PEMB4LUT SUAMIKU (7)
Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius.
Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.
Astaga! Mira dan Danu?
Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang.
Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku.
Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya.
Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu.
Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung. Pastilah di dalamnya gelap dan tak ada jalan.
Jika memang dia tidak berniat jahat, kenapa tidak melewati jalan yang sudah disediakan untuk ke ladang?
"Mira ... Danu ...," teriakku sembari memasuki rumah.
Namun, tidak ada sahutan dari mereka. Buru-buru aku ke arah dapur, aku bernapas lega. Rupanya mereka tengah membersihkan siput yang sudah mereka dapat.
Mereka sangat suka gulai siput sawah. Aku sering mengajaknya mencari siput jika uang belanja mulai menipis, untuk menghemat. Karena tidak tiap hari aku bekerja. Itu kenapa mereka sudah pandai mencari bahkan membersihkannya sendiri.
"Ibuk kenapa? Kok mukanya begitu?" tanya Mira yang memperhatikanku.
Mungkin dia melihat raut wajahku yang tegang dan cemas.
"Ehm, gak apa-apa. Kalian sudah lama balik?"
"Iya, Buk. Kami sudah mandi. Ibuk gak lupa kan pesanan Mira?"
"Cokelat pesanan Danu juga?" timpal Danu.
Aku tersenyum sembari mengeluarkan pesanan mereka dari kantung kresek.
"Mira ada lihat nenek-nenek tadi di kebun jagung waktu cari siput?" tanyaku. Barangkali mereka melihat.
"Nenek-nenek? Gak ada, Buk. Tapi aku lihat perempuan di sini waktu kita cari siput," ujar Mira yang membuatku terkejut.
"Perempuan? Perempuan siapa? Di sini di mana?" tanyaku bingung sekaligus penasaran.
"Gak tau. Soalnya aku lihatnya sekilas aja, Buk. Dia duduk-duduk di situ." Mira menunjuk bangku kayu yang berada di sebelah pintu dapur yang menjurus ke halaman belakang.
"Kamu yakin, Nak?" tanyaku berjongkok di hadapannya.
"Yakin, Buk. Mana mungkin aku salah lihat. Danu juga lihat kan tadi?" Mira menoleh pada Danu.
"Iya, Buk. Bibinya cantik. Kayak ibuk. Tapi pas kita samperin gak ada," timpal Danu.
Aku menelan ludah getir. Mereka tak mungkin berbohong. Jika pun Mira salah lihat, tentunya Danu tidak akan tahu tentang perempuan yang Mira maksud. Akan tetapi keduanya sama-sama tahu. Tetapi siapa perempuan itu? Apa yang mereka maksud nenek tua itu?
Tapi kalaupun iya, tidak mungkin Danu bilang perempuannya cantik sama sepertiku.
Ah! Kepalaku sungguh pening memikirkan ini.
"Siputnya sudah bersih? Kalian main di teras rumah, ya?" pintaku.
"Sebentar lagi, Buk!" sahut Mira.
Setelah beberapa saat, siput yang mereka bersihkan sudah beres. Aku menyimpannya di lemari kayu tempat menyimpan lauk. Nanti sore akan kumasak.
"Mira, nanti kalau dari jauh liat Bapak pulang, bilang Ibuk, ya. Biar Ibuk buatkan kopi. Sekarang Ibuk mau ke kamar dulu," pintaku pada Mira. Gadis kecil itu mengangguk.
Aku meminta mereka bermain di teras sengaja untuk mengawasi kedatangan Mas Darma. Rasa curiga dan penasaran sudah tak terbendung lagi. Untuk kali ini tak apalah aku melanggar larangan suamiku untuk menyentuh barang-barang miliknya.
Sejak awal aku memang sudah menaruh curiga. Mulai dari Mas Darma yang melarangku membuka tasnya bahkan melarang menyentuh celananya untuk dicuci jika tidak diperintah. Barang-barangnya pun masih berada di ranselnya meski sudah beberapa hari dia pulang.
Sebagai baktiku pada suami, aku menuruti ketika dia melarangku membuka tasnya. Kupikir Mas Darma masih tidak terbiasa barang-barangnya disentuh orang lain. Aku mewajari itu, hampir sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar Mas Darma hidup sendiri.
"Ya Tuhan ampuni aku karena membantah larangan suamiku kali ini," bisikku dalam hati.
Biarlah. Toh semua ini demi kebaikan keluargaku sendiri.
Dengan sedikit rasa bersalah, aku membuka resleting pertama yang rupanya berisi tumpukan pembalut kemarin. Buru-buru kututup, aku tidak tahan baunya. Bahkan baunya samar-samar sudah tersebar di seluruh kamar, tetapi aku baru menyadari ini kemarin. Anyir dan busuk.
