Lagian kenapa Mas Darma seolah begitu memaksa? Aku pun belum sepenuhnya percaya padanya. Terlebih mengingat perkataan Mira jika semalam Mas Darma sempat menciumi pahanya.Namun, aku tak berani menanyakan itu sekarang. Aku yakin Mas Darma tidak akan mengaku. Pasti nanti hanya akan menciptakan keributan. Biarlah kucari tahu semuanya sendiri. Aku melipat celana Danu, dan meletakkannya di lemari kamarnya. Anak-anak sudah tertidur pulas, terlihat dari dengkuran halusnya. Setelah itu aku pun masuk ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku seringkali merasa mual, karena aroma busuk dari ransel Mas Darma yang berisi pembalut bekas. Sepertinya dia belum membuang pembalut-pembalut itu. Aku sendiri tak berani membuangnya. Beruntungnya kamar ini memiliki jendela, tiap hari kubuka untuk mengusir aroma busuk tersebut. Namun ketika menjelang malam kututup, tak berani membuka jendela malam hari khawatir ada binatang berbahaya yang masuk, mengingat rumah kami berada di tengah ladang.
"M-mulutmu berdarah." Kuhampiri dia dan menyentuh bekas darah di sudut bibirnya. Khawatir Mas Darma terluka. Namun, aroma amis dan anyir tercium kuat ketika aku mendekat. Aku tertegun. Untuk meyakinkan, kuhidu darah di tangan, benar, tak salah lagi. Ini bukan darah biasa, melainkan darah haid!Aku perempuan. Aku hapal betul aroma darah haid dan darah luka. Jelas berbeda. Aku yakin ini darah haid. Huek!Seketika aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut. Aku tak tahan aroma amisnya. "Mas! D-darah apa itu di mulutmu? Dan dari mana kamu?!" todongku setelah kembali dari kamar mandi. Aku yakin kali ini Mas Darma tak bisa mengelak lagi. "Maksudmu apa, Laksmi? Aku terluka," sahut Mas Darma gugup. Dia merintih, tetapi kulihat dia hanya berpura-pura. Jelas aku perhatikan sorot matanya, tidak ada kejujuran di sana. "Bohong! Jangan pikir aku tidak tahu, Mas! Aku perempuan dan aku hapal bau darah haid. Yang di mulutmu itu darah haid perempuan, kan?" ujarku menggebu tanpa basa-ba
"Astaghfirullah!" pekikku terkejut melihat benda yang dipegang Danu. Cincin bermata biru milik Mas Darma. Kerongkonganku seolah mengering seketika. Susah payah aku meneguk ludah. Lidahku seakan kelu. Habislah sudah! "Kenapa, Buk? Cantik kan? Makanya aku suka," ujar Danu polos. Aku menatap Danu nanar. Jika menuruti logika, rasanya aku ingin marah dan membentaknya habis-habisan. Namun, aku kembali mengingat bahwa dia masih anak-anak. Dia juga tidak mengerti apa yang dialami orang tuanya. Tubuhku kaku, membayangkan bagaimana murkanya Mas Darma ketika tahu cincinnya kembali hilang. Belum selesai perkara ucapanku semalam, kini malah ditambah masalah cincin yang Danu ambil. "Danu! Kan sudah Ibuk bilang jangan sembarangan mengambil sesuatu kalau bukan milik kamu. Apalagi kalau sampai menyentuh barang-barang milik Bapak!" jelasku hati-hati. "Cincinnya nyala semalam, Buk. Aku gak ngambil dalam tas Bapak, aku lihat ini di depan lemari, aku pikir mainan yang Ibuk janjikan," bela Danu. Aku
Lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Kututup telinga dengan kedua tangan, berharap suara Mbah Marni tak lagi terdengar. "Laksmi!" Sentuhan di pundak membuatku menoleh. Seketika aku terjengkang ke belakang melihat Mas Darma sudah berdiri tepat di belakangku dengan mata memerah. Aku makin gemetar ketakutan. "Kamu kenapa? Siapa barusan apa ada tamu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kamu kenapa begini?" Mas Darma berjongkok di hadapanku. Aneh. Kenapa sikapnya menjadi manis seperti ini. Seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. Apa Mas Darma melupakan ucapanku semalam? "Aku kaget, Mas. Barusan dengar siaran dari mushalla anaknya Bu Nur tetangga kita meninggal. Dia teman sekelas Mira," ujarku terbata-bata. Tentu saja itu hanya beralasan. Ekspresi wajah Mas Darma seketika berubah mendengar ucapanku. Dia terdiam sesaat, detik berikutnya dia menatapku intens. "Kamu! Sini kamu!" Mas Darma tiba-tiba mencekal pergelangan tangan dan menarikku kuat-kuat. Bahkan tubuh kurusku terseret teta
Sontak aku menoleh sesaat. Mendengar pembalut aku kembali mengingat Mas Darma. Apa jangan-jangan dia dalang di balik semua ini? Mengingat dia sering menjilati darah haid. Apa jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan Mas Darma?"Bisa jadi! Bisa saja karena darahnya dimakan kuntilanak jadinya berpengaruh ke orangnya. Ya kan? Nur sih gak percaya kalau dibilangin. Gak bisa didik anak dengan baik," timpal seseorang semakin memperkeruh suasana. "Hust sudah sudah! Gak baik membicarakan jenazah apalagi di rumah duka. Kasihan keluarga. Baiknya kita doakan, tak perlu berprasangka macam-macam yang jadinya malah menimbulkan fitnah. Hidup dan mati seseorang itu sudah diatur oleh sang pencipta." Budhe Yanti yang sejak tadi diam dengan wajah menahan kesal, kini pun ikut angkat bicara.Seketika semua orang pun terdiam. Bu Rumi tampak tak suka dengan ucapan Budhe Yanti. Terlihat dari bola matanya yang melirik Budhe Yanti sinis. Pekerjaan sudah selesai. Jenazah pun sudah siap hendak disalatkan.
"P-pembalut. Kamu tahu?" tanya Pakdhe seolah ragu. Seketika aku terperangah dan mendongak menatap Pakdhe. "Jadi Pakdhe juga tahu?" Pakdhe tiba-tiba menghela napas panjang. Dia meraup wajahnya dengan kedua tangan. Khas seseorang ketika sedang dalam keadaan kalut. "Pakdhe, aku mohon jangan ceritakan ini pada siapa pun untuk sementara waktu," pintaku pada Pakdhe bersungguh-sungguh. Aku tak menyangka rupanya Pakdhe hampir tahu semuanya. Namun, sepertinya Pakdhe enggan memperjelas karena sungkan. "Kamu tenang saja, Nduk. Kamu tahu Pakdhe kan? Percayakan ini pada Pakdhe," sahut Pakdhe meyakinkan. "Sebenernya juga ada yang ingin aku tanyakan Pakdhe," ujarku. "Tanyakan sekarang " Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku baju. Kertas yang hampir kulupakan ketika berangkat ke sini. Niatku hendak kutanyakan pada Budhe Yanti, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan karena banyak orang. Beruntungnya ada Pakdhe. Aku yakin Pakdhe paham, mengingat dia asli penduduk kampung ini.
