Selesai mandi dan berpakaian, dengan cepat Leary segera duduk di meja makan dan menikmati makan malamnya bersama Olivia sambil bercakap santai, membicarakan musim dingin yang sudah dekat. Olivia berjanji akan membawa Leary berkeliling kota London dan membawanya melihat menara bigben setelah Leary pintar membaca dan berhitung. Langit sore sudah mulai hilang berganti malam, mala mini bulan terlihat muncul bersama dengan bintang-bintang yang bertebaran. Rasa kenyang membuat Leary duduk santai di kursinya, anak itu memperhatikan kue kering kesukaannya ada di atas meja dengan berbagai makanan lezat lainnya yang masih banyak belum dimakan. Sudah sangat lama Leary tidak memakan makan enak lagi, dia sampai bertanya-tanya di dalam hatinya, bagaimana caranya ibunya mendapatkan semua makanan lezat ini padahal dia sedang sakit? Kini Leary tengah menunggu Olivia yang pergi ke sudut ruangan tengah untuk mengambil hadiah yang sudah dia janjikan kepada putrinya. Tidak berapa lama akhirnya Olivi
Olivia sudah berusaha sebisa mungkin menyelesaikan laporan terakhirnya untuk dikirimkan kepada Oxfo setelah dua bulan lebih lamanya dia mengirimkan sedikit demi sedikit informasi. Suara batuk Olivia terdengar berat, Olivia berhenti menulis di kertas khusus yang dikirim, dengan sisa-sisa tenganya dia menggulung semua kertas yang telah dia tulis dan memasukannya ke dalam sebuah kotak. Suara Olivia kasar tersenggal, Olivia masih tidak berhenti batuk, wanita itu mulai menutup mulutnya yang kini kembali mengeluarkan darah, keringat dingin mulai membasahi Olivia, pandangannya berkunang-kunang, wanita itu terlihat kesulitan untuk berpindah duduk ke kursi rodanya karena keadaan tubuhnya yang semakin lemah. Olivia harus mengambil obat dan meminta bantuan, dia tidak boleh terjatuh pingsan dan ditemukan oleh Leary. Tubuh Olivia gemetar, dia merintih mencoba memutar kursi roda yang didudukinya agar bergerak ke kamar, rasa sakit di dada tidak mampu diredakan hanya dengan tekanan dan usapan s
“Ibu.. apa yang harus aku lakukan? Ibu mau minum obat?” tanya Leary mengusap dada Olivia karena sejak tadi Olivia gemetar merasakan sakit dan sesak di dada. Olivia menggeleng tanpa suara. “Kita harus pergi ke dokter, kenapa Ibu tidak pernah mau pergi ke dokter? Aku akan mendorong kursi roda Ibu sampai ke klinik.” “Besok ibu akan sembuh, jangan khawatir,” jawab Olivia seraya menggenggam tangan kecil Leary di dadanya. “Terima kasih,” ucapnya lagi nyaris tidak terdengar. Leary menarik napasnya dalam-dalam, anak itu mengusap kening Olivia untuk merasakan suhu tubuhhnya yang kini sedikit menurun setelah setengah jam mendapatkan kompresan. Perlahan Olivia kembali tertidur, sementara Leary masih terjaga dan hanya duduk memperhatikan ibunya dengan lekat. Wajah cantik Olivia sudah berubah, dia tinggal kulit dan tulang, suaranya semakin hari semakin dalam, dia lebih banyak duduk di kursi roda. Leary takut.. Dia takut ibunya masih lama sembuh. Leary menatap ke sekitar dengan sendu, mata
Terlalu banyak melakukan pekerjaan di rumah pada akhirnya Leary terlambat datang ke toko, kedatangannya langsung disambut cemberutan marah Willis yang kini berdiri bersedekap di depan pintu. Willis kesal karena dia tidak memiliki kunci cadangan toko sehingga dia harus menunggu lama kedatangan Leary. “Kau kemana saja? Aku baru dua hari memberimu kunci, tapi kau sudah berani datang terlambat setengah jam.” Leary mengusap peluh keringat di keningnya, dia sudah cukup berlari untuk ke toko, namun karena harus mendorong sepeda, dia menjadi terlambat, seharian kemarin Leary sudah belajar mengendarai sepeda dengan Lohan, tetapi dia masih belum lancar memakainya. “Maaf Bibi, saya harus membantu ibu karena kembali sakit.” Kening Willis mengerut samar, sudah lebih dari satu minggu dia tidak menemui Olivia, jadi dia tidak tahu keadaan Olivia sekarang seperti apa. “Ibumu bisa bangun?” Leary menggeleng pelan, anak itu menyembunyikan kesedihan di matanya teringat jika sebelum dia berangkat per
