Aku tidak bisa mengelak bahwa Jason Santoso berhak mendapatkan hukuman yang sesuai, tapi menyakitkan rasanya untuk kehilangan semuanya pada wanita itu.“Dia terlalu bodoh untuk tidak menjadi pintar.” Aku mengutuk.“Iya, itu sudah seperti Kinan menaruh sihir padanya. Situasi yang buruk sekali.”“Sihir ataupun tidak, ini semua tetap salahnya sendiri.” Aku menghela nafas dan berpikir tentang Jason. Aku paham bahwa Jason sedang menghadapi masalah finansial yang mengkhawatirkan sekarang, seberapa jauh perbedaan situasi itu dari kasusku hingga dia benar-benar menyadari bahwa dia mencintaiku sekarang? Mungkin saja itu hanyalah penyesalan di pihaknya karena dia begitu bodoh sampai-sampai mencuri seperti itu, dan dia bisa saja merasa menyesal dan berpikir bahwa lebih baik kembali bersamaku, tapi seberapa benarkah perasaan itu?“Ini rumit sekali. Kenapa Jason Santoso harus menjadi serumit ini?” Aku jengkel, menatap langit-langit ruang tamuku.“Kamu, ‘kan, tahu dia, Laura. Kamu mengenalnya l
JasonBerpacaran? Apa? Apa maksudnya itu?“Apakah kamu berpacaran? Dengan siapa?” tanyaku, merasa mulutku tiba-tiba mengering.“Aku berpacaran dengan Richard,” jawabnya. Matanya yang berwarna cokelat masih terbelalak seolah dia ketakutan karena sesuatu. Hidungnya yang kecil dan mancung berwarna merah di pucuknya, begitu pula pipinya. Laura Tanusaputera cantik sekali dan itu menghancurkanku lagi.“Dengan Richard, temanmu itu?” Dia mengangguk, menjawab pertanyaanku. “Apakah tadi kamu sedang berbicara dengannya?” Aku menunjuk ponselnya dengan tatapanku, dan dia menutupi perangkat itu dengan kedua tangannya dekat di dadanya. Dia sudah bilang, “Aku mencintaimu,” sebelum menutup teleponnya. Jadi, dia berbicara begitu pada Richard?“Iya, itu dia.”“Namun, aku mendengar suara anak-anak…”“Tidak! Kamu salah dengar, pasti karena ada statis. Aku berbicara padanya, dia sedang mengundangku untuk makan kebab dengan isian ayam dan saus. Tidak ada suara anak-anak!” Aku mengalihkan pandanganku d
Laura“Apa? Apa yang kamu bicarakan? Apakah Jason mengetahui tentang putriku?” Aku sampai berteriak terkejut ketika, pada telepon grup dengan Fia dan Tama, mereka mengatakan bahwa Jason telah mengetahui hal itu.“Kalau ini akan membuatmu tenang, dia mengira bahwa anakmu itu laki-laki bukan perempuan,” kata Fia, mencoba meredakan situasinya.“Lagi pula, dia mengira bahwa anak itu adalah anak Richard. Dia tidak tahu bahwa anakmu kemungkinan adalah anaknya,” kata Tama, mencoba menenangkanku juga.Aku menghela nafas, mengusap wajahku. “Kenapa kamu malah memberitahunya, Tama?”“Maafkan aku, Laura, tapi Jason juga membuatku terkejut. Kamu tahu aku sudah menjaga rahasiamu selama ini setelah bertahun-tahun, tapi pertanyaan yang dia ajukan tiba-tiba sekali. Itu tidak terdengar seperti pertanyaan, lebih seperti meminta kepastian, seolah dia sudah mengetahuinya,” dia mencoba menjelaskan, merasa bersalah.Aku menatap langit-langit apartemen tempatku tinggal dan mengingat ketika aku sedang be
“Richard itu adalah buaya darat,” komentar Tama baru-baru ini.“Jangan berbicara seperti itu, Richard adalah orang baik,” kataku membela Richard.“Dengar, kami akan mengusirmu dari telepon ini. Kamu tergila-gila dengan Jason,” kata Fia pada Tama, lalu menghapus dia dari telepon. Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kasihan.“Dia mencoba mengatakan sesuatu,” ujarku.“Dia pantas mendapatkannya,” jawab Fia, kemudian kami berdua berbincang lebih lama. “Jason sebaiknya menjauh darimu sekarang, kamu sudah memperjelas bahwa kamu tidak ingin berada di dekatnya,” kata Fia, dan aku menghela nafas.“Iya, itu benar…”“Ada apa, Laura? Itulah yang kamu inginkan, ‘kan? Kenapa kamu terlihat sedih?” tanya Fia.“Aku tidak sedih, hanya saja…“Kenapa, Laura?”“Dia mengingatkanku pada masa lalu, Fia. Aku tidak terbuat dari besi, tahu?” Aku menghela nafas dan berbaring di kasur. Setelah semua hal itu, aku merasa sangat lelah.“Aku tahu kamu sedih karena bertemu dengan Jason lagi, dia membuatmu mera