Selanjutnya kuperiksa semua sisi ranselnya. Hanya ada baju dan celana Mas Darma. Tak ada sesuatu yang lain mencurigakan kecuali pembalut bekas pakai yang penuh dengan noda darah.
Namun, ketika membuka resleting terakhir yang paling kecil, aku menemukan sesuatu. Sebuah kotak berukuran kecil. Kotak yang terbuat dari kayu dipenuhi ukiran yang begitu detail. Cantik tetapi penuh misteri.
Penasaran, kubuka kotak tersebut. Aku terkejut ketika melihat cincin bermata biru yang kutemukan kemarin di lemari baju terpasang rapi di dalam kotak. Aku yakin itu cincin yang sama yang pernah kupakai.
Kurogoh kembali ke dalam tas, aku kembali menemukan sesuatu. Secarik kertas lusuh yang mulai berwarna kekuningan. Di pinggirannya mulai penuh dengan sobekan kecil.
Kubuka kertas tersebut, aku melongo tak mengerti dengan tulisan di dalamnya. Seperti kolom sebuah jadwal? Entahlah. Yang jelas tulisan itu tidak ditulis dengan bahasa indonesia dan pulpen biasa.
Melainkan tinta kecoklatan yang sudah mengering. Aromanya begitu amis.
Dari situ aku mulai sadar. Kertas ini ditulis dengan darah.
"Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma.
Gawat!
PEMB4LUT SUAMIKU (8) "Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma. Gawat! Buru-buru kulipat kembali kertas lusuh di tangan beserta kotak cincinnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Lalu mengembalikan ransel di posisi semula. Tepat saat aku hendak membuka pintu kamar, Mas Darma sudah berada tak jauh di depan kelambu. "Kenapa kamu?" tanya Mas Darma memandangku aneh. "Enggak, Mas. Gak apa-apa," sahutku berusaha tenang. Aku tidak boleh menampakkan raut wajah tegang di depannya. "Makan dulu, Mas?" tawarku. "Boleh." Aku berjalan ke dapur, menyiapkan makan dan membuat kopi. Sementara Mas Darma masuk ke kamar. Tak bisa dipungkiri jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku khawatir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan lupa kumasukkan. Semoga saja tidak. "Mas, bagaimana apa tadi ketemu sama Pak RT?" tanyaku sembari menemani
PEMB4LUT SUAMIKU (9)"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni."Mbah Marni ... Eem, dia itu ... anu, warga kampung sini juga, Mi," sahut Budhe gugup."Budhe kenal, kan? Kenapa nenek itu ngawasin rumah kami terus, Budhe? Terus kenapa Budhe tadi ketakutan?" tanyaku menggebu."Ya sudah, kami pamit dulu, Le. Sudah malam." Pakdhe bangkit dan berpamit, memotong pertanyaanku yang tak sempat dijawab oleh Budhe. Aku mendesah, mengiyakan pamit Pakdhe Bakri dengan terpaksa. Tak apalah, bisa kutanyakan lagi besok pada Budhe Yanti.Yang membuatku heran dan penasaran sebab meski bertahun-tahun tinggal di kampung ini tak pernah mengenal sosok Mbah Marni. Bahkan namanya saja tidak. Kami mengantar Pakdhe dan Budhe ke depan. Mas Darma berjalan berada di belakang Budhe. Sementara aku berjalan di
PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan
PEMB4LUT SUAMIKU (12) Ya, Tuhan, Mas Darma! Tidak, tidak mungkin dia melakukan itu. Mungkin Mira hanya mimpi atau berhalusinasi saking takutnya sama Bapaknya. "S-sekarang, A-aku keluar da-darah, Buk ...." Aku mendelik mendengar perkataan Mira. Jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat, lalu berpacu dengan dua kali lipat lebih hebat. Tubuhku panas dingin. Gemetar. "D-darah? Di mana, Nak?" tanyaku gagap dengan bibir gemetar. Mira masih di pelukanku. Tubuhnya berguncang karena Isak tangisan. "Di kem4luanku, Buk," sahut Mira. Tangisnya kian histeris. Mendengar itu, aku seolah tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan berat. "Astaghfirullahal adzim, Mira! Ya Tuhan," gumamku dalam hati. Aku tak berani mengutarakannya khawatir Mira makin menangis. Pikiranku berkecamuk. Tak mungkin kan Mas Darma sudah melakukan hal yang tak seharusnya dia perbuat pada putrinya sendiri? Tidak, tidak mungkin! Mas Darma bukan orang seperti itu. Jika memang benar Mas Darma melakukan hal buruk p
Lagian kenapa Mas Darma seolah begitu memaksa? Aku pun belum sepenuhnya percaya padanya. Terlebih mengingat perkataan Mira jika semalam Mas Darma sempat menciumi pahanya.Namun, aku tak berani menanyakan itu sekarang. Aku yakin Mas Darma tidak akan mengaku. Pasti nanti hanya akan menciptakan keributan. Biarlah kucari tahu semuanya sendiri. Aku melipat celana Danu, dan meletakkannya di lemari kamarnya. Anak-anak sudah tertidur pulas, terlihat dari dengkuran halusnya. Setelah itu aku pun masuk ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku seringkali merasa mual, karena aroma busuk dari ransel Mas Darma yang berisi pembalut bekas. Sepertinya dia belum membuang pembalut-pembalut itu. Aku sendiri tak berani membuangnya. Beruntungnya kamar ini memiliki jendela, tiap hari kubuka untuk mengusir aroma busuk tersebut. Namun ketika menjelang malam kututup, tak berani membuka jendela malam hari khawatir ada binatang berbahaya yang masuk, mengingat rumah kami berada di tengah ladang.
