Aku tidak berani bilang ke Mafayzah kalau aku habis menolong seorang gadis. Apalagi aku bilang pada dirinya, kalau aku sedang ada di rumah sakit. "Kamu sudah makan?""Kalau siang sudah, kalau sore belum.""Kasihan ... apa Mas mau aku anterin makan?" "Tidak usah, aku tidak apa-apa kok. Lagian masih kenyang."Sebenarnya aku juga lapar, tapi bagaimana lagi?Semisal aku menjawab memang lagi lapar, yang ada malah Mafayzah datang ke ndalemnya Umi dan malah tidak ketemu aku. "Benaran, Mas?""Iya, Mafayzah.""Ya sudah, aku mau sholat dulu, Mas. Kamu sudah sholat?""Eh iya, belum eq. Iya habis ini sholat, kok.""Wassalamu'alaikum, Mas. Cepat pulang.""Wa'alaikumsalam."***Aku membawa obat yang barusan aku ambil di resep pengambilan itu, kemudian kutaruh obat itu di meja yang tak jauh dari ranjang. Sesekali kulirik ke singgah gadis itu berbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang beralas spons itu, lalu berjalan untuk mengambil kursi yang terletak di bawah ranjangnya agar aku tid
Aku tidak tahu apakah Umi sudah menyiapkan makan di meja makan ataukah belum. Setahuku jam segini, nasi sudah pada dingin semua. Mungkin aku akan ke rumah makan Masakan Padang saja, di sana pasti ada lauk yang aku sukai. Sudah lama juga, aku tidak mampir makan di sana. "Jangan, Le! Tunggu dulu, ini kami membawakan samean makanan. Masih hangat." Aku memperhatikan bungkusan nasi dengan air minum jus buah apokat. Sepertinya enak, tetapi aku sungkan saja kalau menerima makanan itu. Mungkin aku tolak halus saja. "Tidak usah repot-repot, Pak. Terima kasih." Aku menepis pelan bungkusan makanan itu, niatku tidak ingin merepotkan ke dua orang tua gadis itu saja. Gadis itu yang luka-luka, pastilah membutuhkan banyak perawatan. Bahkan aku mengerti soal biaya yang akan ditangguh oleh ke dua orang tuanya itu. Memang apa penyebab peristiwa tadi? "Kami tidak repot, Nak. Kami justru banyak berterima kasih, Le." "Nggih, Pak. Nasinya Bapak sama Ibu makan saja. Kulo tidak apa.""Ya sudah Le, kami
"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
Gus Iqbal "le, yang daftar jadi santri di pesantren kita makin banyak ya?" Umi menghampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas. Hari ini, sebenarnya aku menginginkan untuk meminum kopi hitam, hanya saja aku cari di dapur tidak ada. Dan di dapur, yang ada hanya kopi susu sama kopi moka dalam kemasan instan. Maka kupilih yang ada di dapur saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali. Lantai tiga, bagaikan tempat bersantai paling nyaman. Angin seakan berembus dua kali lipat. Dan di sini, dapat pula menikmati pemandangan lautan biru kehijauan bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih delapan hingga sepuluh kilo dari sini. Meski sesaat di balik kediaman yang melambat. Dan waktu yang memang terasa berjarak. Panorama yang terlihat, seakan mengambil jenuh yang pernah berpijak. "Nggih e Umi, Kulo sampai kebingungan buatin data sebanyak itu. Apa perlu kita buat tarjet tetap di setiap tahun? Kalau kita, tidak membatasi jumlah santri bisa-bisa kita semakin banya