"Jangan dibutakan dengan kebahagiaan sesaat, Nduk. Ada anak-anak yang harus kamu pikirkan. Pakdhe tidak menyudutkan suamimu, tapi Pakdhe mohon kamu jangan gelap mata. Kita cari tahu ini sama-sama. Dan persiapkan diri kamu apapun kenyataannya nanti," ujar Pakdhe sembari menepuk pundakku lembut. Aku semakin tergugu pilu. Baru kali ini aku menangis di depan Pakdhe. Karena aku sudah terlalu bingung hendak ke mana akan mengadu, jika bukan pada Pakdhe yang sudah seperti saudara dekat kami."Memangnya tentang perkataan Mbah Marni bisa dipastikan selalu benar, Pakdhe? Dia hanya manusia, Pakdhe. Apalagi tidak jelas asal-usulnya. Bisa saja dia hanya mengarang," tanyaku memastikan perihal Mbah Marni dalam pandangan Pakdhe Bakri.Pakdhe tak menjawab. Dia hanya tersenyum penuh arti. Mungkin ini berat baginya. Dia takut jika mengiyakan maka sama saja mendahului takdir Tuhan dengan memercayai prediksi nasib manusia lain. Melihat respon datar dari Pakdhe Bakri, ada secercah harap dalam hati. Semoga
"A-aku hanya tahu pembalut-pembalut itu, Mas. Aku minta maaf. Aku tidak berniat menggeledah tas kamu. Danu yang menemukannya. Dia membuka tasmu berharap ada mainan yang kamu belikan untuknya. Seperti teman-temannya jika ayahnya pulang dari bepergian. Begitu katanya," jawabku sembari menahan suara agar tidak tergagap. Terpaksa aku mengatakan yang sejujurnya. Alasan itu lebih masuk akal dan lumrah dilakukan anak-anak. Mas Darma pasti percaya. Tenang, Laksmi! Kamu harus tenang. Di tengah kegusaran, aku berpikir. Jika sampai terjadi sesuatu padaku tentunya Mas Darma lah yang akan menjadi sorotan pertama warga. Ada sedikit keyakinan dalam diriku bahwa dia tidak akan berani berbuat buruk padaku. Dia tahu bagaimana beringasnya warga kampung sini dalam menghakimi kesalahan orang. "Lalu?" "Hanya itu. Selebihnya aku hanya spontan mengatakannya karena dalam keadaan kalut memikirkan kondisi Mira. Saat itu aku juga mengkhawatirkan kamu yang pulang tengah malam dalam keadaan berdarah, Mas.
Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin
Sampai di rumah, rupanya Pak Ustad dan beberapa orang masih ada di sana. Aku jadi tak enak hati, kasihan Pak Ustad menunggu lama.Mataku terfokus pada karung yang tergeletak di sebelah tangga. Hatiku berdenyut, aku ingat karung itu."Alhamdulillah kalian sudah pulang. Bagaimana keadaan Mira, Pak?" tanya Pak Ustad."Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Ustad.""Syukurlah. Jadi bagaimana keputusan Ibu dan Bapak? Tulang belulang Almarhum sudah diambil oleh bapak-bapak ini. Jika memang setuju, pukul sepuluh kita lakukan pemakaman dengan layak. Lebih cepat lebih baik." "Alhamdulillah, terima kasih, Pak Ustad. T-tapi, bagaimana dengan warga? Apa mereka setuju untuk dimakamkan di desa ini?" tanyaku ragu."InsyaAllah mereka tidak keberatan. Sudah kami bicarakan sebelumnya. Untuk salat jenazah, saya pribadi tidak bisa memaksakan mereka. Jika pun mereka tidak mau, tidak apa-apa. Siapa yang mau saja. Yang penting sudah kita perlakukan jenazah dengan baik dan sesuai anjuran." "Baik, Pak Ustad. Al
