“Hebat ya kamu sudah membuat harga diri Anang jatuh di mata para tetangga. Seharusnya sejak awal kamu tidak memanggil Hanin untuk datang ke rumah. Lihatlah Melati yang hanya sakit radang tenggorokan saja. Karena kamu, Hanin sudah mengatai Anang sebagai suami yang tidak becus dan menagabaikan keluarganya.” Kata Ibu mertua tanpa henti. Tanpa memperhatikan jika banyak orang yang sudah memegang kamera tengah merekam kami. Mas Anang juga tidak sadar jika Ibunya tengah mempermalukan diri sendiri sehingga menarik perhatian orang lain.
“Maaf ada apa ini ribu-ribut?” Tegur suster yang datang bersama Hanin. Ibu mertua langsung gelagapan hingga tanpa sadar mundur menyentuh tembok. Aku menghela nafas lega saat meljhat adikku sudah masuk.“Nggak ada masalah apapun suster. Hanya masalah keluarga saja. Maaf sudah membuat keributan.” Jawabku masih berusaha untuk menutup aib keluarga kami. Membuat aku bisa mendengar beberapa Ibu-ibu yang berbisik kagum padaku.“Oh begitu. Tolong jangan buat keributan lagi. Kasihan sama pasien yang lain.” Kata suster itu sambil melepaskan infus di tanganku. Aku hanya bisa menganggukan kepala sungkan.Setelah suster itu keluar dari ruangan ini, Hanin membantuku untuk berdiri. Tapi, aku menahannya sejenak agar kami tidak langsung keluar. Tanpa mempedulikan Ibu mertua yang masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa dia terlihat sangat ketakutan melihat Hanin. Padahal biasanya Ibu mertua dan Mas Anang hanya sungkan saja padanya. Mungkin aku harus bicara berdua saja dengan adikku itu untuk menyanyakan hal ini.“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah membuat keributan di ruangan ini hingga mengganggu waktu istirahat kalian.” Ucapku lalu menundukan kepala yang di sambut dengan beberapa ucapan bernada menyemangati.“Saya tadi lihat ada beberapa orang yang mengacungkan ponselnya ke arah kami. Maaf jika saya mungkin salah menduga, jika ada di antara kalian yang merekam kejadian tadi, tolong untuk segera di hapus. Saya tidak ingin anak dan keluarga saya sampai malu saat video tadi sudah tersebar. Karena saya bisa menyelesaikan masalah tadi secara kekeluargaan.” Tampak raut wajah beberapa orang yang merasa bersalah. Tapi, mereka semua bergumam setuju atas permintaanku.“Terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi dulu.” Hanin menuntunku untuk keluar. Meninggalkan Mas Anang dan Ibu mertua berdua saja di ruangan ini.Kami masuk ke dalam ruang rawat Melati. Untunglah putriku tidak perlu menjalani operasi. Dengan makanan yang sehat, Melati akan bisa sembuh sendiri. Sejak tadi Hanin terus menolehkan kepalanya ke arah pintu. Ia bangkit berdiri saat aku tengah berbincang dengan Melati lalu mengunci kamar VIP ini.“Melati sayang, Tante mau ngobrol sama Ibu di sofa dulu ya. Melati nonton TV aja. Mau nonton kartun apa?”“Tayo tante.” Ucap Melati dengan suara lemah. Karena kondisi kesehatannya belum pulih benar. Hanin lalu memutar salah satu stasiun TV yang tengah menayangkan kartun yang berasal dari luar negeri itu.Kami lalu duduk di sofa yang ada di pojok ruangan. Hanin memberiku sebotol air lebih dulu. Karena ia sendiri kemudian sudah minum botol air yang lain. “Apa yang ingin kamu bicarakan Nin?” Tanyaku heran.