Umi adalah guru Madrasah Diniah juga, sama sepertiku. Hanya saja, Umi mengajar di bagian kitab dasar seperti kitab alala dan kitab safinatun najah. Tetapi Umi belakangan ini tidak begitu sepenuhnya untuk mengisi jam pelajaran yang ada di Madrasah Diniah, karena Umi juga sedang sakit. Alhasil, terkadang kelas Umi banyak jam kosongnya. Dan bila ada waktu, akulah yang mengisi kelasnya Umi. "Iya, tapi nanti bukannya samean itu mau mrivat anaknya Abah Haris?" "Anaknya Abah Haris sedang ingin libur katanya, Umi. Tadi pagi sempat mengirim pesan!" Umi masih ingat saja siapa murid yang aku privat untuk pelajaran bahasa inggris. Padahal Umi juga lama tidak aku bilangin kalau habis dari kantor aku langsung mampir untuk mrivat. Sebenarnya sudah lama aku membuka diri untuk mengajar privat dengan cara mendatangi rumah dari anak yang aku privat tersebut. Dan sebenarnya sudah lama juga, aku ingin berhenti untuk mengajar privat karena kalau jadwalku padat seperti ini, ujung-ujungnya malam langsun
*** Neng Lia "Mbak, besok hari balik ke pesantren. Kalau mbak mau balik besok, atau nanti sore?" Pagi yang sedingin ini, dia sudah sampai di rumahku dan langsung menanyakan kapan aku kembali ke pesantren. Sementara aku yang ditanyai, masih belum mempersiapkan apa-apa. Bagaimana tidak? Kesibukan pada pagi hari ini belum semuanya terselesaikan. Aku yang memang setiap hari bangun lebih awal, menjadi tidak sempat membaca alquran karena harus terlebih dahulu mengurus rumah yang mirip kapal pecah. Belum lagi, membereskan mainan adikku yang berserak di mana-mana. Meja yang dibiarkan lusuh dan taplaknya entah ke mana. Dan sofa yang muasalnya bersudut menjadi pola yang entah itu apa namanya. Aku juga harus mampir ke dapur, dan seketika itu pun, aku melihat piring-piring bekas makanan yang berpesta pora. Melihat pula gelas kotor di mana-mana, sehingga meja dapur bagai tidak terlihat lagi permukaannya. Bila mampir ke kamar TV, isinya cucian berbak-bak besar yang mulai menggunung da
Aku masih mengingat benar, sebuah tekadku yang ingin belajar dan mengarumi dunia pesantren saat Madrasah Ibtidaiyah. Entahlah, saat itu gerangan apa yang membuatku memiliki tekad yang seperti itu. Padahal waktu itu, usiaku masih belum seberapa. Bahkan belum masuk syarat awal untuk berada di pesantren. Sampai karena tekad itulah, Papi rela mencarikan pesantren yang di mana pesantren itu mau menerimaku. Lalu tidak lama, sepekan berlalu dan Papi akhirnya menemukan pondok pesantren Al-Qomar. Namun sayangnya, aku juga masih belum bisa memasuki pesantren tersebut. Karena umurku yang memang masih benar-benar kurang. Setidaknya pesantren saat itu memberikan kesempatan untuk lebih cepat masuk pesantren, dan itu adalah peribtah untuk menunggu satu tahun lagi agar bisa masuk ke pesantren. Iya, aku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah. Dan memang benar, pada kelas lima itulah aku mengarumi dunia pesantren. Aku santriwati yang paling minim usinya, bahkan melewati batasan minim. Tetapi aku bangga
