Ryan perlahan membuka pintu ruang perawatan Andika. Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih ragu, tetapi langkahnya tetap maju.Di dalam ruangan, Suster Ratna yang sejak tadi berjaga langsung menoleh. Begitu melihat wajah Ryan, dia langsung tahu siapa pria itu.Pesan dari Lila sebelumnya sudah membuatnya waspada. Kemiripan antara Ryan dan Sean begitu jelas, garis wajah tegas, sorot mata dalam, serta postur tubuh yang tegap, semua itu adalah warisan dari Andika.“Saya Ryan, anak Pak Andika.” Ryan mencoba memperkenalkan diri, dan berharap diberi izin untuk bersama sang papa barang sejenak.“Ya, tadi Bu Lila juga sudah memberi tahu kalau Pak Ryan akan datang.”Suster Ratna tersenyum samar, ada kebahagiaan di hatinya, mungkin keinginan Andika akan segera terpenuhi.Perempuan yang sedang hamil itu segera bangkit dari duduknya. “Bapak pasti senang melihat kedatangan Pak Ryan. Semoga dengan kedatangan Pak Ryan kondisi Bapak bisa segera membaik.
Sekar menatap Sean dengan kemarahan yang meluap-luap. Suaranya bergetar saat ia mulai melontarkan kata-kata tajam.“Kamu ini anak macam apa, Sean? Kamu tega mengkhianati Mama demi laki-laki itu. Demi laki-laki yang meninggalkan kita, yang memilih wanita lain. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia membuang kita seperti sampah?”Hati Sean terasa teriris saat mendengar sang mama tidak bersedia menyebut nama pria yang secara hukum negara masih sah sebagai suaminya. Hal itu menunjukkan luka yang begitu dalam di hati sang mama, yang sampai saat ini belum terobati.Tetapi Sean tetap diam, membiarkan Sekar melepaskan semua amarahnya. Tidak ada pembelaan yang keluar dari mulut Sean, meski pada kenyataan sang mama lah yang membuang Andika setelah ketahuan selingkuh.“Bisa-bisanya kamu merawat lak-laki itu secara diam-diam di belakang mama. Hati mama sakit Sean mengetahuinya, sama sakitnya seperti saat mama mengetahui jika pria itu menikah diam-diam di belakang mama.” Sekar menggelengkan kepalanya.
Dengan langkah cepat, Lila menuju ruang kerja. Suara Sekar yang penuh emosi masih terdengar, meski kini sedikit mereda.Saat tiba di depan pintu, ia mencoba memutar handle, ternyata tidak dikunci. Perlahan, ia mendorong pintu hingga terbuka.Perdebatan antara Sean dan Sekar seketika terhenti kala menyadari pintu terbuka. Ibu dan anak itu tidak ingin jika Brilian sampai mendengar perdebatan mereka. Sekar dan Sean sama-sama terkejut saat melihat Lila yang membuka pintu.Lila berdiri di ambang pintu, merasa bingung sekaligus takut. Tatapan tajam Sekar langsung tertuju padanya, sementara Sean tampak tegang, seolah tengah menghadapi badai yang lebih besar dari yang bisa ia tangani.Lila melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.“Apa yang terjadi?” tanya Lila dengan hati-hati, suaranya bergetar sedikit.Pertengkaran atau perdebatan adalah sesuatu yang biasa dalam keluarga. Tetapi selama Lila tinggal bersama Sekar, ini adalah pertama kalinya dia menyaksikan suami dan ibu mertuanya berte