“Mbak Harum jujur padaku sekarang. Apa saja yang sudah di lakukan keluarga laknat itu padamu?” Tanya Harum dengan suara rendah menahan amarah.Aku bingung harus menceritakan hal ini pada Hanin atau tidak. Karena jika aku menceritakan semua detail yang aku lewatkan selama ini, Hanin pasti akan langsung memaksaku untuk pergi dari rumah itu. “Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Yang jelas aku belum bisa langsung berpisah dari Mas Anang, Nin?”“Kenapa Mbak?” Tanya Hanin dengan kedua mata yang membulat tidak percaya.“Aku mau mendapatkan semua hakku selama ini dari mereka. Bukan untukku. Tapi, untuk masa depan Melati kelak.” Hanin meraup wajahnya dengan pandangan tidak percaya. Dia tidak bisa melawan sifat keras kepalaku yang masih mau bertahan di rumah itu.“Tapi, Mas Anang itu berbahaya Mbak. Dia saja bisa mendorong Mbak Harum sampai masuk ke rumah sakit. Ini bukan pertama kalinya kan?” Todong Hanin dengan wajah serius. Aku terpaksa menganggukan kepala dengan kaku.“Itu karena aku terbiasa untuk mengalah. Besok-besok aku tidak akan diam saja jika mereka memperlakukanku dengan buruk. Karena tadi aku melihat Ibu mertuaku ketakutan denganmu setelah berani mengancamku, cerita sekarang apa saja yang sudah kamu katakan padanya.” Bukannya menjawab pertanyaanku, Hanin justru tertawa puas.“Ceritanya cukup panjang.”Hanin cerita jika dia mendengar suara cekcok kami dari luar rumah. Perasaannya tidak enak saat tidak terdengar suara lagi dari dalam rumah kami. Hanin lalu memutuskan untuk masuk ke dalam. Ia membuka pintu tanpa peringatan dan melihatku sudah jatuh pingsan. Melihat Mas Anang yang buru-buru menyingkirkan kardus kosong dari atas kepalaku membuat Hanin segera keluar rumah. Mengabaikan Ibu mertua yang tengah asyik menonton TV di ruang tengah.“Tolong kakak saya. Dia pingsan. Tolong. Tolong.” Teriak Hanin yang membuat para tetangga jadi berdatangan. Ibu mertua sudah terlonjak kaget mendengar teriakan Hanin. Apalagi saat melihat para tetangga sudah masuk ke dalam rumah.Termasuk Pak RT yang rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Para tetangga segera masuk ke dalam rumah. Melihatku yang tengah berusaha di gendong oleh Mas Anang. Para pria dengan sigap membantu Mas Anang hendak membawkau ke atas tempat tidur. “Jangan Pak. Tolong masukan kakak saya ke dalam mobil di depan. Dia tadi baru di dorong sama suaminya sampai tertimpa kardus kosong. Saya takut terjadi hal yang buruk pada kakak saya seperti gegar otak.” Kedua mata Mas Anang membulat mendengar pengakuan Hanin.Para Ibu-ibu sudah bergosip ria sambil menatap Ibu mertua yang tegang. Tubuh Mas Anang juga menjadi kaku hingga tidak sadar jika aku sudah di gendong menjauh. Setelah kami sampai di rumah sakit, Hanin langsung memaki Mas Anang sebagai suami yang tidak becus dan pilih kasih pada keluarganya. Dia juga mengatakan akan melaporkan hal ini pada Papa karena orang tua kami sudah memaafkanku. Mudah saja membuat Mas Anang di pecat dari pekerjaannya lalu di penjara jika benar melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga padaku.“Ibu mertuamu langsung memohon ampun di depanku Mbak. Dia tidak mau anaknya di penjara karena Mas Anang adalah tulang punggung keluarga. Ia bahkan sampai berlutut di kakiku di hadapan banyak orang. Membuatku jadi malu sendiri. Aku pikir permintaan maaf suami dan ibu mertuamu tadi tulus. Tapi, ternyata mereka hanya berpura-pura.”Aku menghela nafas pelan. Sudah tidak bisa terlalu lama menyimpan kelakukan Mas Anang dan Ibu mertua selama ini padaku. Namun, di sisi lain aku juga tidak bisa kembali pada Papa dan Mama. Masih terngiang dalam kepala bagaimana Mama yang melarangku datang ke rumah mereka kecuali saat hari raya saja. Walaupun Hanin mengatakan jika Mama sudah memaafkanku.