Laura“Bukan begitu, Richard. Charme membuatku trauma yang tidak ada kaitannya dengan mantan suamiku,” kataku padanya, mencoba yakin akan hal itu.Aku menelan ludah, merasa dipojokkan oleh pertanyaan-pertanyaannya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dia terdiam, menghela nafas frustrasi seraya terus menyetir. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, seolah dia sudah menyerah mendiskusikan hal itu denganku. Ketika aku mengira dia tidak akan berkata apa-apa lagi, dia bertanya lagi ketika sedang memarkirkan mobil di dekat tempat penitipan anak Anna.“Katakan yang sebenarnya, Laura. Apakah kamu masih menyukainya? Mantan suamimu yang berengsek itu.”Aku membetulkan rambutku, menatap ke depan, merasa gugup. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apa masalah dia?“Apakah kamu tahu kalau diam artinya setuju?” katanya, sudah mengambil kesimpulan.“Aku tidak setuju pada apa pun, Richard. Aku tidak menyukai Jason, kamu hanya paranoid,” ujarku padanya.“Paranoid? Sudah berapa lama kita ber
Laura“Apakah kamu yakin tidak ada anggota keluarga atau teman terdekat yang menjemputnya dari tempat penitipan hari ini, Nyonya?” tanya petugas polisi ketika aku melapor ke kantor polisi terdekat. Hari sudah gelap dan aku hampir berubah menjadi wanita gila yang putus asa, mencari-cari anaknya ke semua tempat.“Tidak, Pak. Aku hampir tidak memiliki teman dekat di sini, dan jika iya, tidak ada yang akan menjemput anakku tanpa izinku atau sebelum berbicara denganku, jawabku pada petugas polisi itu. Aku telah menelepon semua teman dan orang yang dekat denganku, tapi tidak ada satu pun yang sedang bersama anakku, yang membuatku makin khawatir.Ke mana anakku pergi?“Sayangnya, tidak ada yang bisa kami lakukan sebelum 24 jam berlalu sejak anakmu hilang untuk membuat laporan bahwa anakmu menghilang,” kata petugas polisi itu, membuatku menghela nafas frustrasi.Aku meninggalkan kantor polisi itu tanpa hasil dan menelepon penjaga pintu kondominiumku dengan harapan Anna pulang ke rumah send
Laura“Maksudmu anakku diculik?” tanyaku takut-takut.“Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi itu adalah sebuah kemungkinan. Ada banyak orang-orang jahat yang menipu anak-anak dengan makanan manis lalu menculik mereka,” katanya dan aku meletakkan tanganku di dadaku ketakutan.Aku menelan ludah menyadari kemungkinan bahwa anakku telah diculik. Astaga, jika itu benar, maka semua hal lebih mengkhawatirkan dari yang kukira.“Tama, jangan menakutinya seperti itu. Bahkan jika seseorang dengan niat aneh telah membawa Anna dengan menawarkannya makanan manis dan jajanan, anak itu pintar dan akan tahu bagaimana caranya untuk menjauh. Laura telah mengajarkan anaknya dengan sangat baik sampai dia tidak akan tertipu oleh hal-hal itu,” kata Fia untuk menenangkan aku. Dia dan Tama masih di perjalanan menuju Bogor untuk membantuku mencari anakku.“Aku bukan ingin membuatmu panik, Laura, tapi faktanya adalah fakta. Anak itu mungkin pintar, tapi dia hanyalah anak berumur lima tahun. Kamu tidak bisa mengh
