"Pak!" panggil Najwa lirih.
Pak Kuswan menepuk punggung tangan anaknya, mencoba menenangkan. Gadis itu duduk bergeser ke samping bapaknya dan tidur dengan menggenggam tangannya erat, takut jika ditinggal sendirian.
****
Hari ini, Najwa enggan keluar dari rumah. Memilih menghabiskan waktu bersama Emak dan mereka pun tidak dapat melarangnya. Ada beberapa tetangga datang untuk berkunjung, bertanya keadaan Najwa dan mempertanyakan apa yang dilihatnya, benar atau tidak.
"Kamu enggak bohong, 'kan Wa?" tanya ibu-ibu yang berkunjung, Najwa menggelengkan kepalanya.
"Bukan karena kamu ingin dibilang baik, karena enggak bisa ngasih tau Wulandari. Sampai teman kamu itu mati!"
Jleb.
Najwa mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya, hanya bisa diam. Sedangkan Mak Darmani tidak mau membalas, karena mereka memang biang gosip di desa.
"Maaf, ibu-ibu. Najwa biar istirahat dulu, baru minum obat. Untuk apa yang dilihatnya, enggak mungkin dia mengada-ngada!" Akhirnya, Mak Darmani kesal mendengar pertanyaan yang enggak ada hentinya.
Dengan kesal para ibu-ibu itu pulang dengan menyindir, tanpa peduli perasaan tuan rumah. Emak Darmani dan Najwa bernapas lega, setelah mereka semua pergi.
****
Malam menjelang, Bapak Kuswan dan kedua adik Najwa yang lain sudah fokus di depan televisi. Ada acara Opera Van Java kesayangan mereka, acara yang bikin perut keram karena tingkah para pemainnya. Najwa hanya diam di dalam kamar, enggan berbaur bersama mereka. Memilih membuka buku pelajaran sekolah.
"Ratih, Surya, ini sudah malam." Pak Kuswan menegur anaknya yang masih asik nonton. "Najwa, sudah malam! Tidur!" tambahnya mengingatkan anak-anaknya.
"Iya, Pak." Sahut Ratih dan Surya. Akan tetapi Najwa tidak menjawab.
Malam semakin larut, mata Najwa belum mengantuk juga. Masih terbayang tawa melengking dan wajah Wulandari yang menyeringai. Sosok itu masih teringat jelas di ingatanku. Apalagi nada suaranya saat menyanyi lagu nina bobo sambil menepuk-nepuk sesuatu di gendongannya.
"Iiih," Najwa bergidik ngeri.
Apa mungkin itu adalah bayi dalam kandungan Wulandari yang ikut meninggal? Tapi bagaimana mungkin sudah terlihat sebesar bayi yang besar? Najwa ingat betul saat Surya, adik laki-lakinya yang baru lahir dulu, dia sangat kecil. Tidak banyak bergerak, hanya tidur saja kerjanya.
"Emak, temani Najwa tidur malam ini, ya?" Dengan nada merengek, Najwa memasang wajah memelas.
Mak Darmani menatap Najwa dengan iba, lalu menyelimuti tubuh anaknya dengan sarung hingga ke dada," ndak ada apa-apa Najwa, jangan takut!" Emak Darmani mengelus-elus rambut di kepala anaknya.
"Najwa, 'kan sudah besar? Sebentar lagi juga mau masuk SMP!"
"Tapi Najwa, takut, Mak!"
Najwa meraih jemari Emaknya, menahannya agar tidak pergi. Memasang muka lebih memelas agar ia kasihan dan menemani Najwa melewati malam.
"Emak panggilkan Ratih, ya, biasanya juga berani tidur berdua? Setelah ini Emak panggilkan Ratih," kata Emak padaku.
"Ya, Mak." Najwa mengangguk menyetujui, pikirnya yang penting ada teman. Najwa tidak berani jika harus sendirian di dalam kamar malam ini.
Emak Darmani berlalu menuju pintu keluar kamar.
"Jangan dimatikan, Mak, lampunya!" Pekik Najwa saat melihat Emak Darmani akan menyentuh saklar lampu.
Mak Darmani berhenti dan menoleh pada anaknya."Biasanya Najwa, gak bisa tidur kalau lampu menyala?" ujar Emak pada Najwa.
Gadis itu menggelengkan kepala, "jangan!"