LauraAnehnya, Jason tidak pernah muncul lagi selama satu minggu penuh, jadi aku kira dia sudah menyerah padaku karena aku memberitahunya bahwa aku berpacaran dengan Richard. Mungkin dia memutuskan untuk memikirkan apa yang dia lakukan. Aku berharap dia akan berhenti menggangguku dan membiarkan aku bekerja dengan tenang, tapi aku mendapat jawabannya pada hari Jumat pagi.Ketika aku tiba di kantor pagi itu, aku menyadari bahwa semua orang sedang menatapku dengan senyuman aneh sambil terkekeh dan aku tidak tahu apa alasannya. Apakah ada sesuatu pada pakaianku? Apa pun itu, aku memutuskan untuk mengabaikan mereka.“Hai, Orlando. Apa kabar?” Aku menyapa pria di belakang meja resepsionis itu. “Bisakah kamu memberikan jadwalku untuk hari ini?”“Catatanmu sudah ada di ruang kerjamu, Nyonya Santoso. Ups, maksudku, Nyonya Tanusaputera,” katanya, tersenyum seolah dia sengaja melakukannya. Aku memiringkan kepalaku, heran karena panggilannya padaku barusan.“Oke,” jawabku, dan aku berbalik, b
LauraAku kabur dari atap setelah pidato dari Jason. Aku tahu Jason tidak akan menyerah, jadi aku harus melakukan sesuatu.“Hai, sayang. Apa kabar?” Terdengar suara Richard dari ujung telepon begitu dia mengangkat teleponku.“Hai, Rick. Senang mendengar suaramu,” ucapku, menyaksikan para petugas pembersih membersihkan semua buket bunga konyol itu dari ruanganku.“Hm, untunglah aku membuatmu merasa seperti itu,” katanya, dan aku bisa membayangkan dia tersenyum dengan konyol. Sejak kami berpacaran, kami hanya sesekali berbicara melalui telepon, dan sebagian besar topik yang kami bicarakan adalah Anna karena dia adalah anakku dan sedang bersama Richard ketika aku bekerja di Jakarta.“Namun, sepertinya kamu meneleponku untuk alasan yang lain,” tebaknya.“Hari ini hari Jumat, ‘kan? Bisakah kamu datang dan menjemputku di Nemesis ketika aku sudah selesai bekerja supaya kita bisa pulang bersama?” tanyaku dan aku mendengar kesunyian dari ujung telepon seperti dia sedang memikirkannya. Aku
JasonMelihat Laura mencium pria lain sangat menyakitkan bagiku sampai aku tidak bisa menjelaskan rasanya, rasanya seolah-olah aku baru saja ditabrak oleh kereta. Mereka ada di depanku, berciuman dan menghancurkan aku. Aku merasakan rasa benci yang dahsyat sampai aku tidak berpikir dua kali untuk memukul orang bodoh itu, benar-benar ingin membunuhnya. Namun, Tama memang benar. Sekeras apa pun aku memukul orang bodoh itu, Richard, aku tahu semuanya adalah salahku. Aku telah kehilangan Laura dan kamu tidak akan mendapatkan kesempatan kedua dalam hidupmu.“Tenanglah, Tuan Santoso,” kata salah satu satpam yang berada di dekatku, masih memegangiku ketika aku menyaksikan Laura pergi bersama Richard dengan putus asa. “Lepaskan aku!”Aku melepaskan diri darinya dan berlari menuju lift. Aku mencoba membukanya, tapi lift itu sedang sibuk, jadi aku berlari menuruni tangga dengan cepat, berlari seolah hidupku bergantung pada itu. Jika aku berlari dengan cepat, mungkin aku sempat menyusul Laur
LauraDari apa yang terjadi beberapa hari kemudian, aku bisa merasakan bahwa Jason mencoba menjauh dariku. Dia berhenti muncul di Nemesis dan berhenti mencoba mengusikku seperti yang dia lakukan sebelumnya. Aku diberi tahu bahwa dia telah kembali ke perusahaan utamanya, yang merupakan berita baik bagiku karena sekarang aku bisa bekerja tanpa diganggu. Dia sudah tidak menghubungiku lagi atau muncul di Nemesis. Para karyawan Nemesis menyampingkan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadiku dengan Jason Santoso dan semua hal yang mereka saksikan, terutama pertengkaran yang terjadi karena aku. Mereka semua menyampingkan pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut dan kembali fokus pada pekerjaan.Sementara itu, di luar pekerjaanku, aku terus berhubungan baik dengan anakku dan Richard yang sedang berada di Bogor. Setiap akhir pekan aku pergi ke sana untuk bersama dengan mereka, tapi aku tidak pernah menunjukkan kasih sayang yang lebih pada Richard. Ciuman yang aku berikan itu han
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak