”Mama, kenapa Papa tidak bisa tinggal dengan kita?” tanya Anna, terduduk sangat dekat dengan ayahnya.Aku menghela nafas, menggigit bibir bawahku, tidak bisa membicarakan hal itu.“Anna, sayang. Mama dan aku sudah tidak lagi bersama, karena itulah kami tidak bisa tinggal bersama lagi,” jelas Jason pada gadis itu.“Benarkah? Sedih sekali,” ujar Anna, meratapi hal itu dengan bibir yang merengut.Aku menghela nafas dan menyentuh tangannya dengan penuh kasih sayang. “Bagaimana kalau kamu mengambil cemilan untuk Papa?” kataku padanya dan matanya berbinar lagi sambil tersenyum antusias.“Tentu saja, aku akan mengambilkannya,” katanya, bangkit dari kursinya dan berlari pergi.“Polos sekali. Aku harap dia tetap seperti ini, selamanya anak-anak,” kata Jason, menatap ke arah Anna yang baru saja pergi.“Apa yang kamu lakukan di sini, Jason? Apa yang kamu rencanakan? Apakah kamu berniat untuk menyerangku karena aku melakukan kesaksian terhadapmu? Kenapa kamu mengambil ponselku?” tanyaku sam
LauraTerkadang, aku merasa bahwa bertengkar dengan Jason seperti sedang melawan angin laut. Bagaimana aku bisa menyangkal perasaanku sambil bersikeras untuk tetap tinggal? Bagaimana aku bisa menghindar dari mata cokelat indahnya yang menatapku dengan begitu dalam? Apa yang dia inginkan? Aku telah melakukan segala cara untuk membuatnya membenciku—untuk membuatnya membenciku dan tidak ingin menatapku lagi. Yang kuinginkan adalah menjadi musuhnya, jadi aku sangat waspada setiap aku melihatnya lagi, tapi Jason menatapku dengan begitu dalam, matanya begitu berat dan dalam yang membuatku berpikir bahwa dia akan menarik pinggangku dan menciumku.Namun, sebelum itu terjadi, Fia menyingkirkan kesempatan itu. “Kukira kamu akan pergi, Santoso,” katanya seraya dia memasuki dapur, membuatku menjauh dari Jason, menyisir rambutku dengan jemariku.“Aku sudah bilang bahwa aku akan pergi,” jawab Jason pada Fia, mendecakkan lidahnya, lalu menatapku. “Seharusnya kamu menyewakan lebih banyak pengawal u
Aku mengetuk pintu kamar Suzy dengan lembut, tapi tidak ada jawaban. Jadi, aku memutuskan untuk masuk dengan perlahan. “Maaf, Suzy. Apakah kita bisa berbincang?” tanyaku segera setelah aku masuk, tapi ada koper yang terbuka di atas ranjang dan dia melempar baju-baju dari lemarinya ke koper itu dengan marah. “Apa yang kamu lakukan? Apa maksudnya ini?” tanyaku terkejut.“Apakah kamu ingin aku menggambarkannya?” jawabnya dengan kasar.“Jangan bilang kamu mendengarkan perkataan Jason? Suzy, kamu tahu dia hanya mengatakan itu untuk bermain-main denganmu,” kataku, mencoba mendapatkan perhatiannya.“Aku tidak memedulikan apa yang dia katakan jika aku tidak tahu bahwa itu benar, Laura,” katanya, mengambil baju lainnya dari lemari dengan tergesa-gesa.“Namun, itu adalah kebohongan ketika dia bilang bahwa Fia hanya menggunakanmu sebagai ibu pengganti dan setelah itu dia tidak akan tertarik padamu. Itu tidak benar,” aku bersikeras.Sekarang, dia menghentikan apa yang sedang dia lakukan dan m
FiaAku berlutut di depan pintu utama apartemen Laura, beberapa detik setelah kepergian Suzy. Mataku terbelalak, ekspresi ketakutan tertulis dengan jelas di wajahku.“Kenapa Suzy pergi? Kapan dia akan kembali?” Aku mendengar Anna bertanya dengan putus asa.“Tenanglah, Anna. Suzy akan kembali,” jawab Laura dengan penuh kasih sayang, menggendong putrinya.“Kenapa semua orang selalu pergi? Aku ingin Suzy kembali!” keluh gadis itu, mulai menangis dengan lantang. Desas-desus bermunculan di antara anak-anak dan orang dewasa yang menyaksikan seluruh hal itu terjadi.Laura menghampiriku dengan putrinya di pelukannya dan menyentuh pundakku. “Fia, tolong tenangkan diirmu sendiri. Jangan putus asa,” katanya padaku. Aku memohon padanya dengan tatapanku. Jelas sekali dia tidak mengerti apa-apa. “Kita bisa menangani ini nanti. Lagi pula, Suzy tidak memiliki uang. Dia tidak bisa pergi sejauh itu,” tambahnya, membuatku mengangguk setuju. “Kumohon, sayang, aku harus menangani kekacauan ini,” katan