Kemudian Mak Darmani berlalu dari kamar, dia menutup pintu kamar perlahan.
"Biarlah untuk hari ini aku tidur dengan lampu menyala saja, daripada tidur dalam gelap dan ketakutan. Takut jika tiba-tiba arwah Mbak Wulandari menampakkan diri lagi!" Najwa berguman namun, bulu halus di tangannya sudah meremang.
Tok … tok … tok.
Terdengar pintu kamar berbunyi. Seperti diketuk dari luar, pasti itu Ratih, pikir Najwa
"Ratih …," panggil Najwa dengan nada sedikit bergetar, mencoba memastikan siapa yang mengetuk. Namun hening, tidak ada jawaban. Pintu itu masih tertutup, tidak bergerak.
Kembali suasana yang sama seperti tadi sore saat berada di samping rumah Wulandari. Ada hawa panas dan dingin hadir bersamaan di sekujur tubuh gadis remaja itu.
"Ya Tuhan, apa lagi ini? Jangan-jangan itu arwah Mbak Wulandari yang kembali datang untuk menggangguku?" ocehnya.
Tok … tok … tok.
Pintu diketuk lagi. Jika itu Ratih, dia sukses untuk menakuti Najwa."Ratih, jangan bercanda, ah!" ujar Najwa kesal.
Dan lagi-lagi tidak ada jawaban.
Najwa bergidik ngeri, lebih menaikkan sarung ke kepala. Hingga tak terlihat lagi suasana kamar. Lampu masih menyala, dia masih bisa mengamati keadaan kamar, dibalik sarung tipis yang menutupi kepalanya.
Dok … dok … dok!
Najwa terloncat, kali ini pintu terdengar diketuk dengan lebih keras dan cepat. Detak jantung Najwa ikut seirama dengan ketukan itu. Was-was, matanya menatap arah pintu sedari tadi. Apa? Siapa yang akan memasuki pintu itu.
Di bawah sarung tipis keringat wajah Najwa menetes terus. Entah karena cuaca yang panas atau karena dia benar-benar ketakutan sekarang ini.
"Emak, tolong Najwa, Mak!"
"Ya, Tuhan, tolong Najwa!"
Mulutnya kembali meracau, memanggil Emak Darmani dan Tuhannya. Berharap salah satunya datang menolong untuk kali ini.
Najwa mengamati pintu kamar dengan seksama, kemudian pintu itu sedikit terbuka, hanya sejengkal tangan lebarnya. Bulu halus kembali meremang bersama detak jantung yang semakin cepat.
"Ratih! Jangan main-main." bentak Najwa.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka lebih lebar, tanpa ada seseorang yang berdiri atau masuk melewatinya. Angin dingin masuk ke dalam kamar menerpa wajahnya yang mulai pias.
"Siapa!" teriak Najwa namun tidak ada balasan.
Gadis itu mengusap bulu halus di belakang tengkuk. Sepi, seakan-akan hanya Najwa sendiri di dalam rumah ini. Tak terdengar suara gelak tawa Emak, Bapak juga adik-adiknya seperti biasanya dari arah ruang televisi.
"Ke mana semua orang!" gumamnya lirih.
Najwa kembali berbaring di atas ranjang, sambil terus menatap pintu kayu yang mulai usang itu dari balik sarung. Pintu terbuka makin lebar seukuran orang dewasa, tanpa ada seseorang yang melewatinya.
Beringsut perlahan, Najwa menggeser posisi duduk bersandar pada dinding kamar. Masih dengan menutup wajah di balik sarung.
"Si--siapa! Ke-kenapa menggangguku!"
Terlihat sesuatu, merangkak dengan cepat. Kemudian bayangan itu berkelebat, sebentar di dekat pintu. Sejurus kemudian di samping ranjang. Apa itu?
Najwa beranikan diri membuka sarung yang menutupi wajah. Sekelebatan bayangan itu merangkak, berpindah-pindah tempat dengan cepat.
"Aa-apa itu!" Mata Najwa membulat tidak percaya.
Tiba-tiba matanya menatap jemari tangan kecil yang terulur dari samping ranjang, mendekat, seakan-akan ingin meraih kakiku. Tangan yang terulur tanpa terlihat badannya.
Jantungnya berdegup kencang. Ingin rasanya menarik kaki. Namun berat, semua anggota tubuh tak dapat digerakkan lagi. 'Najwa takut, Ya Allah!'
'Tolong!"
'Tolong, Najwa!"
Tangan kecil itu hampir menyentuh kaki. Mata Najwa makin terbelalak lebar, beberapa kali menggelengkan kepala. Tidak, jangan mendekat. Dingin, sentuhan tangan kecil itu kurasakan dingin.
"Mbak Najwa!"
Panggilan suara itu seperti tepat di telinga Najwa. Seseorang memanggil Najwa dengan suara yang keras. Tiba-tiba tangan yang menyentuh kaki Najwa hilang, entah pergi kemana.
"Ra--Ratih … to-tolong, Mbak!" Terbata Najwa berkata.
"Mbak, kenapa? Emak, Bapak!" Adiknya berteriak memanggil Emak dan Bapaknya beberapa kali.
"Emak …."
Beberapa menit kemudian, Emak datang tergopoh. "Kamu kenapa, Najwa?" Diguncang-guncangnya tubuh anaknya, lalu ditidurkan kembali.
***
Keesokan paginya tubuh Najwa terasa panas, juga lemas. Emak Darmani membuatkan surat izin tidak mengikuti pelajaran untuk diberikan pada guru di sekolah. Ratih yang menyerahkannya pada teman sekelasnya.
"Ini pasti, ada yang ndak bener ini! Kenapa Arwah Wulandari sama jabang bayinya selalu menampakkan diri sama kamu, Najwa?"
Najwa menggeleng,"Najwa juga, ndak tau, Mak!" katanya dengan suara bergetar.
"Coba ingat-ingat pada hari kematian Wulandari, apa kamu melihat sesuatu? Atau ada sesuatu yang berkaitan dengan mereka?" Mak Darmani menginterogasi anaknya. Mencoba mencari tahu akar masalah dari gangguan-gangguan arwah Wulandari.
"Ah, Emak! Kepala, Najwa masih pusing rasanya buat inget-inget!" Najwa meremas rambut di kepala. Semalam saja hampir mati ketakutan rasanya. Tiba-tiba melihat penampakan tangan kecil tanpa tubuh.
Setelah itu, Najwa ketakutan membuat matanya selalu terjaga, tidak berani menutup mata. Akhirnya, berpindah tidur di kamar Emaknya. Jadilah semalam mereka tidur berempat dalam satu kamar. Ada Najwa, Emak, Ratih dan Surya. Sementara Bapaknya memilih tidur di kursi depan televisi.
"Diminum obatnya Najwa," perintah Emak Darmani. Wanita bertubuh gemuk itu menyodorkan sebotol sirup obat panas. Selepas kejadian tangan yang menyentuh kakinya semalam. Tubuh Najwa panas dingin, mungkin dia hanya kaget atau memang sedang dalam kondisi yang tidak baik sehingga langsung demam.
Dengan patuh Najwa membuka botol lalu menuangkan sesendok cairan berwarna merah muda pada sendok takar putih itu dan menelannya hingga habis.
"Jangan-jangan kamu ini kena sawan, Najwa?" kata Mak Darmani, matanya terus menatap wajah anak pertamanya dengan pandangan yang tidak bisa di artikan.