"M-mulutmu berdarah." Kuhampiri dia dan menyentuh bekas darah di sudut bibirnya. Khawatir Mas Darma terluka. Namun, aroma amis dan anyir tercium kuat ketika aku mendekat. Aku tertegun. Untuk meyakinkan, kuhidu darah di tangan, benar, tak salah lagi. Ini bukan darah biasa, melainkan darah haid!Aku perempuan. Aku hapal betul aroma darah haid dan darah luka. Jelas berbeda. Aku yakin ini darah haid. Huek!Seketika aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut. Aku tak tahan aroma amisnya. "Mas! D-darah apa itu di mulutmu? Dan dari mana kamu?!" todongku setelah kembali dari kamar mandi. Aku yakin kali ini Mas Darma tak bisa mengelak lagi. "Maksudmu apa, Laksmi? Aku terluka," sahut Mas Darma gugup. Dia merintih, tetapi kulihat dia hanya berpura-pura. Jelas aku perhatikan sorot matanya, tidak ada kejujuran di sana. "Bohong! Jangan pikir aku tidak tahu, Mas! Aku perempuan dan aku hapal bau darah haid. Yang di mulutmu itu darah haid perempuan, kan?" ujarku menggebu tanpa basa-ba
"Astaghfirullah!" pekikku terkejut melihat benda yang dipegang Danu. Cincin bermata biru milik Mas Darma. Kerongkonganku seolah mengering seketika. Susah payah aku meneguk ludah. Lidahku seakan kelu. Habislah sudah! "Kenapa, Buk? Cantik kan? Makanya aku suka," ujar Danu polos. Aku menatap Danu nanar. Jika menuruti logika, rasanya aku ingin marah dan membentaknya habis-habisan. Namun, aku kembali mengingat bahwa dia masih anak-anak. Dia juga tidak mengerti apa yang dialami orang tuanya. Tubuhku kaku, membayangkan bagaimana murkanya Mas Darma ketika tahu cincinnya kembali hilang. Belum selesai perkara ucapanku semalam, kini malah ditambah masalah cincin yang Danu ambil. "Danu! Kan sudah Ibuk bilang jangan sembarangan mengambil sesuatu kalau bukan milik kamu. Apalagi kalau sampai menyentuh barang-barang milik Bapak!" jelasku hati-hati. "Cincinnya nyala semalam, Buk. Aku gak ngambil dalam tas Bapak, aku lihat ini di depan lemari, aku pikir mainan yang Ibuk janjikan," bela Danu. Aku
Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin
Sampai di rumah, rupanya Pak Ustad dan beberapa orang masih ada di sana. Aku jadi tak enak hati, kasihan Pak Ustad menunggu lama.Mataku terfokus pada karung yang tergeletak di sebelah tangga. Hatiku berdenyut, aku ingat karung itu."Alhamdulillah kalian sudah pulang. Bagaimana keadaan Mira, Pak?" tanya Pak Ustad."Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Ustad.""Syukurlah. Jadi bagaimana keputusan Ibu dan Bapak? Tulang belulang Almarhum sudah diambil oleh bapak-bapak ini. Jika memang setuju, pukul sepuluh kita lakukan pemakaman dengan layak. Lebih cepat lebih baik." "Alhamdulillah, terima kasih, Pak Ustad. T-tapi, bagaimana dengan warga? Apa mereka setuju untuk dimakamkan di desa ini?" tanyaku ragu."InsyaAllah mereka tidak keberatan. Sudah kami bicarakan sebelumnya. Untuk salat jenazah, saya pribadi tidak bisa memaksakan mereka. Jika pun mereka tidak mau, tidak apa-apa. Siapa yang mau saja. Yang penting sudah kita perlakukan jenazah dengan baik dan sesuai anjuran." "Baik, Pak Ustad. Al
