Aku menatapnya kembali, selekas laptop coba aku cari di laci milik papi di kamar. Dan ternyata memang tidak ada.
Bahkan di atas meja kerjanya papi juga tidak ada, malah yang aku temukan justru lembaran kertas kerja yang isinya desain baju-baju rancangan papi.
"Papi lagi ke pabrik, ada urusan mendadak. Katanya ada pesanan baju banyak, semacam seragam."
Adikku Tika melanjutkan makan kembali, sementara aku menemui mami di Dapur.
"Mami, tahu laptop kulo?"
Telapak tanganku menyatu ke dinding dapur yang bercat putih. Bau masakan di sini, masih belum terasa.
Aku lihat soalnya baru mulai membersihkan beras dengan air berulang kali. Lalu meletakkan panci berisi beras itu di atas kompor.
"Mami tidak tahu, mungkin papi bawa ke pabrik."
Aku tercekat, spontan mengambil ponsel di ranjang tidurku.
Selambu kamar lekas kubuka dan tersajikanlah barang-barang kamar yang berantakan, berserak tidak beratur. Mulai dari baju yang belum disetrika dan masih banyak berkas karangan-karangan cerpen karanganku yang terkapar di mana-mana.
Ini karena aku belakangan hari ini, sering mengurungkan niat untuk membersihkan karangan cerpenku itu.
Niatnya malam usai maghrib, karena aku beralih mengerjakan hal lain, sudah lupa. Dan akhirnya niat itu kembali terkurung.
"Assalamu'alaikum, Papi."
Dering telpon yang agak begitu lama itu akhirnya terjawab juga.
Mungkin Papi sibuk dengan urusan pabrik yang padat sekali, hingga telpon dariku lama diangkat dan seperti benar-benar diabaikan.
"Wa'alaikumsalam."
Aku mendengar suara papi yang keluar dari telpon. Aku lega.
"Pi, laptop kulo lagi panjenengan bawa?"
"Ya, Papi bawa ini. Laptop papi lagi eror tidak tau kenapa, jadi langsung aku bawa laptop e samean tadi, Nduk."
"Nggih sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Tadi soalnya kulo cari tidak ketemu. Katanya mami mungkin Papi yang bawa."
"Mau dipakai?"
"Papi saja yang memakainya dulu, nanti saja kulo memakainya. Kalau begitu, nggih sudah papi ... kulonya matiin telponnya."
"Iya."
"Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ponsel aku taruh di bawah bantal.
Sekarang aku benar-benar dilema harus berbuat apa? Semisal aku tidak menulis, ide yang ada dipikiranku seolah memudar dengan berjalannya waktu. Dan bila mana aku menulisnya di buku tulis, maka aku akan mengetiknya kembali di laptop. Aku harus bagaimana?
"Nduk, Ayu ... ini sudah diracik bumbunya, tinggal dimasak! Mami mau membeli gula dulu, papimu datang tidak ada teh hangat kasihan nanti."
Mami memanggil dari arah dapur, sambil memberi amanah untuk memasak.
Mungkin aku biarkan saja ide cerita itu menggantung dipikiran, mungkin kalau hilang juga tidak akan semuanya. Ada yang bisa diingat, bahkan bisa dikembangkan lagi.
Intinya sekarang yang harus aku lakukan adalah menyelesaikan amanah dari Mami dulu.
***
Gus Iqbal
"Piye, Lif? Kapan toko pusat ngirim pesanane Abah ...."
Umi langsung menemuiku, setelah mendengar suara motorku yang memasuki garasi samping rumah. Dan mobil yang isinya belanjaan dapur buat pesantren untuk sementara, langsung parkir depan ndalem.
"In sya' Allah akhir bulan ini katanya, Umi. Kalau pertengahan bulan masih belum bisa."
Umi mensejajari langkahku yang mau ke teras depan ndalem. Dan dari sini, sopir mulai menurunkan barang-barang yang berada di belakang mobil box.
"Lha kenapa, Lif?"
"Mobil yang buat ngantar lagi diperbaiki di bengkel katanya, sekalian yang pesan buat diantar juga banyak."