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Aku tidak tahu apakah Umi sudah menyiapkan makan di meja makan ataukah belum. Setahuku jam segini, nasi sudah pada dingin semua. Mungkin aku akan ke rumah makan Masakan Padang saja, di sana pasti ada lauk yang aku sukai. Sudah lama juga, aku tidak mampir makan di sana. "Jangan, Le! Tunggu dulu, ini kami membawakan samean makanan. Masih hangat." Aku memperhatikan bungkusan nasi dengan air minum jus buah apokat. Sepertinya enak, tetapi aku sungkan saja kalau menerima makanan itu. Mungkin aku tolak halus saja. "Tidak usah repot-repot, Pak. Terima kasih." Aku menepis pelan bungkusan makanan itu, niatku tidak ingin merepotkan ke dua orang tua gadis itu saja. Gadis itu yang luka-luka, pastilah membutuhkan banyak perawatan. Bahkan aku mengerti soal biaya yang akan ditangguh oleh ke dua orang tuanya itu. Memang apa penyebab peristiwa tadi? "Kami tidak repot, Nak. Kami justru banyak berterima kasih, Le." "Nggih, Pak. Nasinya Bapak sama Ibu makan saja. Kulo tidak apa.""Ya sudah Le, kami
Aku tidak berani bilang ke Mafayzah kalau aku habis menolong seorang gadis. Apalagi aku bilang pada dirinya, kalau aku sedang ada di rumah sakit. "Kamu sudah makan?""Kalau siang sudah, kalau sore belum.""Kasihan ... apa Mas mau aku anterin makan?" "Tidak usah, aku tidak apa-apa kok. Lagian masih kenyang."Sebenarnya aku juga lapar, tapi bagaimana lagi?Semisal aku menjawab memang lagi lapar, yang ada malah Mafayzah datang ke ndalemnya Umi dan malah tidak ketemu aku. "Benaran, Mas?""Iya, Mafayzah.""Ya sudah, aku mau sholat dulu, Mas. Kamu sudah sholat?""Eh iya, belum eq. Iya habis ini sholat, kok.""Wassalamu'alaikum, Mas. Cepat pulang.""Wa'alaikumsalam."***Aku membawa obat yang barusan aku ambil di resep pengambilan itu, kemudian kutaruh obat itu di meja yang tak jauh dari ranjang. Sesekali kulirik ke singgah gadis itu berbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang beralas spons itu, lalu berjalan untuk mengambil kursi yang terletak di bawah ranjangnya agar aku tid
Mafayzah mengirimkan pesan yang cukup banyak. Sampai pesan miliknya yang hampir tenggelam pun, akhirnya kembali di paling atas. Kalau di aplikasi putih ini malah yang mengirim pesan itu kebanyakan guru yang akrab sama aku, sama keluarga jauh yang mungkin hanya sekedar tanya kabar orang rumah bagaimana. Dan pasti selalu ada Mafayzah yang mengirimkan pesan. Pintu operasi itu akhirnya terbuka, maka keluarlah kasur dorong yang di atasnya terbaring gadis yang aku selamatkan tadi. Kulihat, dia masih berbaring lemah. Kali ini gadis itu tak memakai hijab, justru di kepalanya terdapat perban luka. Bahkan sikunya juga di perban dengan perban yang agak tebal. Kenapa aku tidak tahu soal luka yang berada di sikunya? Yang sempat, malah memperhatikan luka yang berada di belakang kepalanya itu. Aku mengikuti para dokter dan tim medis yang memindahkan gadis itu yang katanya ditempatkan di Ruang Aisyah tujuh. "Vivi Ip?"Oh, tidak. Itu bukan Vivi Ip ternyata. Hanya ruangan biasa, tetapi atasnya ad
"Pak, saya membutuhkan tanda tangan dari bapak. Operasi harus secepatnya di jalankan karena ada kepala bagian dalamnya yang terluka."Bagaimana ini? Peristiwa silang sengkrawut memenuhi kepalaku tentang kebakaran mobil dan keramaian tadi, aku yakin semua yang ada di sana sudah terkendali dengan adanya Adi dengan tim.Mereka pemadam kebakaran, pasti tahu bagaimana juga cara mengefakuasi korban, bagaimana cara memadamkan api juga. Soal gadis itu, sudah aku duga kalau ini bakalan terjadi. Darah yang menetes dari kepala bagian belakangnya itu sudah memberi tanda kalau lukanya tidak ringan seperti pada umumnya. Bila aku terlambat memberi keputusan sedikit saja, akibatnya malah berbahaya untuk gadis itu."Baik, akan saya tanda tangani."***"Di mana orang tua gadis ini?"Operasi berjalan kurang lebih satu jam, tetapi aku belum juga mendapat kabar kalau orang tua gadis ini sedang berada di mana. Kenapa aku tidak meminta nomor telpon orang tua gadis ini lewat pamannya tadi? Kenapa juga aku