Sean segera menggendong tubuh Lila yang lemas, wajahnya tegang. Dia keluar dari ruang kerja dengan langkah cepat. Napasnya memburu, sementara detak jantungnya berpacu dengan ketakutan yang merayapi dirinya.Brilian yang baru saja keluar dari kamarnya melihat mamanya dalam pelukan sang papa. Matanya membelalak. “Mama! Papa, kenapa Mama?” Suaranya bergetar, tangisnya pecah dalam sekejap.Sean tidak sempat menjawab. Ia hanya berteriak, “Pak Slamet!”Sopir pribadi mereka, Pak Slamet, yang sejak tadi berada di garasi, langsung berlari masuk ke rumah. Begitu melihat keadaan Lila yang tak sadarkan diri, dia segera mengerti. Tanpa bertanya, dia berlari kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan membuka pintu belakang.Sean mengikuti dari belakang, masih menggendong Lila dengan erat. Sekar berdiri terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah. Brilian berusaha melepaskan diri dari pelukan neneknya, mencoba mendekati mamanya.“Brilian, sayang …” Sekar berusaha menenangkan cucunya,
Sean terpaku sejenak ketika melihat Dokter Amira berjalan cepat menuju ruang perawatan Lila. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan dokter yang biasa menangani istrinya itu di sini. Tanpa berpikir panjang, Sean segera mengikutinya, berharap bisa melihat kondisi istrinya.“Dok, bagaimana keadaan Lila?” tanya Sean cemas, matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dimasuki Dokter Amira.Dokter Amira menoleh dan tersenyum lembut, tatapannya jatuh pada Brilian yang masih terisak di gendongan Sean. “Dia butuh istirahat total. Saya akan periksa keadaannya sekarang. Kamu bisa ikut melihat, tapi tenangkan dulu anakmu, biar tidak menganggu mamanya.”Sean mengangguk, merasa sedikit lega mendengar nada suara Dokter Amira yang tenang.Mereka berjalan memasuki ruang perawatan. Lila terbaring di ranjang, wajahnya pucat namun terlihat damai dalam tidurnya. Sean berdiri di samping ranjang, masih menggendong Brilian yang memandangi mamanya dengan mata berkaca-kaca.Dokter Amira mendekati Brilian dan t
Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya berkaca-kaca menatap pintu ruang USG yang tertutup rapat. Ia meronta saat Sekar mencoba memeluknya, kakinya menghentak-hentak lantai dengan keras. “Aku mau lihat adik! Papa bilang aku boleh lihat adik!” suaranya nyaring, hampir berteriak.Sekar menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut karena tingkah cucunya yang keras kepala.“Brilian sayang, di dalam ruangan itu nggak boleh ramai. Di dalam ada banyak alat-alat dokter yang tidak boleh digunakan mainan secara sembarangan,” Sekar membujuk dengan suara lembut.“Aku tidak akan main di sana, Om! Aku cuma mau ikut melihat adik!” Brilian memohon dengan mata bulat penuh harap. Ia melirik ke arah pintu lagi, seolah berharap keajaiban akan membuatnya terbuka.“Sayang, itu aturan rumah sakit. Anak kecil nggak boleh masuk,” Sekar mengusap kepala Brilian dengan lembut, mencoba menahan kekesalan yang mulai merayap dalam hatinya.“Tapi Papa janji! Papa bilang aku boleh ikut
Dokter Amira menggerakkan alat USG perlahan, matanya terpaku pada layar monitor. Ia mengerutkan kening, memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia menggeser alat itu sedikit ke kiri, lalu ke kanan. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Wah, ini... kejutan besar!” ucap Dokter Amira dengan nada antusias. Lila dan Sean saling pandang, bingung dengan reaksi Dokter Amira. “Ada apa, Dok?” tanya Lila, cemas. Dokter Amira menunjuk layar monitor. “Lihat ini. Bukan cuma satu, tapi dua kantong kehamilan. Selamat, kalian bakal jadi orang tua dari bayi kembar!” Mata Lila membesar, mulutnya ternganga tak percaya. “Kembar?” suaranya bergetar. Sean terpaku di tempatnya, tak mampu berkata-kata. Ia mengamati layar monitor yang memperlihatkan dua kantong kehamilan dengan dua janin kecil yang bergerak pelan yang ditunjukkan oleh Dokter Amira. “Tunggu... kembar?” ulangnya, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri. “Tapi... di keluarga saya tidak ada yang kembar, Dok.” Dokter