"Owalah, apa pesanannya dibatalkan ae ya, Lif?" Aku menduduki rotan yang di sebelah timurnya tempat Umi duduk. "Mboten bisa kayaknya, Umi. Kan sudah terlanjur di bayar lunas." "Iya c, Lif." "Nggih, Umi. Sementara pakai bahan dapur yang tak beliin ini." Aku sudah lama tak membelanjakan barang dapur untuk pesantrennya Abah Umiku ini, mungkin sudah lewat dua bulan kalau aku hitung dari terakhir pengeluaran di dompet keuanganku. Aku baru tahu, harga-harga barang dapur pada naik drastis. Terutama telur sama beras. Kalau beras, alasannya naik katanya banyak petani yang lagi gagal panen. Kalau telur, katanya ada yang bilang banyak ayam yang pakannya mahal, kalau tidak begitu ada banyak peternak ayam yang kehilangan ayamnya karena penyakit unggas. Abah sama Umi mungkin agak pontang-panting saat belanjain barangnya pesantren di dua bulan terakhir ini. Kalau tahu begini, aku tidak akan ikut rapat di Wonogiri sama teman-teman guru. Tetapi kalau tidak ikut juga, aku pasti juga akan keti
Mungkin barusan Papi mengirim pesan, kalau malam ini aku harus balik ke pesantren. Tetapi bagaimana dengan karangan novelku? Mungkin berhenti lagi, di pesantren Umi Salamah aku tidak bisa juga mengerjakan novel karena padat kegiatan. "Iya, habis ini mau siap-siap." Mengingat pesantren Umi Salamah, tiba-tiba aku teringat sama Madrasah Diniah. Sore itu sebelum aku pulang, ada seorang ustad yang nyamperin aku yang tengah berada di lorong kelas. Beliau Ustad Shofi, anak dari almarhum Kyai Nadhir. "Ayu ...." Suara beliau mencegah langkahku. Saat itu aku menepi ke pinggir kiri, menunduk, menjawab lalu memberi salam. Dan membiarkan temanku untuk pulang terlebih dahulu. "Nggih, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Aku tetap menunduk dan tidak berani menatap pandangan mata beliau. Selain beliau orang yang ma'rifat, aku juga menghormati beliau. "Ada apa, ustad?" "Yu, setelah tahun ini samean lulus ya?" Ustad Shofi itu yang mengajarku waktu kelas dua di Madrasah Diniyah, untuk
Entahlah, aku seperti tidak suka saja dengan rokok. Bukan memang dampak negatif dari rokok, tetapi memang aku tidak menyukai saja cara merokok dan rasa yang akan di hisap saat rokok itu ujungnya menyalah. Sebenarnya aku juga tidak begitu menyukai dengan kepulan-kepulan rokok dari Pak Arief, tetapi aku sebagai teman guru maka aku biarkan saja. "Aku tahu apa juga, Pak, tentang teater? Bukan jalurku. Aku di kantor saja sibuk mengurus kerjaan. Kalau pun ngelatih anak-anak teater pembinaan darimu, ya sudah jelas tidak akan sanggup." Aku menggeleng beberapa kali atas tawarannya Pak Arief itu, terasa aneh saja kalau aku bisa gabung sebagai pembina teater. Dari dulu aku tidak begitu tertarik dengan kesenian, yang ada ketertarikanku hanya pada bidang bahasa Inggris, pesantren dan laptop komputer. "Kali saja mau gabung." "Iya, lain kali aku lihat-lihat ke sana. Ruai bukan?" Pak Arief itu sebenarnya adik kelasku waktu dari Madrasah Aliyah kelas tigaku dulu. Cuman akunya tidak kenal sama Pak
Aku menghampiri beliau dengan langsung meraih punggung tangannya untuk aku cium dengan tawadlu'."Terus adik e samean ngaji gak engkok?""Nggih, kulo sing nganter, Mbah.""Jauh bukane, Nduk? Nang Anyar." Mbah Putri hafal karena pernah ngantar adikku mengaji. Tetapi itu sudah lama. Anyar memang agak jauh kalau dari rumah. Sekitar lima belas menitan baru bisa sampai, itupun harus pakai sepeda motor.Anyar juga jalanannya ramai, terkadang aku tidak berani untuk ke sana meski cuma nganter adikku ngaji. Kondisi seperti hari ini yang harus membuat aku nekat untuk tetap ke Anyar."Nggih, Mbah.""Hati-hati Nduk, nanti waktu ngantar adikmu. Anyar itu ruame jalane.""Nggih, Mbah.""Wes maem?""Nanti, Mbah. Rancananya mau masak nasi goreng." "Orah usah masak, Mbah tadi masak jangan asem lauk tempe. Nanti ambilen.""Nggih, Mbah."***Gus IqbalIni Ruai? Motor aku parkirkan ke sebelah kanan sisi garansi. Lalu kucabut kunci, sambil memandangi sapu yang berserak di depan pelataran Ruai yang tanp
"Oh ...."Aku menginjakkan kaki di keramik depan Ruai. Aku ingin tahu saja dalamnya Ruai itu seperti apa, karena dari luar saja Ruai itu seperti membuat daya tarik tersendiri."Ruainya unik, desainnya tambah keren saja!". "Iya, biar mereka semua semangat ikut latihan. Ayo, masuk ke dalam!"Pak Arief membuka pintu Ruai lebar-lebar, kemudian setelah aku masuk menatapnya rapat. Cahaya gelap seakan menyeringai di sini, dingin menetap dan bergerak bebas. "Maaf, tadi aku matikan lampunya. Sebantar, aku hidupkan biar enak kalau bicara."Aku mengangguk saja. Dan tidak lama juga, lampu akhirnya menyalah dengan warna putih."Sudah, silahkan duduk. Dinikmati, Pak. Maaf cuma menyediakan itu saja " Di sini seperti kantorku yang di mana kerjaanku begitu banyak. Hanya saja yang berbeda, di sini tidak ada peralatan kantor yang terlihat. Tetapi di sini hanya terdapat sofa bersudut dengan warna hijau pupus dengan meja persegi panjang yang lengkap dengan jajanan seperti coklat dan cemilan lainnya.