Soal motorku, entahlah nasibnya seperti apa? Aku cuma menaruhnya di pinggir jalan. Dan mungkin Pak Rifki sedang menunggu kedatanganku untuk servis laptopnya, sementara aku belum lekas datang juga. Kami sampai di kawasan Rumah Sakit Islam dan mendarat tepat di depan ruangan terbuka, yang di sana sudah tersedia banyak kasur dorong. Ramai juga rumah sakit ini. Mereka sang para perawat, ada yang bertugas menjaga ruangan terbuka dan ada petugas yang sebagian membantu agar pasien bisa secepatnya di urus dalam ruangan. "Mas, tolong angkat keponakan saya, ya! Sementara saya akan mendaftarkannya ke ruangan administrasi."Aku menuju mobil bagian tengah untuk mengangkat gadis berhijab orange dan membawanya ke kasur dorong yang tersedia di sana. Ke dua matanya terpejam rapat, mulut kecilnya mengatup. Lalu pada bagian pipinya ada sejumlah air mata yang tidak lama mengalir. Apakah dia merasakan sakit perih atas lukanya? Bukannya dia sedang pingsan? Darah yang membasahi bagian kepala belakangny
"Siap. Aku usahakan tim lebih cepat untuk ke sana." "Terima kasih, wassalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Gadis berhijab orange itu memusatkan perhatianku kembali kepadanya. Apakah aku akan membawanya ke rumah sakit saja? Mereka sang para saksi mata tidak ada yang berani untuk ke sana, meski hanya sekejab untuk menolong gadis itu. Bukankah dekat dari sini juga berbahaya, karena api bisa menyebar ke mana saja?Aku memberanikan diri menghampiri gadis yang mulutnya telah terkatup rapat dan tak lagi berbicara. Gadis itu sepertinya benar-benar pingsan setelah banyak menghirup asap mobil yang berada di dekatnya."Hei, jangan mendekat!"Semua teriakan itu aku dengar hampir ke seluruh sisi, namun aku tak peduli. Percuma bila mereka teriak saja dan tak ada yang bertindak. Nyawa gadis yang terbaring itu tak akan terselamat pula karena ledakan mobil yang mungkin akan segera terjadi. Semakin kumendekat pada singgah gadis itu, panasnya api yang membakar mobil menggelayut di sekujur tubuh bagian
Gadis dengan hijab pasmina orange itu berhasil membuat pusat pandanganku jatuh padanya. Dan dia, kali ini terbaring lemah dengan resah yang bertandang di samping jalan dekat dengan mobil yang terbakar."Hei, jangan dekat-dekat sama mobil! Siapa tahu, nanti malah meledak!" Orang-orang sekitar benar-benar tidak ada yang berani mendekat. Mereka takut dengan ledakan. Untuk itu, mereka lebih memilih terpaku, lalu mengambil langkah mundur dan tak melakukan apa-apa. Bahkan mereka mencegah siapapun yang mendekati mobil."Kenapa tidak ada yang menolong?""Bagaimana bisa menyelamatkan, Mas. Itu api mobilnya semakin besar kalau kita ada yang ke sana ... takutnya mobil justru akan meledak." Seorang lelaki hampir paruh baya di sebelahku yang menjawab Api semakin melahap semua badan mobil begitu cepat. Terutama bagian depan yang terlihat kacanya mulai pecah semua dan menghitam bagai arang yang sengaja dibakar. Sementara di sebelah barat, ada suara yang meraung keras dengan tangan yang melambai.