”Ibu Anna ingin tahu apakah kamu melihat Anna hari ini ketika kamu pulang dari tempat penitipan anak, Nak,” kata Natasha pada anaknya.“Iya, aku melihatnya, kami bermain di lapangan sampai ayahnya datang untuk menjemputnya,” kata anak itu dengan tenang.Aku menatap pasangan itu dan menggeleng kepalaku, berkata, “Tidak ada yang menjemput Anna dari tempat penitipan hari ini…” Pasangan itu terlihat sedikit ketakutan ketika mereka mulai menyadari seberapa serius situasi ini.“Apakah kamu yakin ayah Anna menjemput temanmu dari tempat penitipan, kawan?” tanya ayahnya pada anak itu dan anak itu mengangguk.“Dia bilang dia adalah ayahnya dan dia akan membelikannya cokelat panas dan burger untuk Anna. Aku juga mau, tapi dia bilang lain kali dia akan membelikannya untukku,” kata anak yang polos itu.“Astaga,” kata Natasha, badannya bergidik. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku. Ternyata, anakku telah diculik.“Bisakah kamu mendeskripsikan ayah Anna, Ciko?” tanya Natasha pada anaknya
JasonSegera setelah aku menjemput anakku dari tempat penitipan anak, aku memenuhi janjiku dan membawanya ke toko jajanan dan memakan jajanan bersamanya. Dia sangat menggemaskan dan tidak berhenti berbicara mengenai apa pun, terutama ibunya dan kehidupan yang mereka jalani. Dia juga anak yang penasaran dan banyak bertanya padaku.“Apakah kamu mengenal ibuku?” tanyanya seraya meminum jusnya.“Tentu saja. Aku mengenalnya dengan baik,” jawabku padanya.“Siapa namamu?”“Panggil aku Papa,” kataku dan matanya membelalak kesenangan.“Sungguh? Aku bisa memanggilmu Papa?”“Tentu, aku ayahmu, ‘kan? Kamu boleh memanggilku Papa,” kataku padanya, tersenyum dan mengusap rambutnya.“Aku selalu ingin memanggil seseorang Papa. Ibu melarangku memanggil Ricky Papa,” katanya, melahap kentangnya.“Karena dia bukan ayahmu yang sebenarnya, dia hanyalah temannya ibumu.” Aku bersikeras memberi tahunya dan dia tersenyum lebar.“Apakah kamu akan tinggal dengan kami? Orang tua Jacob tinggal bersama denga
”Bisakah kita berfoto di depan pohon Natal itu?” tanyanya setelah beberapa saat jadi kami mengambil banyak foto sambil tertawa-tawa dan membicarakan tentang hari Natal, Santa, dan hal-hal yang tidak terlalu penting.Ketika aku bersamanya, rasanya seperti berada di orbit yang berbeda, di sebuah dunia yang mana aku merasa sangat bahagia dengan anakku. Rasanya luar biasa bagaimana aku bisa melupakan semua hal ketika aku bersama dengan gadis kecil ini. Aku terus bermain dengannya di plaza sampai hari makin malam dan udara makin dingin.“Hatchim!” Gadis itu bersin.“Kedinginan, ya?” tanyaku dan dia tertawa kecil. “Sebaiknya kita ke tempat yang lebih hangat.” Aku menggendongnya dan membawanya kembali ke mobil.“Apakah kita akan pulang? Mama pasti menungguku,” katanya saat aku membawanya ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengaman.“Mama tinggal bersamamu selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya untukmu menghabiskan waktu dengan Papa?” tanyaku, mengusap ujung hidungnya yang kemerahan
Laura“Aku tidak menginginkan apa-apa darimu, tapi Anna ingin kamu datang dan makan malam bersama dengan kami,” kata suara mantan suamiku.Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering dan aku tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Jadi, Jason bersama Anna? Apakah dia orang yang menjemput putriku dari tempat panti asuhan? Kenapa dia akan melakukan hal seperti itu? Rasa takut mulai menggerogotiku dan jantungku berdegup dengan kencang dan kuat di dalam rusukku.“Apakah kamu sadar bahwa aku telah mengetahui kebenarannya, Laura?” tanyanya dengan tenang, tapi menuduh.“Apa maksudmu?” Aku terbata-bata, tidak bisa memikirkan sesuatu yang menyambung. Aku terkejut, dalam jutaan tahun, aku tidak menyangka Jason akan mengetahui kebenarannya seperti ini.“Apakah kamu akan menyembunyikannya selamanya? Rencanamu itu tidak akan berhasil, Laura. Kamu memisahkannya dariku selama lima tahun, jadi inilah giliranku untuk bersama dengannya,” katanya dengan pelan dan kasar, pelan karena sepertinya dia