“Lalu, apa rencana Mbak Harum selanjutnya?” Pertanyaan Hanin seketika membuyarkan lamunanku.“Aku ingin menggunakan ketakutan mereka untuk mengambil gaji Mas Anang yang seharusnya ia berikan padaku selama ini. Kamu mau membantukukan Nin?” Aku sudah menggenggam tangan Hanin yang kasar karena setiap hari harus memasak di warungnya.“Tentu saja aku mau Mbak. Kita akan beri pelajaran pada mereka.”***Melati masih akan di rawat satu hari lagi hingga kondisinya pulih. Aku yang juga sudah sehat meminta Hanin agar art di rumahnya mengirim baju Hanin agar bisa aku pinjam. Karena Hanin sendiri tidak mau meninggalkanku dan Melati di ruangan ini.Tok… tok.. tok..“Masuk.” Jawab Hanin yang tengah duduk di sofa. Sedangkan aku duduk di kursi samping tempat tidur Melati untuk menemani putriku yang sedang menonton kartun di TV.Tampak sosok Mas Anang dan Ibu mertua masuk ke dalam kamar. Wajah Ibu dan anak itu kelihatan tegang sekali. Mereka pasti masih memikirkan ancaman Hanin tadi. “Melati sudah mulai sembuh Rum?” Tanya Mas Anang yang langsung berjala menuju sisi lain tempat tidur Melati. Di ikuti dengan Ibu mertua yang berjalan di belakangnya.“Sudah Mas.” Jawabku pendek. Ibu mertua hanya berdiri mematung di belakang tubuh anaknya.“Ehm. Ada yang mau aku dan Ibu bicarakan dengan kalian sebentar saja. Bisakan Rum?” Aku menganggukan kepala lalu berjalan menuju sofa.Hanin sudah meletakan laptopnya di atas meja dengan tangan bersedekap. Mas Anang dan Ibu mertua lalu duduk di sisi sofa yang lain. “Apa yang ingin kalian bicarakan sekarang?” Tanyaku langsung pada intinya.“Tolong jangan laporkan aku ke polisi. Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan.”“Termasuk dengan memberikan semua gajimu padaku?” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi menyeramkan.“Apa? Nggak boleh. Lebih baik kalian berpisah daripada Anang menyerahkan semua gajinya padamu.” Seru Ibu mertua tidak terima.“Baiklah jika Bu Munah tidak setuju. Papa saya akan membawa masalah penganiayaan pada Mbak Harum ke jalur hukum saat Mbak Harum mengajukan gugatan cerai. Dan Mas Anang akan membayar mahal sekali untuk waktu empat setengah tahun karena tidak memberikan Mbak Harum dan Melati nafkah dengan layak. Mungkin jumlahnya akan lebih dari seratus juta. Apakah Mas Anang sanggup untuk membayar uang sebesar itu?” Ibu mertua sudah terlihat gelisah. Padahal Hanin hanya menggertak saja. “Belum lagi dengan nafkah per bulan yang akan di bebankan pada Mas Anang. Jika Mas Anang melanggar, mudah saja bagi Papa membuat Mas Anang keluar dari pekerjaannya.” Sekali lagi Hanin membawa nama Papa untuk menakuti mereka. Padahal belum tentu Papa mau membelaku.“Ibuku hanya bercanda saja Nin. Tentu saja aku akan menyerahkan semua gajiku pada Harum. Asal Harum mau memaafkan aku.” Tangan Mas Anang terlihat memegang tangan Ibunya agar tidak bicara lagi.“Iyakan Bu?” Mas Anang mengedipkan matanya berulang kali.“Iya.” J
Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang. Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang
“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas A
Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu
Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi datar mendengar jawaban Papa. Walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. “Kenapa Pak Besan? Kalau Harum kerjakan lumayan untuk tambah pemasukan keluarga. Biar bisa membantu Anang mendapatkan uang.” Papa tetap menggelengkan kepalanya.“Mencari uang itu sudah tanggung jawab suami. Istri bisa membantu kalau memang nafkah yang di berikan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya membesarkan anak. Tapi, setahu saya gaji Anang itu sudah lebih dari tujuh juta per bulan. Cukuplah untuk kebutuhan kalian dir umah ini. Di tambah dengan kebutuhan Melati yang sudah sekolah. Karena saya yakin putri kami bsia mengelola gaji suaminya dengan baik.”Ibu mertua dan Yara jadi salah tingkah karena Papa tahu jumlah gaji Mas Anang. Maklum saja karena perusahaan tempat Mas Anang bekerja masih rekanan bisnis dengan perusahaan Papa. Kadang kala aku mendengar Mas Anang bercerita pada Ibu mertua jika dia datang ke perusahaan Papa karena kontrak kerja sama d
“Kenapa kamu terkejut seperti itu Rum? Hubungan kita dengan orang tuamukan sudah membaik. Aku juga ingin bisa bekerja di perusahaan keluargamu seperti Rasyid. Lagipula kamu sendiri menolak bekerja untuk membantuku memenuhi biaya hidup kita. Kalau aku bekerja di perusahaan keluarga sendirikan gampang. Bisa langsung dapat jabatan tinggi. Atau minimal jabatan yang setara dengan perusahaan tempatku kerja sekarang." Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat pelipis yang mendadak pening. Walaupun aku sudah menduga hal ini, rasanya tetap mengesalkan sekali.“Bukan begitu caranya Mas. Aku memang belum pernah cerita sama kamu kalau Rasyid itu bekerja di perusahaan Papa murni karena dia lolos seleksi lima tahun lalu. Terus menikah dengan Hanin. Jadi, seolah menantu Papa bisa bekerja disana dengan mudah. Padahal nggak begitu kenyatannya. Rasyid itu benar-benar merangkak dari bawah untuk sampai ke jabatannya sampai sekarang. Sama seperti kerja kerasmu di kantor. Bahka Rasyid menolak jaba
“Kok begitu Pak Besan? Bukannya sudah biasa seorang istri bekerja untuk membantu suaminya?” Tanya Ibu mertua yang terlihat tidak setuju. Tapi, tangan Mas Anang langsung memegang tangan Ibunya agar diam.“Baik Pa. Sudah tugas saya untuk memberikan nafkah pada anak dan istri. Jika Harum mendapat rezeki dari Papa, saya sama sekali tidak berhak atas uang itu. Saya juga tahu jika uang istri adalah uang istri.” Lagi-lagi Mas Anang lebih memilih untuk mengalah. Berbeda dengan Ibu mertua yang sempat protes tadi.Syukurlah tidak ada perdebatan malam ini. Walaupun raut wajah Ibu mertua masih tampak tidak setuju dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh anaknya itu. Setelah sholat isya’, Papa dan Mama langsung masuk ke dalam kamar tamu. Aku menemani Melati membuat PR di dalam kamar. Saat keluar dari kamar Melati yang sudah tertidur, tidak kudapati keberadaan Mas Anang dan Ibu mertua di ruang tengah. Biasanya mereka akan mengobrol sambil menonton sinetron kesukaan Ibu.Karena meras