"IBUK! IBUK! MBAK MIRA, IBUK!" Penjelasan Pak Ustad sontak terpotong karena teriakan Danu yang begitu histeris.Dia menghambur memelukku sembari menangis. Napasnya terpenggal."IBUK, MBAK MIRA, IBUK .... CEPAT!" Astaghfirullah! Kenapa Danu sehisteris ini. Apa yang terjadi dengan Mira?Kasak-kusuk warga kembali terdengar. Namun, tanpa memedulikan itu aku langsung masuk ke rumah menghampiri Mira yang terbaring di kasur. "Astaghfirullah, Nak!" pekikku kaget melihat Mira dalam keadaan kejang parah. Suhu tubuhnya panas tinggi. Matanya terbuka dengan bola mata menghadap ke atas. "PAKDHE, BUDHE!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku tahu menangis bukan solusi. Namun, siapa yang tak khawatir melihat putrinya demikian. Aku khawatir sumpah serapah ibu-ibu barusan tentang karma Mas Darma menjadi kenyataan. "Ya Allah, Mira!" gumam Budhe tak kalah khawatir.Mira mengerang. Wajahnya pucat kemerahan. Aku begitu panik. Kami semua tidak bisa melakukan apa pun karena tidak
"LAKSMI! LAKSMII! KELUAR KAMU!" Pagi buta aku dikejutkan dengan teriakan warga. Apalagi ini? "LAKSMI CEPAT KELUAR ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU?!" Astaghfirullah! Mira terkesiap. Namun, matanya masih terpejam. Dia tidak mengeluh. Namun dari ekspresi wajahnya aku tahu dia kesakitan. Bagaimana tidak, kemarin tubuh Mira dihantam ke sana ke mari saat Nyai berusaha melepaskan diri dari cekalan Pakdhe. Dia juga menendangi barang-barang di dapur hingga berserakan. Tentulah tubuhnya terasa sakit dan ngilu. "LAKSMI JANGAN MENGHINDAR KAMU! KAMU HARUS KELUAR DARI DESA INI!" "USIR LAKSMI! USIR LAKSMI!" sorakan warga makin terdengar heboh. Aku gemetar. Danu pun sampai terbangun dan ketakutan. "Buk, itu kenapa, Buk?" tanyanya risau. "Biar Ibuk yang lihat keluar, ya. Danu di sini jagain Mbak Mira," pintaku. Aku menoleh pada Mira yang masih berbaring dengan mata terpejam. Dia meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Seperti kedinginan. Terpaksa aku harus membuka pintu, khawatir amarah
Tok tok tok!Deg! Siapa itu? Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini.Apa jangan-jangan Pakdhe?Setelah malam itu, saat Mas Darma datang padaku, aku menjadi begitu trauma. Aku khawatir kejadian yang sama akan terulang.Tok tok tok!Entah kenapa, detak jantungku makin berpacu dengan hebat seiring ketukan pintu yang terdengar."Assalamualaikum, Nduk. Ini Budhe."Seketika aku bernapas lega ketika mendengar ucapan salam dari luar sana. Rupanya benar, Pakdhe dan Budhe di depan. Ah, aku terlalu paranoid saat ini. Menjadi begitu penakut. Gegas aku membuka pintu. "Waalaikumussalam, Budhe," sahutku sembari membuka pintu."Ini, dimakan." Budhe menyodorkan rantang. "Budhe, aku mohon jangan repot-repot. Aku jadi gak enak. Budhe dan Pakdhe sudah mau membantu kami itu sudah sangat terima kasih," kataku tak enak hati. Kuletakkan rantang itu di meja bulat sudut ruangan. "Sudah sudah, itu namanya rezeki. Wong Budhe juga gak kerepotan kok," timpal Pakdhe. "Oh iya, di mana benda itu, Nduk? Kita bis
*Dia tidak terima dan ingin mengambil raga Mira sebagai tempat bersemayamnya. Rupanya ruh Nyai itu belum sepenuhnya pergi sebab ada barang miliknya yang tersisa. Yang jelas benda itu memiliki kesamaan dengan mahkota miliknya. Kita harus membakar benda itu sebelum dia berhasil merebut raga Mira. Karena jika sampai terlambat, maka ...." Pakdhe menggantung ucapannya."Maka apa, Pakdhe?" tanyaku tak sabar."Mira yang jadi korbannya, Nduk. Pakdhe tanya kepada Mbah Samun, kenapa makhluk itu begitu mengincar Mira. Katanya, mungkin Mira memiliki aura lebih yang membuat makhluk itu tertarik. Apa kamu ingat weton Mira?" Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat tanggal lahir Mira. "Kalau tidak salah, hari Selasa, Pakdhe. Tapi sebentar, aku lihat dulu. Aku ingat dulu Mas Darma pernah mencatat hari lahirnya di buku nikah kami."Aku beranjak. Membuka lemari dan mengambil tas kain yang berisi hal-hal penting milik kami. "Ini, Pakdhe." Aku menyerahkan buku nikah milikku. Ah, melihat itu aku jadi teri