“Paman pasti marah dan kecewa kepadaku,” bisik Leary di antara suara hujan yang turun. Leary kecewa kepada dirinya sendiri karena dia tidak bisa menjaga hadiah pemberian ibunya, dia juga tidak bisa menjaga barang milik Lohan yang selama ini selalu bersikap baik kepadanya. Leary menghembuskan napasnya dengan berat, dia sudah lelah seharian ini di toko Willis karena harus belajar dan merapikan semua buku baru, Leary sangat ingin pulang ke rumah dan makan susu hangat, tapi entah mengapa semakin hari dia mengharapkan sesuatu yang sederhana, semuanya menjadi semakin sulit. “Sepatuku ke mana?” tanya Leary dengan satu kaki kanan terangkat. “Makananku!” Leary terperanjat, anak itu melepaskan jas hujannya dan berlari di selokan, berlari mengambil satu sepatunya yang terlepas kini hanyut bersama dengan kantong makanan pemberian Willis. Kondisi air yang mengalir cukup deras membuat Leary terseok-seok berusaha menjangkau sepatu dan kantong makanannya. Leary hanya berhasil menyelamatkan kant
“Ada apa?” tanya Olivia pada Mesyan. Mesyan menutup pintu rumah Olivia dengan rapat, pria itu memberi isyarat jika dia akan menceritakannya sambil duduk dan tidak berisik. Mesyan melepaskan tudung pakaiannya, pria itu beberapa kali kedapatan tengah mengatur napas seperti sedang mempersiapkna suatu hal yang sulit untuk diungkapkan. Tatapan tajam Mesyan bergerak menelisik, pria itu terlihat terkejut karena kini Olivia sudah sangat berbeda dengan Olivia yang dia temui terakhir kali di malam itu. “Mesyan,” panggil Olivia menyentak keterdiaman Mesyan. Mesyan membuang napasnya dengan berat. “Aish koma setelah mendapat serangan dalam perjalanan ke Neydish, surat yang kau buat telah direbut dan diteliti oleh Thomas dan Jason Giedon. Karena hal itulah aku datang padamu malam ini.” Pupil mata Olivia bergetar, wanita itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar kabar jika Aish yang beberapa hari lalu terlibat percakapan kini keadaanya sangat memprihatinkan. “Apa semua yang ter
Pagi-pagi sekali Leary sudah datang ke toko dengan membawa resep obat Olivia, anak itu sangat berharap jika Willis datang hari ini karena daia ingin meminta bantuannya. Benar saja, ketika Leary mengepel lantai, Willis datang pagi-pagi, namun kali ini wanita itu terlihat berantakan dan bau alcohol. Sejak sore hingga pagi buta dia pergi berpesta dan ikut berjudi, berkat tokonya yang lumayan laku dan Delano yang tidak menerornya selama dua bulan lebih ini, Willis menjadi lebih lengah dan mulai menjadi kecanduan berjudi lagi. Malam ini dia kehilangan cukup banyak uang, karena itulah dia terlihat sumraut karena modal untuk membeli buku sudah habis. Willis langsung duduk di kursinya dan meletakan roti di atas meja untuk Leary. Leary menyelesaikan pekerjaannya sebelum menemui Willis. “Bibi,” panggil Leary seraya membawa kantung besar yang dia bawa dari rumah. Kening Willis mengerut samar, wanita itu memperhatikan Leary yang mengeluarkan beberapa resep obat dan dan tabung oksigen yang
Matahari sudah mulai menurun ke arah barat, hari ini sudah ada tiga pembeli buku yang datang. Leary tengah menikmati makan siangnya dengan memakan roti pemberian Willis. Suara langkah seseorang terdengar, seorang pria masuk ke dalam toko, pria paruh baya itu melihat ke sekitar dan berakhir melihat Leary. “Di mana Willis?” tanya pria asing itu. Leary segera beranjak dan mengusap bibirnya dan ditempeli remahan roti kering. “Bibi Willis sedang pergi, ada yang bisa saya bantu, Paman?” Sejenak pria asing itu terdiam, namun matanya yang berwarna brown itu bergerak memperhatikan Leary dari atas sampai bawah. “Kau siapanya Willis? Aku baru pertama kali melihatmu.” “Saya saudara bibi Willis,” jawab Leary polos. Pria asing itu tersenyum menyeringai, langkahnya yang pelan secara perlahan mendekat dan menjangkau Leary, lalu mengusap kepalanya. “Kau lebih cantik dari Willis.” “Anda mau membeli buku apa? Saya bisa membantu.” “Aku tidak mau membeli buku, tapi ingin bertemu Willis,” jawabnya