Dasar. Sikap mereka sama sekali tidak pernah berubah. Sudah bertemu dengan Papa dan Mamaku saja masih membuat Yara berani minta uang pada kakaknya. Jariku menggulir layar hingga tampak hp Mas Anang yang di kunci menggunakan sidik jari. Katanya biar tidak bisa di otak-atik hingga tanpa sengaja terbuka sendiri. Dasar bodoh. Dia kira aku tidak bisa membuka hpnya dengan menggunakan jarinya sendiri saat Mas Anang sedang tidur?Tanganku sudah menempelkan jari jempolnya ke hp hingga terbuka. Pesan dari Yara langsung kubuka agar bisa membaca semuanya. [Mas besok berikan aku uang bonusmu untuk membeli sepatu baru Syifa ya. Suamiku belum kirim uang bulan ini. Katanya mau langsung di kasih setelah pulang. Kalau aku minta transferan sekarang dia pasti akan nanya kemana saja gaji yang di kirim bulan lalu.]Aku segera mengetikan pesan balasan untuk Yara dengan berpura-pura sebagai Mas Anang. [Nggak bisa Ra. Aku sudah membaca lagi surat perjanjian yang di bawa Papanya Harum. Jika aku memberikan uang
POV HarumSelama satu minggu bersembunyi di villa keluarga membuat Melati merasa sangat senang. Papa, Mama dan Hanin tidak bisa sering berkunjung agar Mas Anang tidak curiga. Mereka datang kesini dua hari sekali. Menghabiskan waktu pergi jalan-jalan ke pantai. Atau hanya sekedar membakar ikan di rumah. Melati juga senang memasak bersamaku di rumah yang sederhana tapi asri ini. Papa sengaja membangun rumah ini dalam bentuk sederhana untuk healing.Urusan gugatan cerai dan pengajuan tuntutan terkait KDRT sudah di urus oleh Pak Herman. Aku tinggal pergi ke kantor polisi jika Mas Anang sudah di jemput. Menunggu panggilan dari Papa dan Pak Herman. Siang ini panggilan itu akhirnya masuk juga. “Besok Papa akan jemput kamu di villa. Biar Bude Yah yang jaga Melati disana.”“Siap Pa.”Keesokan harinya, mobil yang di tumpangi Papa dan Mama sudah berhenti di halaman rumah. Melati langsung menghambur dalam pelukan neneknya. Aku berpamitan pada Bude Yah dan Melati lalu masuk ke dalam mobil Papa. Se
Sudah satu minggu berlalu. Tapi, aku tidak kunjung bisa menemukan keberadaan Harum dan Melati. Kadang kala aku tetap berkunjung ke rumah mertua dan rumah Hanin. Sama seperti saat itu, rumah mereka masih sepi karena sibuk mencari istri dan anakku. Sejak tiga hari lalu, Ibu semakin uring-uringan karena Syahdan membawa Yara dan Syifa pulang ke rumah orang tuanya yang ada di luar pulau. Syahdan mengatakan dia akan menitipkan anak dan istrinya pada keluarganya sendiri karena sudah tidak percaya lagi padaku dan Ibu.Tentu saja perkataan Syahdan membuat Ibu marah besar. Bahkan Ibu mengancam tidak akan mau mengakui Yara sbeagai anak lagi jika berani ikut suaminya pergi. “Jangan begitu Bu. Nggak baik menyuruh Yara bercerai dari Syahdan. Siapa yang akan menghidup Yara dan Syifa kelak.” Kataku kala itu. Menenangkan Ibu yang masih mengamuk di dalam kamarnya.“Kan masih ada kamu Nang. Yara dan Syifa akan baik-baik saja tanpa Syahdan. Toh dia juga sering pergi bekerja di laut.” Kekeh Ibu yang tidak