"IBUK! IBUK! MBAK MIRA, IBUK!" Penjelasan Pak Ustad sontak terpotong karena teriakan Danu yang begitu histeris.Dia menghambur memelukku sembari menangis. Napasnya terpenggal."IBUK, MBAK MIRA, IBUK .... CEPAT!" Astaghfirullah! Kenapa Danu sehisteris ini. Apa yang terjadi dengan Mira?Kasak-kusuk warga kembali terdengar. Namun, tanpa memedulikan itu aku langsung masuk ke rumah menghampiri Mira yang terbaring di kasur. "Astaghfirullah, Nak!" pekikku kaget melihat Mira dalam keadaan kejang parah. Suhu tubuhnya panas tinggi. Matanya terbuka dengan bola mata menghadap ke atas. "PAKDHE, BUDHE!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku tahu menangis bukan solusi. Namun, siapa yang tak khawatir melihat putrinya demikian. Aku khawatir sumpah serapah ibu-ibu barusan tentang karma Mas Darma menjadi kenyataan. "Ya Allah, Mira!" gumam Budhe tak kalah khawatir.Mira mengerang. Wajahnya pucat kemerahan. Aku begitu panik. Kami semua tidak bisa melakukan apa pun karena tidak
"LAKSMI! LAKSMII! KELUAR KAMU!" Pagi buta aku dikejutkan dengan teriakan warga. Apalagi ini? "LAKSMI CEPAT KELUAR ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU?!" Astaghfirullah! Mira terkesiap. Namun, matanya masih terpejam. Dia tidak mengeluh. Namun dari ekspresi wajahnya aku tahu dia kesakitan. Bagaimana tidak, kemarin tubuh Mira dihantam ke sana ke mari saat Nyai berusaha melepaskan diri dari cekalan Pakdhe. Dia juga menendangi barang-barang di dapur hingga berserakan. Tentulah tubuhnya terasa sakit dan ngilu. "LAKSMI JANGAN MENGHINDAR KAMU! KAMU HARUS KELUAR DARI DESA INI!" "USIR LAKSMI! USIR LAKSMI!" sorakan warga makin terdengar heboh. Aku gemetar. Danu pun sampai terbangun dan ketakutan. "Buk, itu kenapa, Buk?" tanyanya risau. "Biar Ibuk yang lihat keluar, ya. Danu di sini jagain Mbak Mira," pintaku. Aku menoleh pada Mira yang masih berbaring dengan mata terpejam. Dia meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Seperti kedinginan. Terpaksa aku harus membuka pintu, khawatir amarah
Tok tok tok!Deg! Siapa itu? Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini.Apa jangan-jangan Pakdhe?Setelah malam itu, saat Mas Darma datang padaku, aku menjadi begitu trauma. Aku khawatir kejadian yang sama akan terulang.Tok tok tok!Entah kenapa, detak jantungku makin berpacu dengan hebat seiring ketukan pintu yang terdengar."Assalamualaikum, Nduk. Ini Budhe."Seketika aku bernapas lega ketika mendengar ucapan salam dari luar sana. Rupanya benar, Pakdhe dan Budhe di depan. Ah, aku terlalu paranoid saat ini. Menjadi begitu penakut. Gegas aku membuka pintu. "Waalaikumussalam, Budhe," sahutku sembari membuka pintu."Ini, dimakan." Budhe menyodorkan rantang. "Budhe, aku mohon jangan repot-repot. Aku jadi gak enak. Budhe dan Pakdhe sudah mau membantu kami itu sudah sangat terima kasih," kataku tak enak hati. Kuletakkan rantang itu di meja bulat sudut ruangan. "Sudah sudah, itu namanya rezeki. Wong Budhe juga gak kerepotan kok," timpal Pakdhe. "Oh iya, di mana benda itu, Nduk? Kita bis
*Dia tidak terima dan ingin mengambil raga Mira sebagai tempat bersemayamnya. Rupanya ruh Nyai itu belum sepenuhnya pergi sebab ada barang miliknya yang tersisa. Yang jelas benda itu memiliki kesamaan dengan mahkota miliknya. Kita harus membakar benda itu sebelum dia berhasil merebut raga Mira. Karena jika sampai terlambat, maka ...." Pakdhe menggantung ucapannya."Maka apa, Pakdhe?" tanyaku tak sabar."Mira yang jadi korbannya, Nduk. Pakdhe tanya kepada Mbah Samun, kenapa makhluk itu begitu mengincar Mira. Katanya, mungkin Mira memiliki aura lebih yang membuat makhluk itu tertarik. Apa kamu ingat weton Mira?" Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat tanggal lahir Mira. "Kalau tidak salah, hari Selasa, Pakdhe. Tapi sebentar, aku lihat dulu. Aku ingat dulu Mas Darma pernah mencatat hari lahirnya di buku nikah kami."Aku beranjak. Membuka lemari dan mengambil tas kain yang berisi hal-hal penting milik kami. "Ini, Pakdhe." Aku menyerahkan buku nikah milikku. Ah, melihat itu aku jadi teri