"Sawan?"Najwa mengerutkan alis, benarkah sawan itu ada? Ah, emaknya hanya terlalu serius menanggapi kemunculan arwah Wulandari."Sawan, 'kan hanya pada bayi atau anak kecil?" lirih Najwa bergumam sendiri. Sering dia mendengar jika anak bayi tetangga menangis terus tak berhenti dan badannya terasa panas, si Ibu mengatakan anaknya kena sawan.Setelah penampakan arwah Wulandari yang pertama kali, malamnya tubuh Najwa juga langsung panas. Padahal sebelumnya dia tidak sakit apa-apa. Apa itu termasuk sawan?Benar juga, sudah dua kali ini mereka mengganggu. Pertama penampakan Wulandari, kedua entah benar atau tidak bayinya yang menjahili Najwa. Walaupun tidak menampakkan diri secara langsung. Hanya sekelebatan bayangan bayi yang tangannya menyentuh kaki Najwa, semua itu membuat mata tidak bisa terpejam, apalagi untuk tertidur dengan pulas.Najwa memejamkan mata berusaha mengingat-ingat lagi apa saja yang telah terjadi. Adakah kaitan kematian
"Kesurupan, Pak?" tanya Mak Darmani. Najwa dan Emaknya memperhatikan wajah Pak Kuswan dengan seksama menunggunya melanjutkan cerita."Iya, tadi setelah Pak Haji Ramli membuka acara tahlil. Baru beberapa ayat yasin dilantunkan, si Ardi kerasukan." Pak Kuswan duduk di kursi, memulai cerita."Ardi, yang anaknya Pak Munir itu, Pak?" sela Mak Darmani memotong perkataan suaminya, yang ditanya mengangguk membenarkan kata-kata istrinya."Najwa sering melihat Mas Ardi membonceng Mbak Wulandari, kalo mau berangkat sekolah," lontar Najwa. Semua tahu selain tetangga dekat, Wulandari dan Ardy juga teman sepermainan. Mungkin Karena sekolah mereka sama-sama di kota jadi Ardi mengantarkannya sekalian."Jangan-jangan Pak, ada sesuatu di antara mereka?" terka Mak Darmani."Mungkin aja arwah Wulandari memang sengaja memilih Ardi untuk dimasukinya, untuk menunjukkan sesuatu?" duga Mak Darmani lagi.Najwa mendengarkan percakapan mereka dengan seksama, mencoba berkonsent
Seketika tubuh Najwa menegang, matanya membulat, dahinya berkeringat, dan suaranya tercekat.Arwah Wulandari menatap tajam ke arah Najwa dengan seringainya yang membuat hati gadis itu bergetar hebat. Kedua arwah itu mendekat ke Najwa dan melewatinya begitu saja. Namun, lirikan Wulandari mampu membuat lutut Najwa lemas tidak bertenaga dan tubuhnya luruh ke lantai."Maaak!" teriak Najwa ketika suasana kembali ke semula.Mak Darmani datang dengan tergopoh-gopoh, lalu mendekati Najwa yang diam kaku di lantai. Disentuhnya dahi anak sulungnya, dan beralih ke kaki Najwa yang sangat dingin. Mak Darmani memanggil suaminya, untuk mengangkat tubuh anaknya ke dipan. Dipandangi wajah pucat pasi Najwa, lalu Mak Darmani memegang kaki anaknya."Pak, Najwa kenapa lagi, yo?" tanyanya sembari memijat kaki Najwa, berharap remaja itu segera tersadar."Iki (ini) malam Jumat, apa Wulandari nongol lagi, yo Mak?" Pak Kuswan malah balik bertany
Pak Kuswan mencoba menghapus jejak itu, bukannya hilang jejak itu malah makin banyak bertebaran di dinding.Suasana semakin mencekam, terdengar suara rintihan dari kamar Najwa. Membuat Pak Kuswan dan Mbok Darmani bergegas ke kamar anak sulungnya, Ratih pun mengikuti langkah kedua orang tuanya."Kami tidak mengganggu kalian, jangan ganggu kami!" ujar Pak Kuswan.Semua menatap ke arah Najwa yang berbaring namun, wajahnya berubah sangar dan menakutkan."Wulan?" tanya Mbok Darmani lirih.Kepala Najwa melihat ke arah orang-orang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat rona kebencian di matanya, seakan-akan itu bukanlah Najwa."Wu--wulan?" Suara Pak Kuswan bergetar.Mata Najwa melotot sempurna, menandakan amarah yang siap meledak. Tubuh Najwa yang tadinya berbaring, kini sudah duduk kaku di tepi ranjang dengan tatapan nyalang.Mbok Darmani mencoba mendekati anaknya itu namun, Najw