Seketika Ibu menghela nafas lega. Tapi, entah kenapa perasaanku jadi tidak enak. Seperti ada yang salah. Namun, aku tidak tahu dimana letak salahnya. Mungkin hanya firasatku saja. Bagaimanapun juga aku tidak ingin membuat Papa dan Mama jadi curiga. Jika benar Harum kabur dengan membawa Melati, mungkin saja penyebabnya karena dia sudah tahu tentang jebakan yang aku buat. Aku harus menemukannya lebih dulu sebelum polisi.“Kami masih ingin melanjutkan pencarian sendiri di pinggir kota. Kamu mau bareng Nang?” Aku sontak menggelengkan kepala untuk menolak tawaran Papa mertua.“Mendingan kita berpencar saja biar Harum dan Melati lebih cepat di temukan Pa.”“Baiklah. Kami pergi dulu. Kalau ada penemuan baru segera hubungi kami.”“Baik Pa.” Aku dan Ibu masih berdiri di tempat kami saat mobil yang di naiki orang tua Harum sudah pergi meninggalkan pekarangan kantor polisi. Ibu memintaku untuk segera pergi juga. “Lebih baik kita istirahat saja di rumah. Ibu sudah capek. Toh orang tua Harum suda
POV AnangSiapa yang tidak mau jadi orang kaya. Begitu juga denganku. Karena itulah aku mendekati Harum agar bisa bekerja di perusahaan keluarganya. Sayang sekali orang tua Harum tidak bisa menerimaku jadi menantu mereka. Membuatku melampiaskan semua rasa kesal pada Harum dan Melati. Karena aku lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidup Ibu dan adikku yang juga sudah menikah serta punya anak.Aku juga membiarkan Harum meminta uang pada Hanin. Toh orang tuanya sudah tidak peduli. Hingga kejadian hari itu saat Melati sedang sakit membuat Hanin bisa mengancamku untuk melaporkan ke polisi atas pasal kekerasan dalam rumah tangga. Belum lagi hubungan Harum yang sudah membaik dengan orang tuanya. Membuat istriku sudah berani untuk berbalik melawanku.Mau bertahan juga percuma karena aku tidak mungkin akan bisa menguasai harta keluarga Harum. Maka, jalan satu-satunya adalah dengan berpisah dari Harum lalu mencari mangsa baru. Ibu memberikan usul agar kami menjebak Harum seolah-olah dia yang
Mas Anang tersenyum senang mendengar jawabanku. “Kenapa Mas? Memang kita akan ada tamu hari ini?” Mas Anang menganggukan kepalanya.“Iya. Ada temanku di kantor yang mau resign. Karena itulah aku mengundangnya untuk makan malam di rumah kita. Nggak masalahkan?” Aku menggelengkan kepala.“Nggak masalah. Biar aku masakan makanan spesial untuk kalian. Tapi, malam ini Melati minta di antar menginap di rumah Papa dan Mama. Jadi, nanti sore aku akan mengantar Melati kesana dulu.” Wajah Mas Anang tampak keberatan. Tapi, ia tetap menyunggingkan senyum lalu menganggukan kepalanya.“Boleh. Kamu nggak akan ikut menginapkan?”“Nggak dong. Aku juga harus ikut menjamu tamu kita.”Untuk saat ini aku akan tetap mengikuti permainan kalian. Mas Anang lalu pamit berangkat kerja. Sejak pagi aku sudah merasa jika Ibu mertua terus mengawasiku. Sikapku tetap biasa saja di rumah ini. Agar dia tidak curiga. Sore hari sudah tiba. Aku sudah selesai memasak makanan lalu di tata di meja makan.“Bu aku pergi dulu u
“Kenapa sih Mas? Kamukan suka sop yang rasanya asin.” Raut wajah Mas Anang tampak panik sekali. “Bukan begitu Rum. Tapi, aku rasa sopku sendiri juga sudah asin sekali. Kamu nggak akan suka.”“Masa sih?” Aku segera menyendok sop di mangkuk Mas Anang tanpa sempat ia cegah.“Sama sekali nggak asin kok Mas. Nih tukar sama aku.” Dengan cepat aku menukar mangkuk sup kami. Mulut Mas Anang sampai ternganga. Sepertinya dia hendak bicara, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.“Ayo kita makan sekarang saja.” Seru Syahdan sekali lagi.Aku dan Melati makan dengan lahap. Begitu juga dengan Ibu mertua yang dengan gerakan patah-patah menyendokan nasi ke dalam mulutnya. Hanya Mas Anang yang masih diam saja. Ia lalu memakan nasi dengan lauk yang lain. Tapi, Mas Anang sama sekali belum menyentuh sop daging kesukaannya.“Kok kamu nggak makan sama sop Mas?” Tanyaku pura-pura heran.“Eh. I, ini baru mau aku makan kok.” Aku terus memperhatikan Mas Anang yang akhirnya makan sop daging itu. Mungkin
