Arashi tiba-tiba menghampiri Karen dengan wajah yang serius.“Ada apa kak? Kenapa wajahmu serius sekali?” tanya Karen.Arashi justru tertawa, lalu berkata, “Aku sengaja memasang wajah serius agar kamu serius.”Karen mencebikkan bibir, lalu menggerutu.“Katakanlah, aku tahu ini serius,” beo Karen.Sebelum memulai pembicaraan, Arashi lebih dulu menanyakan kondisi Karen saat ini. Sekiranya bisa diajak berdiskusi atau tidak. Arashi ingin membicarakan perihal apa yang disampaikan oleh Diaz. Secara mendadak mereka melakukan rapat berdua. Membuat rancangan dan kerangka pekerjaan baru, seperti rencana riset dan bahan yang akan dijadikan objek atau kelinci percobaan.Setelah dua jam mereka berkutat dengan internet, melihat beberap referensi iklan dan promosi dari berbagai macam brand dengan segmen yang berbeda-beda. Akhirnya mereka mendapatkan gambaran tentang pola promosi dan periklanan di Indonesia. Semua itu mereka simpulkan dalam sebuah rancangan yang diperlukan untuk proyek dada
Karen membelai lembut kepala sang suami, ia juga memandangi perban di kepala suaminya.“Apa masih sakit?” tanya Karen.“Sedikit, terkadang di luka itu juga terasa nyeri,” keluh Diaz.Karen mencium perban tersebut sembari membisikkan kata-kata penyemangat. Tidak ada rasa jijik sama sekali. Wanita itu seperti lupa akan aroma tubuh suaminya.Diaz mengucapkan terima kasih lalu mencium punggung tangan istrinya.Netra mereka saling meyelami satu sama lain. Namun, harum tubuh Diaz mulai mengganggu indra penciuman Karen. Ia mulai menunjukkan tanda mual.bDiaz pun langsung mendesah, diiringi dengan terlihatnya deretan gigi putih sang istri—nyengir.Untuk mentralkan suasana yang mendadak canggung, Karen memberikan berkas yang tadi telah ia buat bersama Arashi.“Apa ini?” tanya Diaz.“Lihatlah,” ucap Karen.Diaz mendudukkan tubuhnya, lembar demi lembar ia membaca berkas yang masih di tulis tangan itu.Diaz takjub, dengan isi rancangan itu. Terlihat sekali bahwa yang menyusun itu sangat
Kenapa bang Glen telepon sebanyak ini?” gumam Karen.Jantung Karen berdetak tak karuan. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan Diaz—suaminya.“Halo, bang. Ada apa?” tanya Karen was-was.“Mas Diaz kenapa bang?” “Diaz dilarikan ke rumah sakit, Ren. Kami sekarang di rumah sakit Royal Wijaya sekarang, Ren. Segeralah datang kemari, aku jelaskan nanti,” jawab Glen dari sebrang sana.“Keadaannya bagaimana?”“Sedang ditangani, kamu jangan panik. Hati-hati di jalan.”Glen menutup sambungan telepon secara sepihak.Karen bersiap-siap, lalu mencari Arashi di kamarnya. Walau Glen berpesan untuk tidak panik, sepertinya hal itu tidak bisa ia lakukan. “Ada apa Ren?” tanya Arashi, ia sedikit terkejut melihat adiknya itu dengan kondisi panik.“Mas Diaz dilarikan ke rumah sakit, kak. Antar aku ke sana.”Walaupun terkejut, Arashi tidak banyak bertanya dan segera bersiap-siap. Sedangkan Karen mencari ibunya untuk berpamitan dan menitipkan Ken.“Apa dad akan baik-baik saja, mom?” tanya Ken.“Ki
Dari hasil pemeriksaan pagi ini, Diaz sudah diperbolehkan pulang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semuanya normal. Hanya saja dokter berpesan, agar Diaz tidak bekerja terlalu keras dan tidak boleh begadang, semua itu untuk menjaga kondisi tubuhnya. Terlebih bagian kepala yang masih rawan.Sesampainya di rumah, Diaz disambut gembira oleh Ken—putra kecilnya. Pria kecil itu berlari menghampiri ayahnya yang baru saja keluar dari mobil. Diaz langsung menggendong anaknya.“Dad sudah sembuh?” tanya Ken.“Tentu saja. Apa kamu merindukan daddy?” tanya Diaz.“Iya. Aku sangat rindu pada daddy,” jawab Ken mantap. Diaz pun mengecup pipi Ken dengan gemas.Karen terharu melihat interaksi ayah dan anak itu. Seperti baru kemaren mereka bertemu dalam keadaan Diaz yang membenciya. Kini mereka bertiga berkumpul bersama menjadi sebuah keluarga. Takdir memang tidak bisa ditebak oleh manusia. Tak terasa sejak pertemuan mereka hingga hari ini berjalan kurang lebih setengah tahun.“Dad harus cepat