Setelah berbicara, tubuh Najwa lunglai tidak berdaya. Lalu, tawa histeris terdengar dari bibirnya. Beberapa tetangga mulai bermunculan, karena mendengar suara gaduh di rumah Mak Darmani. Pak Kuswan hanya bisa menatap anaknya miris tanpa bisa berbuat banyak. Seorang tetangga menepuk pundaknya, "Kita ruqyah saja," saran sang tetangga. Entah mengapa di situasi seperti ini, Pak Kuswan tidak berpikir jernih. Dia seakan-akan lupa, ilmu agama yang dia punya. Suara orang mengaji semakin banyak dan rumah pun terlihat adem. Namun, tidak dengan Najwa. Dia meronta-ronta. Bahkan ingin mencekik orang yang ada disekitarnya. "Nduk, eling... Eling!" Mak Darmani mengguncang tubuh anaknya. "Iya, pak. Sampai lupa!" ucapnya. Pak Kuswan langsung berlalu, mengambil air wudhu dan kembali lagi ke kamar Najwa. Mengambil kitab Alquran dan membaca pelan, penuh penghayatan. "Ayo, kita juga," sahut yang lain
Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita renta yang ingin membantu, sedikit gentar. Namun, dia cekatan mengelilingi Najwa dengan garam yang diambilkan oleh Mak Darmani."Kalian teruskan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, agar bisa mengusir setan-setan yang menyerupai almarhumah." Suara teriakan terpaksa di gemakan oleh wanita renta yang biasa mereka panggil Mak Yus.Namun, pandangan mereka kini kembali
Semua mata menuju ke asal suara, dan nampak seorang lelaki gagah dan tampan masuk ke dalam bersama beberapa ajudannya. Usianya sudah tidak lagi muda dan . Dia adalah kades di desa itu, sudah lama menjabat dan belum tergantikan atau tidak bisa digantikan. Begitulah kata para penduduk di sana."Ma-maaf, Pak Kades." Salah satu orang yang ada di sana menjawab.Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita rent
Pak Irwanto menatap Ardi, dia sedikit memundurkan tubuhnya. Dia ingat siapa lelaki ini, dan juga mulai mengingat siapa Wulandari. Namun, Pak Irwanto bersikap senetral mungkin agar tidak terlihat gugup."Kamu habis mandi?" tanya Pak Irwanto."Ma--maaf, Pak Kades. Saya tadi sedang berjalan di dekat blumbang (kolam ikan), untuk memberi pakan. Tiba-tiba, suara air ber gemericik di sudut blumbang sebelah timur. Saat saya lihat ada wanita yang sedang main air, dan ternyata ...." Ardi diam untuk mengatur napasnya.Tiba-tiba, suara orang jatuh atau benda berukuran besar sangat kentara, di telinga semua orang yang ada di depan rumah Najwa."Apa itu!" tunjuk salah satu tetangga.Cahaya putih berkelebatan, dari belakang pohon yang berukuran besar dan rindang. Lalu, sinar terang berada di atas mobil Pak Irwanto yang sedang melaju ke rumah Bu Bidan.Semua mata hanya menatap, tanpa bisa berbuat apa-apa
Malam cukup panjang untuk dilewati begitu saja, Pak Kuswan dan Mak Darmani hanya bisa berpasrah diri. Tidak henti-hentinya berdoa dan berzikir agar terlindung dari kejahatan manusia juga makhluk tuhan yang lainnya.***Pagi sudah menyapa dan keluarga Pak Kuswan memulai aktivitas seperti biasanya. Hanya saja, ada kelhawatiran yang tidak bisa mereka ungkapkan satu dengan lainnya."Pak, kapan mau jemput anakmu? Enggak enak lama-lama di rumah orang meskipun saudara sendiri! Sejak Najwa sakit, loh," Mak Darmani mengingatkan.Pak Kuswan paham maksud istrinya, dan dia mulai mencari cara agar orang tahunya dia menjemput anak bungsunya, bukan melihat Najwa. Maka dia mendatangi tetangganya yang biasa dia mintai tolong untuk menjaga sawahnya dan dia menceritakan akan menjemput anaknya bungsunya, takut merepotkan adiknya. Tidak butuh waktu seharian, berita pun tersebar dengan cepat.Mak Darmani mempersiapkan bekal selama perjalanan, agar tidak jajan sembaranga