"Mau makan apa? Aku masakin sebentar!""Apa? Masak?"Tercekat saja. Pak Arief ahli memasak? Aku baru tahu kalau laki-laki bisa beraksi di dapur selain juru masak seperti koki. Sampai sekarang aku justru tidak bisa memasak. Bahkan nasi saja yang katanya Umi itu gampang, aku saja tidak bisa."Iya, di sini ada dapurnya. Cuman dekat kamar mandi sana bukan di sini."Aku memasang wajah penuh heran saja. Ini Ruai atau rumah?"Ada dapur?""Iya, aku sengaja mendesain Ruai seperti lengkap dengan rumah pada umumnya. Asal tahu saja, aku tidak ingin kalau mereka semua lapar setelah latihan drama teater. Makanya bagi anak yang angkatan sebelumnya bisa memasak, maka aku suruh masak sambil aku bantu bahan yang tidak diketahuinya. Mereka harus merasa senang dengan ekstrakurikuler yang aku sarankan kepada kepala sekolah ini. Dan tentunya mengannggap, bahwa teater itu bukanlah beban tetapi juga tempat untuk bersantai setelah belajar hampir setengah hari lebih."Kagum saja sama Pak Arief. Jarang di duni
Umi? "Assalamu'alaikum, Umi."Tidak aku sangka Umi menelpond, biasanya Umi tidak pernah menelpondku di jam kerja begini. Apa akan ada keluarga yang datang? "Wa'alaikumsalam. Eh, Lif, kamu nanti pulang jam berapa?""Kurang tahu, Umi. Nanti sore soalnya mau ke rumahnya Pak Rifqi.""Isya' kamu harus pulang, ada tamu."Tamu siapa juga?"Siapa Umi?""Mas Dinarmu mau ke rumah katanya!""Oh, nggih, Umi.""Ya sudah, Umi tutup telponnya.""Nggih, Umi. Wassalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Setelah panggilan telpon Umi, aku tutup gawaiku. Sambil berpikir sejenak, sebaiknya aku harus pergi ke mana setelah ini."Kenapa, Pak Iqbal?"Pak Arief tiba-tiba di belakangku saja. Habis makan, yang ada aku malah seperti orang yang bingung kalau di sini terus. Rasanya tidak enak saja kalau di Ruai lama-lama. Sepertinya aku tidak bisa melihatnya membina para anak teater itu, aku harus menyelesaikan pekerjaan kantor juga. Proposal suruhan dari kepala sekolah belum aku selesaikan juga soalnya. "Ada telpon
Aku menuruti permintaan Adikku Tika. Menuruti langkahnya yang perlahan menuju tangga serambi masjid, yang setelahnya ada lorong-lorong untuk kelas mengaji. Dari sini terlihat, Adik Kencana masih membeli spageti yang harus digiling dengan mesin kecil dulu, kemudian di goreng matang oleh penjual setelah itu barulah dikasih bumbu. Itu jajanan kesukaanku, yang memang di sini tak ada yang jual selain penjual itu. Hanya saja, dulu aku lebih suka menggiling spageti sendiri dibandingkan digilingkan oleh penjualnya. "Neng, Papi Mami pulangnya jam berapa?""Besok, dik."Aku tidak tahu, soal adik-adikku malam ini akan bisa tidur ataukah tidak. Tanpa Mami Papi di rumah, setahuku mereka sulit untuk tidur, kalau pun tidur setiap beberapa menit harus terbangun karena merasa ada Papi Mami yang tiba-tiba pulang ke rumah namun ternyata itu perasaan mereka. Kalau pun malam akan turun hujan, adik-adikku akan lebih suka keluar rumah untuk pergi ke teras demi melihat hujan. Dan mereka seolah mengangga