Sepulang dari rumah sakit Sekar langsung mengurung diri di kamarnya. Para saling berlempar tanya tentang apa yang sedang terjadi dengan keluarga majikan mereka. Penjelasan Pak Slamet jika Lila sedang hamil belum juga membuat rasa penasaran para pekerja terobati, apalagi semua angota keluarga lalu masuk ke kamar masing-masing.Tidak lama kemudian Sekar keluar dan menyuruh Bi Siti untuk mengumpulkan semua rekan kerjanya di ruang keluarga. Ada rasa was was jika terjadi hal buruk dengan keluarga tempat mereka mencari nafkah, apalagi sebelumnya terjadi pertengkaran yang membuat suasana rumah begitu menegangkan.Sekar duduk di sofa tungga dengan senyum lebar yang tak kunjung surut. Di hadapannya, para pekerja rumah tangga telah berkumpul. Ada beberapa ART, tukang kebun dan Pak Slamet, mereka semua berdiri rapi, menatap penuh rasa ingin tahu.“Terima kasih sudah berkumpul,” ucap Sekar dengan suara yang terdengar ceria. “Hari ini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian.”Mata para pekerj
Sepulang dari rumah sakit Sekar langsung mengurung diri di kamarnya. Para saling berlempar tanya tentang apa yang sedang terjadi dengan keluarga majikan mereka. Penjelasan Pak Slamet jika Lila sedang hamil belum juga membuat rasa penasaran para pekerja terobati, apalagi semua angota keluarga lalu masuk ke kamar masing-masing.Tidak lama kemudian Sekar keluar dan menyuruh Bi Siti untuk mengumpulkan semua rekan kerjanya di ruang keluarga. Ada rasa was was jika terjadi hal buruk dengan keluarga tempat mereka mencari nafkah, apalagi sebelumnya terjadi pertengkaran yang membuat suasana rumah begitu menegangkan.Sekar duduk di sofa tungga dengan senyum lebar yang tak kunjung surut. Di hadapannya, para pekerja rumah tangga telah berkumpul. Ada beberapa ART, tukang kebun dan Pak Slamet, mereka semua berdiri rapi, menatap penuh rasa ingin tahu.“Terima kasih sudah berkumpul,” ucap Sekar dengan suara yang terdengar ceria. “Hari ini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian.”Mata para pekerj
Dokter Amira menggerakkan alat USG perlahan, matanya terpaku pada layar monitor. Ia mengerutkan kening, memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia menggeser alat itu sedikit ke kiri, lalu ke kanan. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Wah, ini... kejutan besar!” ucap Dokter Amira dengan nada antusias. Lila dan Sean saling pandang, bingung dengan reaksi Dokter Amira. “Ada apa, Dok?” tanya Lila, cemas. Dokter Amira menunjuk layar monitor. “Lihat ini. Bukan cuma satu, tapi dua kantong kehamilan. Selamat, kalian bakal jadi orang tua dari bayi kembar!” Mata Lila membesar, mulutnya ternganga tak percaya. “Kembar?” suaranya bergetar. Sean terpaku di tempatnya, tak mampu berkata-kata. Ia mengamati layar monitor yang memperlihatkan dua kantong kehamilan dengan dua janin kecil yang bergerak pelan yang ditunjukkan oleh Dokter Amira. “Tunggu... kembar?” ulangnya, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri. “Tapi... di keluarga saya tidak ada yang kembar, Dok.” Dokter
Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya berkaca-kaca menatap pintu ruang USG yang tertutup rapat. Ia meronta saat Sekar mencoba memeluknya, kakinya menghentak-hentak lantai dengan keras. “Aku mau lihat adik! Papa bilang aku boleh lihat adik!” suaranya nyaring, hampir berteriak.Sekar menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut karena tingkah cucunya yang keras kepala.“Brilian sayang, di dalam ruangan itu nggak boleh ramai. Di dalam ada banyak alat-alat dokter yang tidak boleh digunakan mainan secara sembarangan,” Sekar membujuk dengan suara lembut.“Aku tidak akan main di sana, Om! Aku cuma mau ikut melihat adik!” Brilian memohon dengan mata bulat penuh harap. Ia melirik ke arah pintu lagi, seolah berharap keajaiban akan membuatnya terbuka.“Sayang, itu aturan rumah sakit. Anak kecil nggak boleh masuk,” Sekar mengusap kepala Brilian dengan lembut, mencoba menahan kekesalan yang mulai merayap dalam hatinya.“Tapi Papa janji! Papa bilang aku boleh ikut
Sean terpaku sejenak ketika melihat Dokter Amira berjalan cepat menuju ruang perawatan Lila. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan dokter yang biasa menangani istrinya itu di sini. Tanpa berpikir panjang, Sean segera mengikutinya, berharap bisa melihat kondisi istrinya.“Dok, bagaimana keadaan Lila?” tanya Sean cemas, matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dimasuki Dokter Amira.Dokter Amira menoleh dan tersenyum lembut, tatapannya jatuh pada Brilian yang masih terisak di gendongan Sean. “Dia butuh istirahat total. Saya akan periksa keadaannya sekarang. Kamu bisa ikut melihat, tapi tenangkan dulu anakmu, biar tidak menganggu mamanya.”Sean mengangguk, merasa sedikit lega mendengar nada suara Dokter Amira yang tenang.Mereka berjalan memasuki ruang perawatan. Lila terbaring di ranjang, wajahnya pucat namun terlihat damai dalam tidurnya. Sean berdiri di samping ranjang, masih menggendong Brilian yang memandangi mamanya dengan mata berkaca-kaca.Dokter Amira mendekati Brilian dan t
Sean segera menggendong tubuh Lila yang lemas, wajahnya tegang. Dia keluar dari ruang kerja dengan langkah cepat. Napasnya memburu, sementara detak jantungnya berpacu dengan ketakutan yang merayapi dirinya.Brilian yang baru saja keluar dari kamarnya melihat mamanya dalam pelukan sang papa. Matanya membelalak. “Mama! Papa, kenapa Mama?” Suaranya bergetar, tangisnya pecah dalam sekejap.Sean tidak sempat menjawab. Ia hanya berteriak, “Pak Slamet!”Sopir pribadi mereka, Pak Slamet, yang sejak tadi berada di garasi, langsung berlari masuk ke rumah. Begitu melihat keadaan Lila yang tak sadarkan diri, dia segera mengerti. Tanpa bertanya, dia berlari kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan membuka pintu belakang.Sean mengikuti dari belakang, masih menggendong Lila dengan erat. Sekar berdiri terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah. Brilian berusaha melepaskan diri dari pelukan neneknya, mencoba mendekati mamanya.“Brilian, sayang …” Sekar berusaha menenangkan cucunya,
Dengan langkah cepat, Lila menuju ruang kerja. Suara Sekar yang penuh emosi masih terdengar, meski kini sedikit mereda.Saat tiba di depan pintu, ia mencoba memutar handle, ternyata tidak dikunci. Perlahan, ia mendorong pintu hingga terbuka.Perdebatan antara Sean dan Sekar seketika terhenti kala menyadari pintu terbuka. Ibu dan anak itu tidak ingin jika Brilian sampai mendengar perdebatan mereka. Sekar dan Sean sama-sama terkejut saat melihat Lila yang membuka pintu.Lila berdiri di ambang pintu, merasa bingung sekaligus takut. Tatapan tajam Sekar langsung tertuju padanya, sementara Sean tampak tegang, seolah tengah menghadapi badai yang lebih besar dari yang bisa ia tangani.Lila melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.“Apa yang terjadi?” tanya Lila dengan hati-hati, suaranya bergetar sedikit.Pertengkaran atau perdebatan adalah sesuatu yang biasa dalam keluarga. Tetapi selama Lila tinggal bersama Sekar, ini adalah pertama kalinya dia menyaksikan suami dan ibu mertuanya berte