Pak Kuswan mendekati Ardi dan mempertajam pendengarannya. Suara Ardi terdengar lirih, sehingga Pak Kuswan tidak terlalu mendengar."Apa, Di?" tanya Pak Kuswan."Wu-Wulandari mati karena," Tiba-tiba napas Ardi tersengal-sengal, menahan rasa sakit di dadanya."Lebih baik kamu saya antar pulang, Di! Jika tidak, akan membahayakan semua," Keputusan Pak Kuswan sudah bulat.Pak Kuswan merasa, Ardi dan Najwa adalah saksi kunci dari kematian Wulandari dan anaknya. Tapi, dia pun tidak bisa merawat Ardi seperti ini, karena akan menimbulkan fitnah.Mak Darmani menyetujui perkataan suaminya, takut jika ada sesuatu yang terjadi. Maka, Mak Darmani memberikan obat balur untuk luka yang sedang di derita oleh Ardi, seelum diantar pulang.Langkah Ardi terseok-seok, ketika dipapah oleh Pak Kuswan menuju rumahnya. Pak Kuswan meminta Ardi duduk sejenak, ketika sampai di depan rumahnya untuk mengetuk pintu dan memanggil Mak Rominah. Cukup lama menunggu, Mak Romina
Mak Darmani diam dan ikut melantunkan doa, dia tahu, jika itu bukan ular biasa. Ada mahkota kecil dikepalanya jika memperhatikan dengan seksama. Pak Kuswan saja tidak melihatnya, karena terlalu sibuk memikirkan ada apa dengan semua yang terjadi dan apa hubungannya dengan keluarganya. Dia tidak tahu, saat ini sedang dilindungi oleh ular jelmaan yang pernah ditolong oleh Mak Darmani di masa lalu. Suara kikikan bercampur ratapan terdengar menyayat hati, Pak Kuswan dan Mak darmani saling memandang tau suara apa itu. Ular yang tadinya melata mendekat, kemudian membuka mulutnya lear-lebar dan terlihat sesuatu yang aneh. "Ardi!" pekik Mak Darmani. Perlahan, tubuh Ardi keluar dari mulut ular itu. Tidak ada gerakan, seperti mayat. Mak Darmani tidak berani mendekat, dia diam pada posisinya. begitupula Pak Kuswan. Mereka tidak menyangka, jika ular itu akan memuntahkan tubuh Ardi yang telah dilahapnya beberapa jam tadi. "Wulan," suara lirih terdengar dari
Mak Darmani tidak kunjung datan, meskipun Pak Kuswan sudah selesai berzikir. Pak Kuswan memanggil istrinya untuk kedua kalinya, tapi tidak ada sahutan dari luar kamar. Tidak lama, Al-quran disodorkan pada Pak Kuswan oleh Mak Darmani yang tidak mengucapkan satu patah kata pun yang terlontar. Pak Kuswan dengan khusyuk membaca kitabullah, perlahan hingga larut malam. Bulu kuduknya terus meremang dan makin membuatnya tidak nyaman. Setelah menyelesaikan dua surah, Pak Kuswan menutup Al-quran dan membereskan tempatnya salat. 'Wes turu, to!' gumam Pak Kuswan ketika melihat anak dan istrinya terlelap. Namun, hal itu malah membuat Pak Kuswan curiga, kemudian dia melihat ular yang ada di kamar Najwa. Takut jika menghilang dan mengganggu orang lain, bahkan memakannya seperti yang dilakukan terhadap Ardi. 'Opo sing mesti tak lakuke sakiki! Soyo sui, soyo merajalela!' gumam Pak Kuswan. 'Apa yang harus dilakukan sekarang! Semakin lama, semakin merajalela!'
Pak Kuswan bergegas masuk ke dalam rumah dan melihat apa yan terjadi. Belum hilang rasa keterkejutannya melihat Ardi dilahap oleh ular, kini dia melihat ular itu melingkar di atas tempat tidur anaknya."Kapan ulone nang kono!" tanya Pak Kuswan."Kapan ularnya ada di sana?""Bapak mekik nyeluk Ardi, aku arep metu ndelok. Negelewati kamar Najwa lah kok ono ulo sak gede ngono!" tutur Mak Darmani."Bapak teriak manggil ardi, aku mau keluar untuk melihat. Melewati kamar Najwa, lah kok ada ular sebesar itu!"Pak Kuswan mengambil aram dan segelas air, lalu dibacakan surah-surah al-quran. Kemudian di siramkan ke tubuh ular namun, binatang melata itu hanya mengeliat kemudia melingkarkan tuuhnya lagi."Ulo kui, bar mangan Ardi. Dadi de