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Aku tidak tahu apakah Umi sudah menyiapkan makan di meja makan ataukah belum. Setahuku jam segini, nasi sudah pada dingin semua. Mungkin aku akan ke rumah makan Masakan Padang saja, di sana pasti ada lauk yang aku sukai. Sudah lama juga, aku tidak mampir makan di sana. "Jangan, Le! Tunggu dulu, ini kami membawakan samean makanan. Masih hangat." Aku memperhatikan bungkusan nasi dengan air minum jus buah apokat. Sepertinya enak, tetapi aku sungkan saja kalau menerima makanan itu. Mungkin aku tolak halus saja. "Tidak usah repot-repot, Pak. Terima kasih." Aku menepis pelan bungkusan makanan itu, niatku tidak ingin merepotkan ke dua orang tua gadis itu saja. Gadis itu yang luka-luka, pastilah membutuhkan banyak perawatan. Bahkan aku mengerti soal biaya yang akan ditangguh oleh ke dua orang tuanya itu. Memang apa penyebab peristiwa tadi? "Kami tidak repot, Nak. Kami justru banyak berterima kasih, Le." "Nggih, Pak. Nasinya Bapak sama Ibu makan saja. Kulo tidak apa.""Ya sudah Le, kami
Aku tidak berani bilang ke Mafayzah kalau aku habis menolong seorang gadis. Apalagi aku bilang pada dirinya, kalau aku sedang ada di rumah sakit. "Kamu sudah makan?""Kalau siang sudah, kalau sore belum.""Kasihan ... apa Mas mau aku anterin makan?" "Tidak usah, aku tidak apa-apa kok. Lagian masih kenyang."Sebenarnya aku juga lapar, tapi bagaimana lagi?Semisal aku menjawab memang lagi lapar, yang ada malah Mafayzah datang ke ndalemnya Umi dan malah tidak ketemu aku. "Benaran, Mas?""Iya, Mafayzah.""Ya sudah, aku mau sholat dulu, Mas. Kamu sudah sholat?""Eh iya, belum eq. Iya habis ini sholat, kok.""Wassalamu'alaikum, Mas. Cepat pulang.""Wa'alaikumsalam."***Aku membawa obat yang barusan aku ambil di resep pengambilan itu, kemudian kutaruh obat itu di meja yang tak jauh dari ranjang. Sesekali kulirik ke singgah gadis itu berbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang beralas spons itu, lalu berjalan untuk mengambil kursi yang terletak di bawah ranjangnya agar aku tid
Mafayzah mengirimkan pesan yang cukup banyak. Sampai pesan miliknya yang hampir tenggelam pun, akhirnya kembali di paling atas. Kalau di aplikasi putih ini malah yang mengirim pesan itu kebanyakan guru yang akrab sama aku, sama keluarga jauh yang mungkin hanya sekedar tanya kabar orang rumah bagaimana. Dan pasti selalu ada Mafayzah yang mengirimkan pesan. Pintu operasi itu akhirnya terbuka, maka keluarlah kasur dorong yang di atasnya terbaring gadis yang aku selamatkan tadi. Kulihat, dia masih berbaring lemah. Kali ini gadis itu tak memakai hijab, justru di kepalanya terdapat perban luka. Bahkan sikunya juga di perban dengan perban yang agak tebal. Kenapa aku tidak tahu soal luka yang berada di sikunya? Yang sempat, malah memperhatikan luka yang berada di belakang kepalanya itu. Aku mengikuti para dokter dan tim medis yang memindahkan gadis itu yang katanya ditempatkan di Ruang Aisyah tujuh. "Vivi Ip?"Oh, tidak. Itu bukan Vivi Ip ternyata. Hanya ruangan biasa, tetapi atasnya ad
"Pak, saya membutuhkan tanda tangan dari bapak. Operasi harus secepatnya di jalankan karena ada kepala bagian dalamnya yang terluka."Bagaimana ini? Peristiwa silang sengkrawut memenuhi kepalaku tentang kebakaran mobil dan keramaian tadi, aku yakin semua yang ada di sana sudah terkendali dengan adanya Adi dengan tim.Mereka pemadam kebakaran, pasti tahu bagaimana juga cara mengefakuasi korban, bagaimana cara memadamkan api juga. Soal gadis itu, sudah aku duga kalau ini bakalan terjadi. Darah yang menetes dari kepala bagian belakangnya itu sudah memberi tanda kalau lukanya tidak ringan seperti pada umumnya. Bila aku terlambat memberi keputusan sedikit saja, akibatnya malah berbahaya untuk gadis itu."Baik, akan saya tanda tangani."***"Di mana orang tua gadis ini?"Operasi berjalan kurang lebih satu jam, tetapi aku belum juga mendapat kabar kalau orang tua gadis ini sedang berada di mana. Kenapa aku tidak meminta nomor telpon orang tua gadis ini lewat pamannya tadi? Kenapa juga aku
