salah satu karyawan yang tadi hanya menyimak.“Tahu dari mana?” “Aku hanya menebak, kemungkinan itu sangat fatal karena pak Diaz sampai turun
Karen awalnya hanya menyuapi Ken, ia akan menunggu suaminya dan makan bersama. “Makanlah barang sedikit, kamu tidak akan tahu suamimu sampai di rumah jam berapa, siapa tahu kena macet, kamu tega membuat calon keponakannku kelaparan?” beo Rain pada saudari kembarnya. Benar saja, hingga selesai makan, Diaz tak kunjung datang. Melihat Karen yang gelisah, Rain berinisiatif mengajak Ken ke kamarnya. Ia tidak ingin Ken melihat ibunya dalam keadaan seperti itu. Anak itu sangat antusias, ini kali pertama untuknya datang ke kamar paman yang ia sebut papi. “Apa ini sungguh kamar papi?” tanya Ken yang takjub dengan kamar tersebut. Kamar dengan dekorasi aesthetic dominan warna abu-abu. Selain ada TV, di kamar tersebut juga ada seperangkat komputer dengan ukuran monitor kurang lebih 29 inchi. Di sekitaran meja komputer tersebut banyak ornamen khas gamer. “Tentu saja, apa kamu menyukai kamar ini?” “Aku suka di sini pi. Apa ini komputer?” tanya Ken yang langsung duduk di kursi gaming milik pam
Di kamar Ken. Rain sedang membacakan buku cerita untuk keponakannya. Tapi anak itu tak kunjung memejamkan mata dan malah berceloteh tentang keresahan hatinya.Ken mengatakan, ia merasa sedang ada sesuatu yang sedang ibunya sembunyikan darinya.“Dari mana kamu tahu hal itu, boy?” tanya Rain.Walau Ken masih balita, Rain tahu anak itu cerdas dan tumbuh lebih dewasa ketimbang anak seusianya. Satu lagi, anak itu selalu peka dan sensitif jika itu menyangkut ibunya.“Papi, aku selalu hidup bersama mom. Aku tahu mom seperti apa, dia tidak akan bisa menyembunyikan apapun dariku. Termasuk tentang dad yang pernah tak peduli pada kami.”Rain membelalakan mata tak percaya.“Siapa yang mengatakan hal itu, boy?” tanya Rain penasaran. Ken menggeleng.Pria kecil itu hanya mengumpulkan pazzel-pazzel dari setiap kejadian yang ia saksikan selama mengenal Diaz. Ken bisa menyimpulkan bahwa ucapannya benar lewat ekspresi pamannya itu.“Dad it soo complicated!” seru
Tidak jauh berbeda dengan Julian, David juga tidak berhasil mendapat informasi mengenai Karen Esme. Pria itu sedikit kecewa, namun ia semakin yakin jika Karen Esme bukanlah orang sembarangan. Itu sebabnya sangat sulit mengetahui informasi tentang wanita itu. David sendiri heran, mengapa ia sangat tertarik dengan Karen. Padahal Diaz sudah memberitahunya jika wanita itu adalah istrinya, tapi ia tetap menampik hal itu. “Kenapa kamu jadi bodoh gara-gara satu wanita, padahal banyak wanita yang mengantri di depanmu,” gumam David. Info yang tak kalah mengejutkan untuk David adalah Julian Anggara juga mencari informasi tentang Karen Esme. “Ada apa dengan anak ingusan itu? Mengapa ia mencari informasi mengenai Karen? Mencurigakan!” monolog David. “Menarik,” imbuh David. * “Mas!” suara manja Karen membangunkan sang suami. “Hheeemmm,” balas Diaz. “Bangun, Glen sudah menunggu di depan. Apa kalian ada janji sepagi ini?” tanya Karen. Seketika Diaz terperanjat, otaknya blank tak bisa mempro
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,