"Wah, badannya panas sekali," kata seorang karyawan yang mengulurkan tangannya di dahi Miranda. "Apa kita harus membawanya ke rumah sakit?" tanya Mario dengan cemas. Tatapan beberapa karyawan di sekitarnya tertuju pada Mario. Mereka mulai menangkap gelagat tak biasa dari sikap Mario. Mario yang biasanya cuek kini terlihat panik dan mencemaskan Miranda. "Apa kalian punya hubungan khusus?""Iya, Rio, kamu sepertinya sangat mencemaskan dia. Kamu sudah menyukai Miranda, ya?" Pertanyaan beberapa rekan Mario mulai terdengar, tetapi kali ini Mario acuh. Bagi Mario, yang lebih penting adalah keselamatan Miranda. Seorang karyawan wanita membantu memberi minyak kayu putih di pelipis dan bawah hidung Miranda. "Kita bawa ke rumah sakit saja," katanya. Ketika Mario dan beberapa orang bersiap untuk membawa Miranda ke mobil, perlahan gadis itu membuka matanya. "Mm... Aku dimana?" katanya. "Mir, kamu sudah sadar? Kita ke rumah sakit, ya!" kata Mario. Miranda menggelengkan kepalanya. "Gak pe
"Ada apa, Mas?" tanya Miranda sambil menatap Mario. Melihat sorot mata Miranda yang terarah padanya, tiba-tiba bibir Mario terasa kelu. Ia seolah kehilangan kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Beberapa detik berlalu, dan Miranda masih berdiri di hadapan Mario. Ia menunggu ucapan yang akan keluar dari bibir Mario. "Mm... Bukan apa-apa, Mir. Lain kali saja, karena ini bukan hal yang penting. Sekarang yang terpenting kamu harus beristirahat supaya gak sakit lagi," kata Mario. Mario menangkap rasa kecewa dari ekspresi wajah Miranda, karena dirinya tidak jadi mengucapkan isi hatinya. Namun, Mario merasa harus mempertimbangkan semuanya lagi dan lagi, agar tidak merasakan kekecewaan yang sama seperti dahulu. "Aku pulang dulu, Mir. Sampai besok, ya," kata Mario. "Iya, terimakasih, Mas. Sampai bertemu besok di kantor," jawab Miranda seraya mengulas senyum. Mario segera memacu sepeda motornya dan pulang ke rumah. Setelah mandi dan makan malam, Mario duduk merenung sendirian di ruang k
Miranda melirik Mario yang masih duduk di sepeda motornya. Jarak mereka sebenarnya hanya terpaut beberapa meter. Tentu saja Miranda mengetahui keberadaan Mario di sana. Namun, ia memang sengaja berpura-pura tidak tahu dan asyik bersenda gurau dengan Zaky. Semalam Tante Sandra, orang yang memberi perintah pada Miranda untuk menggoda dan mendekati Mario menelepon untuk menanyakan bagaimana perkembangan hubungannya dengan Mario. Miranda sendiri tidak ingin terlalu mengetahui, apa yang membuat Tante Sandra mempunyai niat buruk pada Mario. Yang Miranda pikirkan hanyalah imbalan yang akan ia Terima setelah tugasnya usai. 'Sempurna,' ucap Miranda dalam hatinya saat melihat raut wajah Mario yang menyiratkan rasa cemburu. Bukan tanpa sebab Tante Sandra meminta Miranda melakukan itu. Semalam Miranda dengan percaya diri menyatakan bahwa Mario telah jatuh hati padanya. Sikap dan perhatian yang Mario berikan memang sangat jauh berbeda dengan saat awal mereka berjumpa. Akan tetapi Miranda juga
Miranda sengaja menunggu Mario mengatakan isi hatinya. Sebenarnya ia sudah bisa menebak apa yang ingin pria itu katakan. "Aku menyukai kamu, Miranda." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Mario. Miranda membelalakkan matanya, ia berpura-pura terkejut mendengarnya. Sebenarnya, Miranda bersorak dalam hati karena pekerjaannya sudah membuahkan hasil. Mario benar-benar sudah masuk dalam jeratnya dan nyaris tidak akan bisa melepaskan diri. Mario menjadi canggung karena tidak ada jawaban atau reaksi apapun dari Miranda. "Mm... Apa kamu merasa terganggu dengan pernyataanku? Aku minta maaf kalau ini mengejutkan kamu. Kalau memang kamu gak nyaman, lupakan saja! Anggap aku gak pernah mengutarakan hal ini padamu." Mario mengalihkan pandangannya untuk meredam rasa malu dan sedikit penyesalan karena akhirnya ia mengungkapkan perasaan itu. Miranda tersenyum tipis dan menatap Mario. "Siapa yang terganggu? Aku justru senang mendengarnya, Mas. Sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama dengan