Soal motorku, entahlah nasibnya seperti apa? Aku cuma menaruhnya di pinggir jalan. Dan mungkin Pak Rifki sedang menunggu kedatanganku untuk servis laptopnya, sementara aku belum lekas datang juga. Kami sampai di kawasan Rumah Sakit Islam dan mendarat tepat di depan ruangan terbuka, yang di sana sudah tersedia banyak kasur dorong. Ramai juga rumah sakit ini. Mereka sang para perawat, ada yang bertugas menjaga ruangan terbuka dan ada petugas yang sebagian membantu agar pasien bisa secepatnya di urus dalam ruangan. "Mas, tolong angkat keponakan saya, ya! Sementara saya akan mendaftarkannya ke ruangan administrasi."Aku menuju mobil bagian tengah untuk mengangkat gadis berhijab orange dan membawanya ke kasur dorong yang tersedia di sana. Ke dua matanya terpejam rapat, mulut kecilnya mengatup. Lalu pada bagian pipinya ada sejumlah air mata yang tidak lama mengalir. Apakah dia merasakan sakit perih atas lukanya? Bukannya dia sedang pingsan? Darah yang membasahi bagian kepala belakangny
"Siap. Aku usahakan tim lebih cepat untuk ke sana." "Terima kasih, wassalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Gadis berhijab orange itu memusatkan perhatianku kembali kepadanya. Apakah aku akan membawanya ke rumah sakit saja? Mereka sang para saksi mata tidak ada yang berani untuk ke sana, meski hanya sekejab untuk menolong gadis itu. Bukankah dekat dari sini juga berbahaya, karena api bisa menyebar ke mana saja?Aku memberanikan diri menghampiri gadis yang mulutnya telah terkatup rapat dan tak lagi berbicara. Gadis itu sepertinya benar-benar pingsan setelah banyak menghirup asap mobil yang berada di dekatnya."Hei, jangan mendekat!"Semua teriakan itu aku dengar hampir ke seluruh sisi, namun aku tak peduli. Percuma bila mereka teriak saja dan tak ada yang bertindak. Nyawa gadis yang terbaring itu tak akan terselamat pula karena ledakan mobil yang mungkin akan segera terjadi. Semakin kumendekat pada singgah gadis itu, panasnya api yang membakar mobil menggelayut di sekujur tubuh bagian
Gadis dengan hijab pasmina orange itu berhasil membuat pusat pandanganku jatuh padanya. Dan dia, kali ini terbaring lemah dengan resah yang bertandang di samping jalan dekat dengan mobil yang terbakar."Hei, jangan dekat-dekat sama mobil! Siapa tahu, nanti malah meledak!" Orang-orang sekitar benar-benar tidak ada yang berani mendekat. Mereka takut dengan ledakan. Untuk itu, mereka lebih memilih terpaku, lalu mengambil langkah mundur dan tak melakukan apa-apa. Bahkan mereka mencegah siapapun yang mendekati mobil."Kenapa tidak ada yang menolong?""Bagaimana bisa menyelamatkan, Mas. Itu api mobilnya semakin besar kalau kita ada yang ke sana ... takutnya mobil justru akan meledak." Seorang lelaki hampir paruh baya di sebelahku yang menjawab Api semakin melahap semua badan mobil begitu cepat. Terutama bagian depan yang terlihat kacanya mulai pecah semua dan menghitam bagai arang yang sengaja dibakar. Sementara di sebelah barat, ada suara yang meraung keras dengan tangan yang melambai.