“Hai, nona cantik!” sapa pria itu.Karen terkesiap mendengar ada orang yang menyapa, ia memindai sekeliling, khawatir ada nona lain di sekitarnya. Kosong, hanya ada dirinya. Ia pikir yang menyapa itu adalah karyawan restoran sebab suara itu tak menyebut namanya, ternyata bukan. Karen mengingat-ingat siapa pria yang menyapanya itu. Seingatnya selama ia berada di Jakarta minim sekali bertemu dengan orang. Melihat lawannya bicara nampak kebingungan, pria itu akhirnya berdehem.“Apa Anda tidak mengingat saya, nona?” tanya si pria. Pria itu memaklumi jika Karen tidak mengingatnya, karena pertemuannya beberapa hari lalu hanya sebentar.“Ooh, ya. Saya ingat, pak David?” beruntung otak Karen dapat diajak kerjasama, memproses informasi dengan cepat.“Ya, syukurlah Anda masih mengingat saya nona. Saya pikir Anda tidak akan mengingat nama saya. Saya sangat senang,” ucap David penuh basa-basi. Karen hanya bisa memaksakan senyum—malas.“Waktu itu kita
“Ada apa sayang?” tanya Diaz yang baru saja terbangun, ia tekejut melihat istrinya yang meringis kesakitan. Setelah mendengar jawaban istrinya, Diaz beranjak dari tempat tidur, bergegas membersihkan diri, hanya sekedar mencuci muka dan berganti pakaian. Ia meminta Karen untuk menunggu sebentar. Karen memanggil suaminya, dari suaranya jelas sekali ia sedang menahan sakit, membuat Diaz panik. Jam dinding masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Ia tidak mungkin menyetir sendiri mengingat kondisinya yang masih belum stabil. Pikirannya langsung tertuju pada Arashi, Diaz menggelengkan kepala, ia lupa jika iparnya baru saja kembali ke Jepang. Rain, hanya Rain yang bisa ia andalkan saat ini, ada baiknya juga ternyata mereka tinggal di kediaman Wijaya. “Sabar, sayang. Aku akan meminta Rain untuk mengantar kita ke rumah sakit.” Diaz bergegas menuju kamar Rain, lalu mengetuk pintu tiada jeda, seperti orang kesetanan. “Rain, bangun. Tolong aku! Cepat bangun!” ucap Dia
Karen ikut melihat kearah telepon genggam milik suaminya. Di layar itu terpampang jelas nama Ellen—adik bungsu sang suami.“Kenapa tidak diangkat? Siapa tahu penting,” beo Karen.“Malas,” jawab Diaz yang masih fokus dengan laptopnya.Pada akhirnya, nada dering itu berhenti dengan sendirinya. Beberapa detik kemudian suara itu kembali menguar keseluruh penjuru ruangan.“Angkatlah, mas!”Walau dengan perasaan enggan, Diaz akhirnya mengangkat telepon tersebut, dari sebrang sana, suara Ellen terdengar seperti mercon yang sedang dibakar. Diaz bahkan sampai menjauhkan telepon genggam itudari telinganya. Karen terkikik saat melihat tingkah suaminya, si bungsu—Ellen—memang memiliki warna tersendiri di keluarga Pradana.Tanpa basa-basi Diaz mematikan sambungan telepon dan melmpar benda pipih itu ke sofa yang lain.Nada dering itu kembali bergema, Karen meminta izin suaminya untuk mengangkat telepon tersebut.“Halo, nona cantik “ sapa Karen.“Ah, sy
Karen dan David melihat ke sumber suara. Karen tersenyum pada orang tersebut, sedangkan David menampakkan wajah kurang suka, ia berpikir kedatangan orang tersebut akan mengganggu dirinya yang sedang asik berbincang dengan Karen.“Maaf aku terlambat. Kamu sudah lama menunggu?”Karen akhirnya bisa bernafas lega, orang yang ia tunggu telah datang. Karen menatap adik iparnya, memberi kode untuk mengusir manusia yang ada di depannya.Ellen memang sudah mengamati David sejak tadi. Sebagai adik Diaz Pradana, sedikit banyak ia tahu tentang playboy cap kacang itu.“Oh hai, Ellen Pradana, lama tak berjumpa. Kau tak ingin menyapaku?” sapa David basa-basi.Ellen mendesis, lalu berkata, “Hai, pak David. Aku kira siapa!” Seraya tersenyum dengan terpaksa.“Pak David sudah selesai menggoda wanita cantik ini? Kalau sudah bisa tinggalkan kami? Kami ingin segera membicarakan hal-hal tentang wanita, kecuali kalau pak David ingin menjadi wanita,” usir Ellen, lalu terkekeh.
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,