"Halo, Miranda, apa kamu sudah siap bertemu dengan mereka?" tanya Sandra melalui sambungan panggilan video. "Tentu saja, Tante. Ini aku sedang berdandan dan menunggu Mario menjemputku," jawab Miranda sambil menatap pantulan dirinya di cermin. "Ingat, jangan terlalu berlebihan! Pakai baju yang sederhana saja!" kata Sandra. "Iya, Tante tenang saja! Aku sudah terbiasa berakting sebagai Miranda yang kalem dan lembut." Miranda mengambil lipstik berwarna merah dan memolesnya di bibir. "Warna lipstik itu terlalu mencolok, Miranda. Hapus dan ganti dengan warna yang lebih natural!" titah Sandra. "Tante, menurutku warna ini cukup bagus. Aku bosan hanya memakai warna lipstik yang sama setiap hari. Apa salahnya hari ini aku mencoba warna yang lebih terang?" protes Miranda. "Jangan banyak bicara! Turuti saja perintahku! Kamu harus memberi kesan yang baik dan membuat keluarga mereka percaya padamu dalam pertemuan pertama ini," kata Sandra. "Ah, kenapa membosankan sekali menjadi seorang Miran
"Masakan Ibu enak sekali," puji Miranda. "Iya, Mir. Masakan ibuku memang yang paling nikmat di dunia ini," kata Mario yang duduk di samping Miranda. Keluarga mereka sedang menikmati menu makan siang yang cukup istimewa. Nasi hangat, ayam bakar, lalapan, dan sambal sudah terhidang di hadapan mereka. "Wah, kamu terlalu memuji, Mir. Ibumu juga pasti pintar memasak. Kapan-kapan kami akan berkunjung ke rumahmu untuk berkenalan dengan orang tuamu," kata Hana. "Uhuk...." Miranda terkejut mendengar ucapan Hana. Ia belum siap jika keluarga Mario benar-benar akan datang ke rumahnya. Ibu kandungnya pasti akan terkejut dan menolak mentah-mentah untuk masuk dalam skenario Sandra. Mario mungkin akan marah jika melihat kenyataan bahwa Miranda bukanlah gadis sederhana yang mempunyai dua adik kecil. "Kenapa, Mir? Hati-hati makannya!" Mario menyodorkan segelas air putih untuk Miranda. Miranda segera meminum air itu dan berusaha kembali menguasai keadaan. "Iya, Bu. Masakan ibuku juga enak. Bagi
"Apa keluargamu menyukai aku?" tanya Miranda siang itu. Seperti biasanya, Miranda dan Mario makan siang bersama di kantin. "Tentu saja. Ibu memujimu karena kamu gadis yang cantik, pintar, dan menyenangkan. Penampilanmu kemarin sangat sempurna, Mir," jawab Mario. "Ah, aku lega mendengarnya. Aku gelisah memikirkan ini sepanjang malam. Aku takut ada sikapku yang gak berkenan di hati ibu, ayah, atau adikmu."Mario tersenyum dan menatap Miranda. "Tenang saja, Sayang. Orang tuaku selalu mendukung pilihanku, apa yang membuatku bahagia. Mereka gak menerapkan banyak standar dan kriteria untuk calon menantu mereka. Yang terpenting adalah hati kita yang saling mencintai dengan tulus.""Baguslah, aku tenang mendengarnya, Mas. Apa mereka setuju kalau kita segera menikah?" Pertanyaan Miranda itu membuat mata Mario terbelalak, karena gadis yang di matanya sederhana dan manis itu justru ingin cepat meresmikan hubungan mereka. "Apa kamu yakin ingin segera menikah denganku? Apa ini gak terlalu ce
Sebelum wanita paruh baya itu memberi jawaban, ponsel Miranda berdering keras. Ia segera menjawab panggilan telepon yang ternyata dari Sandra itu. "Halo, Tante. Aku sudah sampai di alamat yang Tante berikan," katanya. "Bagus! Apa kamu sudah ketemu Bu Ijah dan kedua anaknya?" tanya Sandra. "Iya, Tante, tapi aku bingung. Kenapa aku harus bertemu dengan mereka di rumah ini?" Miranda kembali menatap wanita yang duduk di hadapannya itu. "Mereka adalah calon keluarga barumu. Cobalah untuk saling mengenal dan memahami dengan baik tentang peran kalian masing-masing! Ingat, jangan sampai kalian melakukan kesalahan sekecil apapun! Aku bisa membatalkan perjanjian dan uang itu gak akan aku berikan kalau kalian sampai gagal.""Apa?!" Miranda benar-benar terkejut mendengar ucapan Sandra. Ia tidak menyangka kalau wanita itu menyusun skenario dengan sangat baik dan memperhatikan semua hal kecil dengan teliti. "Kenapa kaget begitu? Tante hanya memberikan solusi atas keluhanmu kemarin. Katamu, gak