“Kenapa buka hp orang lain sembarangan sih Mbak?” Yara berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan pura-pura marah padaku.“Sini duduk dulu Ra. Nggak capek apa berdiri terus disana sejak tadi?” Aku berdiri sejenak lalu menarik tangan Yara agar duduk di sampingku. Syahdan hanya diam saja memperhatikan kami.“Kamu pasti paham kalau aku sudah tahu semua rencana Mas Anang dan Ibu kalian?” Tanganku masih memegang bahu Yara. Hingga aku bisa merasakan tubuhnya yang mematung. Belum lagi dengan keringat dinginnya yang membasahi wajah.“Jadi, jangan bilang apapun pada mereka jika kamu tidak mau aku permalukan lewat sosial media. Bisa kamu bayangkan bagaimana tanggapan teman-temanmu itu saat kamu sering minta uang pada kakakmu yang sudah punya istri dan anak? Mengerikan sekali bukan?”Deretan pertanyaan itu tidak ada yang di jawab oleh Yara. Aku melepaskan pelukan kami. Yara lalu menghela nafas lega. “Aku akan melakukan apapun asal kamu mau mengurangi uang pemberian Mas Anang yang kau anggap hu
Bibi di rumah ini sudah menyajikan tiga gelas teh hangat di tengah meja. Syahdan masuk ke ruang tamu dengan kaos dan celana pendek. Senyumnya mengembang saat melihatku. “Loh Mbak Harum. Aku kira masih menginap di rumah orang tuamu.” Kata Syahdan sambil menjabat tanganku. Walaupun aku tidak mengerti maksud perkataan Syahdan tadi, tapi aku tetap menganggukan kepala.“Baru saja hari ini pulangnya. Tapi, Melati masih di rumah Kakek dan Neneknya. Jadi, hanya aku sendiri yang pulang.” Kuikuti saja permainan mereka untuk saat ini. Syahdan menganggukan kepalanya mengertii.“Berarti kondisi Mamanya Kak Harum sudah lebih baik? Kata Mas Anang dia sampai bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani mertuanya. Aku ikut senang kalau hubungan kalian sudah membaik dan bisa jadi keluarga yang utuh.”“Alhamdulillah.” Sejak tadi mataku terus tertuju ke ruang tengah, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Yara yang akan keluar untuk menyapaku.“Yara kemana? Ada yang mau aku bicarakan juga dengannya.”“Yara
Mas Anang kembali mengacak-acak rambutnya. Wajah suamiku itu terlihat sangat frustasi sekali. Matanya sudah mendelik marah karena mendengar penolakanku barusan. Tapi, di satu sisi dia juga tidak mengungkapkan kemarahannya padaku seperti biasa. Karena Mas Anang sudah berjanji padaku untuk berubah. Meskipun semua itu hanya sandiwara belaka.“Oke. Aku nggak akan memaksa kamu lagi. Tapi, beri waktu Yara dua minggu lagi. Jangan tiga hari.” Dua minggu lagi? Itu berarti setelah mereka melakukan jebakan itu padaku. Aku kembali menggelengkan kepala. “Tidak mau. Batas waktunya tetap tiga hari lagi. Kamu tidak boleh melakukan negosiasi apapun lagi Mas. Atau aku akan memberi tahu Syahdan sekarang juga.”“Mau kamu apa sih Rum?” Hardik Mas Anang yang akhirnya lepas kendali.“Mau aku mengambil kembali semua uang yang kamu berikan pada Yara dan Syifa. Apa semua itu masih kurang jelas?” Balasku yang juga berteriak. Kuletakan begitu saja baju yang tadi ku genggam.“Saat kamu memutuskan untuk berubah,