”Anna sudah lebih tenang sekarang,” ujarku untuk menenangkan Laura karena aku bisa melihat garis kekhawatiran di ruang antara kedua matanya.Dia menyengir dan mengangguk. Terima kasih,” katanya.Aku menggeleng pelan dan mengangkat gelas sekali pakai lagi. “Tama pasti sedang berbicara dengannya,” kataku, mengacu pada Suzy, merasakan beban dalam hatiku.Laura mengembuskan nafas panjang. “Fia, kamu tahu bahwa aku peduli padamu. Situasi ini membuatmu cukup terguncang dan kamu tidak bisa terlalu stres karena kehamilanmu. Bagaimana jika kamu mempertimbangkan untuk membiarkan Suzy memiliki bayinya?” ujarnya yang diakhiri dengan saran.Aku menatapnya tidak percaya seolah dia baru saja menyarankan sesuatu yang absurd. “Namun, kamu tahu, jika bukan karenaku, wanita jalang itu pasti sudah membatalkan kehamilan itu saat ini,” ujarku mengingatkannya, membela diriku. Bagaimana bisa Laura menyarankan hal seperti itu?“Oke, tapi kamu tidak perlu melakukannya. Itu adalah urusannya, bukan urusanmu,
SuzyPintu depan dari apartemen kecil di gedung sederhana Tangerang Selatan terbuka untukku. Clara, temanku, menatapku dari atas sampai bawah dan berkata, “Lihatlah, wanita jalang ini kembali. Ada apa? Apakah kamu lelah bermain dengan orang-orang kaya itu?”Aku tertawa, memutar bola mataku, mengambil rokok yang menyala dari tangannya, lalu memasuki apartemennya, menarik koperku ke dalam. “Ternyata aku kembali ke sini,” komentarku setelah aku masuk ke dalam.Apartemen itu kecil. Hanya ada lorong masuk, dapur biasa, sebuah kamar dan kamar mandi di belakang. Tempat itu penuh dan ada sedikit bau apak dari sofa yang sudah usang. Pada saat itu, dua pria telanjang terduduk di sana, menandakan bahwa temanku sedang memiliki sesi dengan mereka.“Hei, Clara, bukannya itu temanmu yang terlibat dengan polisi?” kata salah satu dari pria itu yang berkulit sawo matang. Dia sudah menatapku dengan benci. “Sejak kapan kamu hamil, Suzy?” tanyanya, menatap perutku.“Dengar, jika kamu ingin bergabung d
“Aku memahami bahwa aku tidak memiliki apa pun atau siapa pun di dunia ini, Clara,” kataku setelah beberapa saat, menjawab pertanyaannya. “Tidak ada yang memedulikan aku, seperti orang-orang ini. Mereka semua selalu hanya ingin ejakulasi dan pergi. Tidak akan ada yang melihatku lebih dari itu.” Suaraku tercekat pada akhirnya.Apa yang terjadi padaku adalah sebuah tipu muslihat. Ilusi semata! Aku bahkan bisa dipanggil menggelikan dan mudah ditipu, tapi aku tidak bisa tidak tersenyum tipis dan merasa hangat ketika Laura menunjukkan sedikit kekhawatirannya padaku. Jauh di lubuk hatiku, aku selalu tahu bahwa Fia hanya tertarik pada kehamilanku—ketertarikan yang tidak sehat, bisa dibilang, dengan asumsi bahwa aku adalah saingannya dan mengandung anak di luar pernikahan dari suaminya di rahimku.Fia membenciku dan tidak sabar untuk mengusirku. Aku tidak menganggapnya lebih dari itu. Aku tidak tertarik padanya karena dia picik, tapi Laura... Dia memiliki perhatian yang menghangatkan hatimu
TamaAda keheningan yang menyesakkan di dalam mobil seraya aku mengantar Fia ke alamat teman Suzy. Setelah hari aku terbangun di kamar hotel dengan wanita lain di sisiku, hari terburuk dalam hidupku, bisa dikatakan bahwa Suzy suka membuat ancaman kecil, membuatku pergi ke rumahnya dengan kudapan dan hal-hal lainnya, lalu mengambil uangku. Jika aku menolak melakukannya, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Dia akan meraih ponselku dan memberi tahu segalanya kepada istriku, yang membuatku terpojokkan. Terkadang, aku pergi ke rumah temannya ketika dia tidur di sana, jadi dia dan temannya membenciku.“Aku tidak pernah bertemu seorang pria yang mencintai istrinya sebesar kamu,” kata mereka, tertawa. “Kamu bersedia untuk menjadi suruhan kami hanya untuk melindungi pernikahanmu! Kamu sangat setia, Tama Kusuma!”Sangat setia? Apakah aku akan dianggap bersalah setelah berselingkuh dari istriku dan menghancurkan pernikahanku? Apa yang tidak akan kulakukan untuk tidak meninggalkan rumahku
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat
AnnaKetika aku kembali ke mobil dan melihat kaca spion seraya aku melaju menuju pintu masuk sekolahku, aku bisa melihat Ciko dengan tangan di kepalanya dan pundak yang merosot, terlihat sedih tentang apa yang baru saja terjadi. Aku menghela napas pasrah dan memutuskan untuk melihat ke depan dan melanjutkan hidupku. Itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.“Hei, Anna,” panggil Abel padaku begitu dia melihatku berjalan memasuki aula sekolah.“Hai, Abel.” Aku tersenyum kepadanya saat aku melihat dia, beranjak untuk memeluknya. Abel adalah anak kandung dari Bibi Fia, sahabat ibuku. Dia dan aku tumbuh besar bersama sebagai teman dan selalu terhubung dengan satu sama lain.“Apa yang terjadi? Kamu sedikit terlambat hari ini,” katanya sambil memandangku.“Em … itu karena aku tadi berbicara dengan Ciko di luar,” kataku padanya sambil menyelipkan rambutku di belakang telingaku, merasa tidak nyaman hanya memikirkan tentang Ciko.“Oh! Ciko ada di luar? Astaga, dia manis sekali! Kamu beru
Anna“Aku ingin putus denganmu, Ciko.”Ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, aku hampir tidak dapat memercayainya. Aku sudah ingin mengatakannya sejak lama sekali hingga aku berpikir bahwa saat ini aku hanya membayangkan diriku sendiri mengatakannya seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini, itu sungguhan. Aku bisa melihat wajah Ciko hancur di hadapanku—wajahnya yang sesaat yang lalu penuh harapan, sekarang terkejut dan bahkan merasa jijik dengan kata-kataku.Dia tersenyum dengan lemah, seakan-akan dia tidak memahami apa pun. “Kamu ingin putus denganku? Apa maksudmu? Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya, terlihat benar-benar kebingungan.Aku menghela napas, menyadari bahwa aku seharusnya tidak mengatakan itu padanya tanpa pendahuluan apa-apa. Namun, aku bukannya bersikap tidak sensitif, itu hanyalah cinta monyet dan aku berhak mengakhirinya.“Kurasa sebaiknya kita bicara lagi nanti, Ciko,” kataku dan berbalik untuk pergi, tapi dia tidak membiarkan aku pergi menjauh da
AnnaKarena adik-adikku sudah marah padaku, salah satu dari mereka sudah tidak menanggapi apa yang kukatakan ketika aku berusaha berkomunikasi dengannya, dan yang satunya menendang-nendang kakinya ke belakang tempat dudukku berkali-kali dan membuatku merasa tidak nyaman, menyebutku anak yang terlalu dimanja.“Hentikan, Daniel,” pintaku, tapi anak itu tampaknya tidak mau menurut.“Kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak mendengarkan anak-anak perempuan menyebalkan seperti dirimu,” katanya padaku, membuatku makin jengkel.Aku hanya mengesampingkannya dan bersabar hingga aku akhirnya tiba di sekolah mereka. Apa yang bisa kulakukan tentang itu? Itu adalah hubungan asmaraku, oke? Mereka seharusnya tidak terlibat dalam hal ini seperti itu. Itu bukan urusan mereka.“Kamu bisa turun sekarang,” kataku pada mereka begitu aku berhenti di depan sekolah mereka.Mereka pergi tanpa bahkan berpamitan, tapi Stefan berbalik ke arahku dan berkata, “Kuharap harimu buruk hari
AnnaAku sedang berada di depan cermin sambil duduk di meja riasku selagi. Dengan penuh konsentrasi, aku mencoba memakai eyeliner di atas mataku, tapi suara adikku yang menyebalkan mengagetkanku ketika dia tiba-tiba memasuki ruang gantiku, berteriak-teriak dan meminta perhatianku. Aku berakhir memiliki garis hitam di wajahku, menghancurkan seluruh riasan wajahku.“Kenapa kamu berteriak-teriak, sih, Daniel Williams Santoso?” tanyaku dengan mata yang setengah terpejam, hampir mencekik lehernya dan menarik kepalanya.“Ew, menjijikkan! Kamu terlihat mengerikan dengan riasan wajah itu. Apakah kamu tidak tahu cara memakainya dengan benar?” ejeknya padaku dengan raut wajah jijik.Aku tidak dapat memercayai perkataannya. Dialah yang menghancurkan momen damaiku ketika aku sedang memakai riasan wajah di kamarku sendiri! Aku tidak mau mendengar hal itu dari anak ini yang tidak mengenal apa yang dimaksud dengan ruang pribadi.“Omong-omong, apa yang kamu inginkan?” tanyaku seraya aku mengambil