LauraAku tidak bisa membantahnya karena mau aku menyukainya atau tidak, Jason memang benar, jadi aku menghela nafas dan mengangguk pelan. Aku tidak mengira aku akan tidur di tempat yang sama dengan Jason lagi, apalagi bersama anakku, tapi banyak hal membawaku ke titik ini.Aku menyadari bahwa anakku sudah menguap dan mengusap matanya mengantuk, jadi aku berdiri dan menggendongnya. Tangan kecilnya memeluk pundakku dan dia menyandarkan kepalanya ke pundakku, mencari kasih sayang. “Waktunya tidur, bayiku,” kataku padanya, meraih tasnya. Aku selalu memasukkan perlengkapan pribadinya dan baju bersih di tasnya untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi di tempat penitipan anak dan dia harus mandi dan mengganti bajunya.Namun, Jason lebih cepat dariku dan mengambil tas itu lebih dulu. “Biar aku bantu. Apakah kamu mau ke kamar mandi? Di sini,” tunjuknya, mengikuti jalan menuju kamar mandi. Aku menghela nafas dan mengikutinya.Setelah masuk kamar mandi, aku membantu anakku menggosok giginya da
Ketika mereka merasa siap, Albert memanggil mobilnya. Saat itu sudah larut malam ketika mereka meninggalkan apartemen. Candra sedang mengemudikan mobil Albert karena mobil itu akan menjadi miliknya mulai sekarang. Mobil itu sangat berbeda dari truk lama keluarganya, yang mereka gunakan sewaktu-waktu.“Kamu suka mobil ini, ‘kan?” Albert menaikkan sebelah alisnya dengan penuh arti dengan senyuman kecil di bibirnya.“Ini luar biasa,” ujar Candra seraya mobil itu melaju menyusuri jalanan.“Begitu. Aku akan merindukan anak-anakku.” Dia mengacu pada mobil-mobil yang dia miliki.“Aku akan menikmati mereka untukmu, kamu bisa yakin.” Albert tertawa.“Bagus.” Pertama-tama, mereka akan pergi ke mansion Williams. Lalu, Candra akan menurunkan Albert di rumahnya di komunitas. Begitu mereka tiba, mereka berhenti di tempat yang agak terpencil, tempat mereka bisa melihat mansion itu.“Itu, ya? Wah.” Masih di dalam mobil, mereka sedang memandang mansion itu. “Selain itu, hanya ada tiga orang yang
Dia berterima kasih. Semua ingatannya dari semalam terbesit di benaknya. Dia bangkit berdiri dan pergi ke tempat suara itu berasal. “Apa yang kamu lakukan?” Albert sedang mencoba menyapu piring yang pecah. Ada kekacauan besar di rapur: telur yang pecah, banyak tepung yang tersebar, dan sebagainya. “Berantakan sekali! Kamu bahkan tidak tahu cara menggoreng telur.” Albert tertawa malu.“Aku akan memesan makanan saja.” Dia berpikir untuk membuat sarapan untuk tamunya sebagai tanda terima kasih karena telah membantunya kemarin, tapi dia gagal total karena dia tidak tahu bagaimana caranya menangani hal-hal seperti itu. Dia meraih interkom, sudah mulai memesan.“Terserah kamu.” Candra mengangkat bahunya dan mengikuti jalan ke tempat kamar mandinya mungkin berada. Di kamar mandi, tidak ada kejutan. Ketika dia melihat begitu banyak alat-alat mewah di sana, dia ingin mengatakan bahwa dia bisa menggunakan kamar mandi itu tanpa bantuan siapa pun, tapi setelah melepaskan pakaiannya dan memasuki
“Apakah kamu mau melompat dari jembatan?”Albert hampir melompat ketika dia mendengar suara orang persis di sampingnya. Dia telah datang. Ternyata, Albert tidak sebodoh itu.“Aku … kenapa kamu lama sekali?” Albert marah. Pria itu duduk di tanah, masih terengah-engah sehabis berlari ke sana.“Pakaian ini tidak cocok untuk digunakan berjalan-jalan semalam ini di kota ini,” katanya, mengatakan bahwa dia masih diikuti oleh lebih banyak kriminal. Pria muda itu menggali saku jaketnya dan mengeluarkan perhiasan Albert, mengulurkan tangannya pada Albert. “Kurasa ini adalah milikmu.”Albert dengan berterima kasih menerimanya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Itu bukan karena dia memedulikan permata-permata itu, sebagian besar dari mereka bahkan tidak memiliki nilai sentimental, tapi hanya karena orang asing itu telah menepati janjinya dan mengembalikan barang seberharga itu yang bisa dengan mudahnya dia ambil untuk dirinya sendiri. Mungkin orang itu lebih membutuhkannya daripada Al
“A … aku punya uang, aku bisa berbicara dengan mereka.”“Kamu tidak bisa berbicara dengan kriminal, kamu mungkin akan mati hari ini.”“Apa yang harus kulakukan?”“Untuk apa seorang pengemis membantumu?” bentak Candra. Albert teringat dia telah memanggilnya pengemis beberapa saat yang lalu. Kloning pengemis, tepatnya.“Baiklah, baiklah, aku mengerti, tapi bukan salahku kamu memakai pakaian pengemis,” bela Albert. Candra memandang pakaiannya sendiri. Dia telah memakai pakaian yang sama seharian ini—dia pergi bekerja, dipecat, pergi menonton pertandingan sepak bola, membeli es krim, dan bahkan menggoda seseorang dengan pakaian itu. Apakah semua orang selalu berpikir dia adalah seorang pengemis?“Kamu bukan pengemis seperti itu, kamu hanya terlihat seperti pengemis yang rapi.” Albert mengangkat bahunya, mencoba meringankan situasi. Sebuah ide mulai terbentuk di kepala Candra.“Ganti pakaianmu dengan pakaianku, tapi diam-diam tanpa diketahui mereka. Lalu, lepaskan semua perhiasan maha
Albert sedih. Hancur, malah. Dia tidak bermaksud untuk bersikap kasar pada Max, tapi dia sangat kebingungan dan dia tidak paham kenapa Max masih mengungkit masa lalu. Dia sedang berjalan sendirian di tengah malam, tidak ingin tahu apakah dia sudah tersesat atau tidak. Jika dia tersesat, ya sudah, dia tidak peduli lagi.Ada taman di dekat sana, jadi dia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku supaya, setidaknya sendirian, di heningnya malam, jauh dari rumah, dia bisa menangis, meratapi, dan memikirkan tentang bagaimana caranya keluar dari lubang tempat dia sedang terjebak sekarang.Namun, dia melihat seorang pria muda lebih cepat darinya dan beranjak duduk di bangku lebih dulu. Meskipun pria muda itu tidak menyadarinya, dia tidak menyukainya, jadi dia menghampirinya.“Hei, kawan. Aku melihat bangku ini lebih dulu,” ujarnya pada pria itu.Tetap terdiam, pria itu mengamati pendatang baru, sementara Albert masih berdiri, menunggu orang itu meninggalkan bangku itu.“Apakah aku bena
“Perhatikan caramu berbicara padaku!” balas Max. “Itu bukan karena Albert mendukungmu di sini bahwa aku harus bertahan denganmu. Perset*n denganmu! Apakah kamu mengisi mulut itu untuk menyebutnya kencan teater, dasar tukang khayal? Dia bahkan tidak menyukaimu sedari awal. Kamu harus membetulkan badut itu di sana untuk membuatnya cemburu. Kasihan sekali kamu, mau kamu ada di sampingnya ataupun tidak, itu tidak berarti apa-apa bagi dia.”“Apakah kalian berdua sedang membicarakan aku?” tanya Albert, sedikit kebingungan.“Iya!” jawab gadis berambut merah yang sedang bersama Rick. “Jelas sekali.”“Ini semua karena gadis aneh di sana menyukaimu, Albert,” bentak Kim, menunjuk ke arah Max. “Sejak dulu. Mungkin itulah sebabnya dia menjadi seorang laki-laki—untuk melihat apakah dia bisa mendapatkan perhatianmu dengan cara yang aneh.”“Apa hubungannya genderku dengan semua omong kosong ini? Aku ini laki-laki, ya!” bentak Max dengan murka. Albert bangkit berdiri, memegangi lengan Kim.“Tarik
Albert“Abel? Abel.” Dia bisa mendengar suara Max yang samar-samar memanggilnya seakan-akan dia sedang berada di bawah air. Albert membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya, sedang putus asa. “Rick dan yang lain sudah khawatir. Apakah kamu akan keluar dari toilet atau tidak?” Max masih membanting-banting pintu bilik.“Aku akan ke …,” ujarnya, tapi mulutnya tidak dapat bersuara pada awalnya, jadi dia berdeham dan berbicara dengan lebih lantang sekarang. “Aku akan ke sana.”Tidak lama, dia pun meninggalkan bilik. Max ada di depan cermin, sedang membetulkan rambutnya. Beberapa pria sedang keluar-masuk di kamar mandi pria klub itu yang canggih itu ketika Max melihat Albert melalui cermin, berbalik ke arahnya, dan menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya. Tangannya yang hangat mengenai kulit wajah Albert yang dingin. Dengan cahaya terang dari kamar kecil di sana, Albert bisa melihat lagi betapa tampannya Max. Mata Max berbinar-binar saat dia menatap mata Albert.“Apakah kamu sungguh
“Williams Muda,” ujar salah satu pemegang saham. “Aku memahami posisimu, tapi apa yang menjamin kami bahwa perubahan radikal ini tidak akan membawa kehancuran bagi perusahaan?”Beberapa pemegang saham mengekspresikan persetujuan mereka mengenai masalah itu, kegaduhan mulai terdengar di sana.“Saya jamin, kami telah meneliti proyek ini selama berbulan-bulan, batas untuk kesalahannya sangat kecil.”“Kenapa kami harus memercayaimu? Lagi pula, ini berhubungan dengan miliaran rupiah,” ujar seseorang, jadi Ernest bangkit berdiri.“Hadirin sekalian, masalah ini harus didiskusikan dengan lebih tenang dan lebih banyak waktu. Kita tidak bisa menyetujui segala hal sekarang. Jadi, dalam satu kuarter, kita akan putuskan lagi apakah proyek ini akan diterima atau tidak. Untuk sekarang, rapatnya ditutup.”Orang-orang masih gaduh seraya mereka memindahkan kertas-kertas, membawa folder mereka dan pergi, masih membicarakan topik yang baru saja dibicarakan.Rick, teman Albert, berjalan menghampiriny
“Jangan naif. Kamu tahu seberbahaya apa dunia ini. Kita tidak boleh hanya berniat untuk melakukan hal baik, tapi melaksanakannya juga.”“Aku juga begitu, tapi tidak dengan niat baik.” Albert pergi keluar dari sana dengan terburu-buru sehingga Max tidak dapat mengejarnya.Terkadang, dia tidak tahan dengan Max dan semua orang di dunia. Ada hal-hal sangat sederhana yang dia ingin bisa lakukan tanpa harus menyuruh seseorang melakukannya untuknya. Kurangnya privasi adalah puncaknya. Dia tidak bisa menahannya lagi. Dari balkon kompartemen studio kosong, Albert terus melihat ke bawah sana, menyadari orang-orang bergerak di jalanan untuk menjalankan kehidupan mereka masing-masing. Albert terkadang hanya ingin memiliki kebebasan seperti yang mereka miliki. Dia hanya ingin menjadi salah satu orang-orang itu. Ponselnya bergetar dengan Max meneleponnya. Lagi pula, masih ada hal-hal yang harus dia lakukan dalam jadwalnya.Siang itu, Albert mempresentasikan usulannya untuk inovasi di perusahaan.