Pak Kuswan seprtinya ketakutan, apalagi baru saja Pak Irwanto mengancamnya dengan halus. Ardi memperhatikan gelagat aneh itu dan dia hanya mengatakan jika dirinya sering mendapatkan ancaman dari orang yang tidak diketahui, untuk menutup mulutnya. ardi sempat ingin mencari tahu kenapa Wulandari memutuskan untuk bunuh diri.Suara tawa dan tangisan menyatu, membuat orang yang mendengarnya bergidik. Ditambah dengan hawa dingin yang menusuk dan suasana yang terasa mencekam."Sebaiknya, kamu simpan pemikiranmu untuk saat ini! Karena tidak akan berbuah baik untukmu dan keluargamu!" pesan Pak Kuswan.Ardi tahu, jika Pak Kuswan sedang menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi, dia tidak berani bertanya. Ardi berpikiran jika Pak Kuswan sedang merasa terancam seperti dirinya kemarin, terlebih Ardi menyadari jika Najwa tidak ada di klinik. Dia menyambangi klinik setelah kejadian yang dilakukan oleh Pak Kuswan, dan benar saja perkiraan ardi. Najwa tidak ada di klinik itu dan suasa
Semua makin menjauhi Pak Tris yang sedang merasakan sakit luar biasa, jika tidak pernah mengalami kejadian aneh maka hal ini kejadian yang mustahil."Ada apa ini?" tanya Pak Irwanto dari mobilnya, tidak ada yang menyadari kedatangan orang nomor satu di desa itu.Satu persatu mereka menceritakan awal mula kejadian yang dialami oleh Pak Tris. Sebagian ada yang merinding, dan sebagian berbisik. Warga makin banyak yang datang karena suara Pak Tris yang mengundang rasa penasaran. Sedangkan Pak Kuswan hanya mendengarkan secara seksama."Ini karena kematian Wulandari, desa ini jadi tidak tenang! Dia yang berbuat dosa, kita semua yang merasakan akibatnya!" seorang warga mengamuk tiba-tiba."Iya betul, dia yang zina kita yang kebagian dosanya. Setelah mati, kita pula yang diterornya!" sahut yang lainnya."Keluarga Mbok Sri yang harusnya bertanggung jawab!" tambah yang lainnya.Suara sumbang makin jelas terdengar, Pak Irwanto bak pahlawan kesiangan. D
"Tapi, Pak. kok, seram suara teriakannya!" ujar Mak Darmani, "Itu suara laki-laki loh, Pak!" Mak Darmani mengingatkan. "Kalau ada apa-apa dengan bapak, kalian pergi dari desa ii dan gunakan uang yang ada untuk berusaha!" pesan Pak Kuswan. Ratih langsung menangis, dia merasa takut kehilangan lagi. Adiknya ikut pamannya, ketika mereka sibuk mengurus Najwa, lalu Najwa ikut menghilang, ditambah bapaknya berkata seperti itu. "Ora bakalan enek opo-opo! Ojo mikirin sing aneh-aneh!" ujar Pak Kuswan, mencoba menenangkan anak dan istrinya. "Enggak bakalan ada apa-apa! Jangan mikir yang aneh-aneh!" Mak Darmani mengelus punggung anaknya, dia pun tidak menyangka jika akan ada kejadian seperti ini. Mencoba berbaik sangka, akan tetapi tetap saja tidak bisa. Kini, banyak orang yang mereka curigai sebagai penyebab kematian Wulandari, dan berharap menemukan penyebabnya dengan cepat. Ingin kembali hidup normal seperti biasanya. "Weslah, Mak, Tih. Bapak l
Pak Kuswan dan istrinya paham sekarang, apa yang diinginkan Pak Irwanto. Sebenarnya mereka pun sudah menutup mulut mereka sejak keluar dari rumah itu. Enggan ikut campur urusan orang lain. Dengan cepat, Pak Kuswan menolak pemberian dri Pak Irwanto yang setengah memaksanya, Pak Kuswan beralasan, memang tidak mau ikut arisan karena jauh dan harus mengeluarkan uang lebih jika mereka menjadi tuan rumah. Pak uswan berjanji, tidak akan memberitahu siapapun tentang kejadian di rumahnya. Namun, Pak Irwanto tetap memberikan amplop itu untuk Pak Kuswan, kali ini alasannya untuk Najwa berobat. Akhirnya, Pak Kuswan mau menerima uang itu, tanpa memberitahu bahwa Najwa diculik dan telah selamat. Pak Irwanto langsung pergi ketika sudah yakin, jika sepasang suami istri itu akan bungkam. "Bapak kenapa enggak minta bantuan Pak Kades?" tanya Mak Darmani dan diamini oleh Ratih yang sejak tadi hanya diam saja. "Hal seperti ini tidak bisa dibicarakan pada sembarang orang!" tegas P