Dia berdiri dengan tubuh telanjang tanpa busana. Kulitnya hitam legam berbau gosong. Sebagian terdapat luka-luka bakar di kulitnya. Busuk. Mulutnya penuh darah dan nanah. Aku tak tahan dengan aromanya. Busuk dan anyir. Lebih busuk dari bangkai."Laksmi ... tolong aku, Laksmi ....""A-aku menyesal. Tolong aku. Aku kegelapan, tidak ada cahaya di tempatku. Aku menyesal telah mengabdi pada Nyai. Tolong aku, Laksmi. Panas ...." Mas Darma merintih. Mas Darma terlihat begitu menyeramkan. Meski wajahnya sudah tidak berupa, aku bisa melihat Mas Darma meringis seolah menahan sakit. Bahkan semua rambutnya hangus terbakar menyisakan kulit kepala saja. Aku juga baru sadar bahwa perutnya terlihat besar dan buncit. "Aku mohon, Laksmi ... tolong aku."Aku memejamkan mata. Sejak tadi aku menahan napas karena aroma busuknya hingga merasa sesak. Aku ingin menutup pintu dengan kuat lalu berlari secepat kilat ke kamar. Namun, tubuhku seolah terpaku pada bumi hingga tak bisa digerakkan sama sekali. Tuha
Tiga hari setelah kejadian malam yang mencekam itu, hatiku masih sering gelisah. Aku sering menangis sendirian. Seolah yang terjadi waktu itu masih mimpi bagiku. Aku sungguh tak bisa memercayai ini. Mas Darma. Aku benar-benar sudah kehilangan sosoknya. Dia meninggal dalam keadaan tragis. Hangus terbakar menjadi abu, menyisakan beberapa tulang belulang yang langsung dipungut oleh warga dan dikubur di luar desa. Beberapa orang mengatakan hendak membuangnya ke laut supaya tidak menyebabkan bala petaka lagi. Warga benar-benar murka bahkan hingga tulang belulang jasad Mas Darma enggan diterima. Semua orang tidak setuju kala kuminta agar tulang belulang itu dikubur di halaman belakang rumahku saja. Kejadian itu masih terbayang jelas di mataku. Seperti enggan berlalu dan terus menguasai pikiran. Membuatku bahkan tak fokus melakukan banyak hal. Bahkan sejak kejadian tersebut aku belum berani keluar rumah. Aku takut akan tudingan warga padaku. "Buk ...." Aku sungguh terkejut ketika mendapat
"Danu kangen Bapak, Buk .... Kenapa orang-orang jahat bakar Bapak? Teman Danu ada yang anaknya polisi, Buk. Danu bilang sama dia, ya, biar yang sudah bakar Bapak ditangkap sama polisi," celoteh Danu polos. Hal itu makin membuat hatiku begitu ngilu dan tak tahan lagi membendung air mata yang makin deras. Dia masih belum mengerti apa-apa. Sulit untukku menjelaskan terlebih kini aku sendiri sedang memperbaiki mental dan diriku sendiri yang hancur berantakan. Aku tak bisa menjelaskan apapun.Berbeda dengan Mira yang tak banyak tanya. Dia lebih banyak diam. Pakdhe dan Budhe sudah memberi penjelasan padanya yang membuatnya paham. "Bapak sudah tenang di sana, Nak. Bukan orang-orang yang jahat, tapi Bapak sudah membuat kesalahan hingga orang-orang marah," jelasku sebisanya. "Kesalahan apa, Buk?" Danu mengusap air matanya dan menatapku penuh penasaran. Aku terdiam beberapa saat. Memikirkan jawaban yang akan kuutarakan. "Bapak sudah membuat orang kehilangan nyawa. Bapak sudah bersekutu, Na