Sekar menatap Sean dengan kemarahan yang meluap-luap. Suaranya bergetar saat ia mulai melontarkan kata-kata tajam.“Kamu ini anak macam apa, Sean? Kamu tega mengkhianati Mama demi laki-laki itu. Demi laki-laki yang meninggalkan kita, yang memilih wanita lain. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia membuang kita seperti sampah?”Hati Sean terasa teriris saat mendengar sang mama tidak bersedia menyebut nama pria yang secara hukum negara masih sah sebagai suaminya. Hal itu menunjukkan luka yang begitu dalam di hati sang mama, yang sampai saat ini belum terobati.Tetapi Sean tetap diam, membiarkan Sekar melepaskan semua amarahnya. Tidak ada pembelaan yang keluar dari mulut Sean, meski pada kenyataan sang mama lah yang membuang Andika setelah ketahuan selingkuh.“Bisa-bisanya kamu merawat lak-laki itu secara diam-diam di belakang mama. Hati mama sakit Sean mengetahuinya, sama sakitnya seperti saat mama mengetahui jika pria itu menikah diam-diam di belakang mama.” Sekar menggelengkan kepalanya.
Ryan perlahan membuka pintu ruang perawatan Andika. Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih ragu, tetapi langkahnya tetap maju.Di dalam ruangan, Suster Ratna yang sejak tadi berjaga langsung menoleh. Begitu melihat wajah Ryan, dia langsung tahu siapa pria itu.Pesan dari Lila sebelumnya sudah membuatnya waspada. Kemiripan antara Ryan dan Sean begitu jelas, garis wajah tegas, sorot mata dalam, serta postur tubuh yang tegap, semua itu adalah warisan dari Andika.“Saya Ryan, anak Pak Andika.” Ryan mencoba memperkenalkan diri, dan berharap diberi izin untuk bersama sang papa barang sejenak.“Ya, tadi Bu Lila juga sudah memberi tahu kalau Pak Ryan akan datang.”Suster Ratna tersenyum samar, ada kebahagiaan di hatinya, mungkin keinginan Andika akan segera terpenuhi.Perempuan yang sedang hamil itu segera bangkit dari duduknya. “Bapak pasti senang melihat kedatangan Pak Ryan. Semoga dengan kedatangan Pak Ryan kondisi Bapak bisa segera membaik.
Ryan menatap Rina, sementara istrinya terlihat ragu-ragu. Mereka sama-sama tahu bahwa situasi ini lebih rumit daripada sekadar kunjungan ke rumah sakit.Di satu sisi, mereka datang karena kondisi Risda yang semakin melemah setelah cuci darah. Namun, di sisi lain, ada Andika, sosok yang telah lama mereka hindari, dan kini terbaring sakit.Rina menarik napas dalam, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Lila, kami ke sini karena Mama baru saja menjalani cuci darah. Kondisinya agak menurun, jadi kami harus memastikan dia baik-baik saja lebih dulu.”Lila mengangguk, memahami. “Aku mengerti. Tapi setelah ini, bisakah kalian menyempatkan waktu untuk bertemu Papa? Dia ingin bertemu dengan Ryan.”Ryan mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras, tapi dia tidak berkata apa-apa.Rina menatap suaminya sejenak sebelum kembali melihat Lila. “Kami akan mencoba. Bisa tolong beri tahu kami di mana Pak Andika dirawat?”Rina masih tetap menyebut Pak Andika, seperti saat dia masih bekerja di Mahendr