Dia berdiri dengan tubuh telanjang tanpa busana. Kulitnya hitam legam berbau gosong. Sebagian terdapat luka-luka bakar di kulitnya. Busuk. Mulutnya penuh darah dan nanah. Aku tak tahan dengan aromanya. Busuk dan anyir. Lebih busuk dari bangkai."Laksmi ... tolong aku, Laksmi ....""A-aku menyesal. Tolong aku. Aku kegelapan, tidak ada cahaya di tempatku. Aku menyesal telah mengabdi pada Nyai. Tolong aku, Laksmi. Panas ...." Mas Darma merintih. Mas Darma terlihat begitu menyeramkan. Meski wajahnya sudah tidak berupa, aku bisa melihat Mas Darma meringis seolah menahan sakit. Bahkan semua rambutnya hangus terbakar menyisakan kulit kepala saja. Aku juga baru sadar bahwa perutnya terlihat besar dan buncit. "Aku mohon, Laksmi ... tolong aku."Aku memejamkan mata. Sejak tadi aku menahan napas karena aroma busuknya hingga merasa sesak. Aku ingin menutup pintu dengan kuat lalu berlari secepat kilat ke kamar. Namun, tubuhku seolah terpaku pada bumi hingga tak bisa digerakkan sama sekali. Tuha
Tiga hari setelah kejadian malam yang mencekam itu, hatiku masih sering gelisah. Aku sering menangis sendirian. Seolah yang terjadi waktu itu masih mimpi bagiku. Aku sungguh tak bisa memercayai ini. Mas Darma. Aku benar-benar sudah kehilangan sosoknya. Dia meninggal dalam keadaan tragis. Hangus terbakar menjadi abu, menyisakan beberapa tulang belulang yang langsung dipungut oleh warga dan dikubur di luar desa. Beberapa orang mengatakan hendak membuangnya ke laut supaya tidak menyebabkan bala petaka lagi. Warga benar-benar murka bahkan hingga tulang belulang jasad Mas Darma enggan diterima. Semua orang tidak setuju kala kuminta agar tulang belulang itu dikubur di halaman belakang rumahku saja. Kejadian itu masih terbayang jelas di mataku. Seperti enggan berlalu dan terus menguasai pikiran. Membuatku bahkan tak fokus melakukan banyak hal. Bahkan sejak kejadian tersebut aku belum berani keluar rumah. Aku takut akan tudingan warga padaku. "Buk ...." Aku sungguh terkejut ketika mendapat
"Danu kangen Bapak, Buk .... Kenapa orang-orang jahat bakar Bapak? Teman Danu ada yang anaknya polisi, Buk. Danu bilang sama dia, ya, biar yang sudah bakar Bapak ditangkap sama polisi," celoteh Danu polos. Hal itu makin membuat hatiku begitu ngilu dan tak tahan lagi membendung air mata yang makin deras. Dia masih belum mengerti apa-apa. Sulit untukku menjelaskan terlebih kini aku sendiri sedang memperbaiki mental dan diriku sendiri yang hancur berantakan. Aku tak bisa menjelaskan apapun.Berbeda dengan Mira yang tak banyak tanya. Dia lebih banyak diam. Pakdhe dan Budhe sudah memberi penjelasan padanya yang membuatnya paham. "Bapak sudah tenang di sana, Nak. Bukan orang-orang yang jahat, tapi Bapak sudah membuat kesalahan hingga orang-orang marah," jelasku sebisanya. "Kesalahan apa, Buk?" Danu mengusap air matanya dan menatapku penuh penasaran. Aku terdiam beberapa saat. Memikirkan jawaban yang akan kuutarakan. "Bapak sudah membuat orang kehilangan nyawa. Bapak sudah bersekutu, Na