“Maksud lain?”
Dante tidak menyahut selama beberapa detik, hanya matanya yang terus menatap lurus Regan. Tangan Poppy yang memegang sendoknya sudah berkeringat, tapi Regan masih saja bersikap santai sambil makan.
“Lo sendiri aja gak bisa?” tanya Dante berikutnya, suaranya lebih terdengar serius dan dingin.
Alarm di kepala Poppy langsung menyala. Jadi, sebelum Regan membuka mulutnya, ia buru-buru menyela. “Maaf, Kak Regan, aku gak bisa ikut. Aku lupa ada janji sama temen aku hari ini.”
Dante buru-buru memutar kepalanya. “Janji sama siapa?”
“Layla, teman kerja aku.”
Walaupun belum memiliki janji sama sekali dengan Layla, ia harus memastikannya setelah ini. Apa pun itu asalkan tidak ada di rumah dan tidak bersama Regan. Menghadapi dua pria yang sama-sama keras kepala ini malah membuat kepala Poppy sakit sendiri.
Dante sudah perc
Kata ‘terserah’ yang diucapkan dengan marah oleh Poppy itu seolah tidak diacuhkan Regan. Begitu Poppy dan Layla keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil Layla, sebuah mobil hitam di parkiran membunyikan klaksonnya dua kali. Ketika menoleh, Poppy pun hanya bisa menghela napas. Ia hapal betul siapa pemilik mobil Fortuner hitam itu.Seolah belum cukup mengejutkan Poppy, Regan pun keluar dari mobil dan menyapa Layla. Ia juga meminta izin wanita itu untuk membawa Poppy bersamanya. Janji untuk berbelanja jilid dua pun batal, dan Layla jelas-jelas terlihat semringah “menitipkan” Poppy kepada Regan—seperti ibu-ibu di Serenity Spring School.Poppy sendiri tidak bisa bertingkah. Sekuat apa pun keinginannya untuk menolak ajakan Regan, tatapan pria itu lebih menghipnotisnya. Poppy seperti anak bebek yang mengikuti sang induk ke mana saja.“Dari mana Kakak tahu aku lagi di mana?&rd
“Kamu begitu basah....”Aku menggigit bibir bawahku ketika mendengar suara seraknya. Entah itu pujian atau ejekan, aku tidak bisa membedakannya. Dia memang selalu menggunakan nada seperti itu ketika berbicara kepadaku... dan jangan lupakan senyum miring dengan kerlingan mata tajamnya.Ruangan bernuansa merah dengan aroma musk yang kuat membuat tubuhku semakin panas. Temaramnya lampu membuat pria di atasku itu terlihat semakin menggoda. Tubuhnya yang berkeringat bergerak seperti binatang liar di atasku. Bibirnya yang tebal tersenyum penuh sensual, memberikan siluet tegas di garis rahangnya.“Apa boleh aku menyentuhnya?” dia bertanya lagi, kali ini sambil membelaiku dari luar celana dalam. Sial! Kalau begitu, kenapa harus bertanya?Aku ingin mengumpat, tapi desahan di ujung lidahku menghentikannya. “K-kamu... ugh!”“Ssst...” Pria itu kembali merangkak ke atas, meskipun tangannya masih ada di bawah sana. Napasnya yang panas terasa menyentuh bibirku. “Aku sudah bilang, yang perlu kamu lak
Gerakan tangan Poppy yang baru saja menutup pintu ruang guru di belakangnya pun terhenti. Dahinya sedikit mengeryit. Wanita di seberang sana menyebutkan nama kakaknya yang merupakan seorang legal perusahaan besar. Apa... Dante tiba-tiba dituntut balik kliennya karena kalah di pengadilan?Asal tahu saja, walaupun Dante adalah kakak yang baik, ia tidak cukup yakin dengan kemampuannya sebagai orang legal.“Iya, benar?” walaupun itu kalimat pernyataan, entah kenapa Poppy malah terdengar seperti sedang bertanya.“Begini, Mbak Poppy. Saya disuruh untuk menghubungi Mbak Poppy oleh Dokter Regan karena... Bapak Dante pingsan—““HAH?!”Seperti kata pepatah, orang bodoh itu jarang sekali sakit. Itulah yang selalu terjadi kepada Dante. Kakaknya memang orang legal, tapi—sekali lagi—Poppy tidak pernah menyangka kalau itu adalah profesi kakaknya. Sekeras apa pun Dante bekerja, lembur berhari-hari, sampai rela ke luar kota, pria itu kuat bagaikan tembok bendungan.Namun... apa kata orang itu? Dante p
Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”“Popp
“Eh, eh, mau ke mana?” Dante menghentikan Poppy yang baru mau beranjak. “Kalau mau ngobrol, di sini aja.”“Pasien itu harus istirahat, jangan bawel.” Regan menarik tangan Poppy ke arahnya. “Dan inget, lo harus puasa abis ini, sebelum operasi besok pagi.”Gerutuan Dante tidak bisa Poppy dengar dengan jelas karena Regan sudah menariknya lebih dulu. Pikiran Poppy sudah berkelana entah ke mana. Apa ini soal penyakit Dante? Apa begitu serius sampai-sampai Dante sendiri tidak boleh mendengarnya?Regan membawa Poppy menuju ruangannya yang berada satu lantai di atas. Selama perjalanan itu, mereka berdua hanya diam. Terlalu banyak yang Poppy pikirkan sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Ia hanya memandangi punggung tegap Regan yang tampak semakin gagah dengan sneli itu.Ia baru mendapatkan pijakannya kembali ketika Regan membuka pintu ruangannya.“Sakitnya Kak Dante parah, ya?” tanya Poppy pelan sambil melangkah masuk.Regan menutup pintu itu. “Kamu gak perlu khawatir, dia bakal baik-baik
Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?Poppy tidak mau membayangkan itu!“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.“Begitu?”Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.Poppy tidak tahu ap
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Kata ‘terserah’ yang diucapkan dengan marah oleh Poppy itu seolah tidak diacuhkan Regan. Begitu Poppy dan Layla keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil Layla, sebuah mobil hitam di parkiran membunyikan klaksonnya dua kali. Ketika menoleh, Poppy pun hanya bisa menghela napas. Ia hapal betul siapa pemilik mobil Fortuner hitam itu.Seolah belum cukup mengejutkan Poppy, Regan pun keluar dari mobil dan menyapa Layla. Ia juga meminta izin wanita itu untuk membawa Poppy bersamanya. Janji untuk berbelanja jilid dua pun batal, dan Layla jelas-jelas terlihat semringah “menitipkan” Poppy kepada Regan—seperti ibu-ibu di Serenity Spring School.Poppy sendiri tidak bisa bertingkah. Sekuat apa pun keinginannya untuk menolak ajakan Regan, tatapan pria itu lebih menghipnotisnya. Poppy seperti anak bebek yang mengikuti sang induk ke mana saja.“Dari mana Kakak tahu aku lagi di mana?&rd
“Maksud lain?”Dante tidak menyahut selama beberapa detik, hanya matanya yang terus menatap lurus Regan. Tangan Poppy yang memegang sendoknya sudah berkeringat, tapi Regan masih saja bersikap santai sambil makan.“Lo sendiri aja gak bisa?” tanya Dante berikutnya, suaranya lebih terdengar serius dan dingin.Alarm di kepala Poppy langsung menyala. Jadi, sebelum Regan membuka mulutnya, ia buru-buru menyela. “Maaf, Kak Regan, aku gak bisa ikut. Aku lupa ada janji sama temen aku hari ini.”Dante buru-buru memutar kepalanya. “Janji sama siapa?”“Layla, teman kerja aku.”Walaupun belum memiliki janji sama sekali dengan Layla, ia harus memastikannya setelah ini. Apa pun itu asalkan tidak ada di rumah dan tidak bersama Regan. Menghadapi dua pria yang sama-sama keras kepala ini malah membuat kepala Poppy sakit sendiri.Dante sudah perc
Entah bagaimana lima menit waktu yang dijanjikan berubah menjadi berjam-jam lamanya. Namun, pada akhirnya Poppy tidak bisa protes karena dirinya sendiri yang jatuh tertidur lebih dulu. Begitu Poppy terjaga, jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi dan Regan sudah tidak ada di sana. Entah jam berapa pria itu meninggalkan kamarnya.Poppy hanya berharap, Dante tidak melihatnya.Karena ini hari Sabtu, Poppy agak sedikit bersemangat. Jadi, tanpa mandi terlebih dulu, Poppy keluar dari kamar dan siap untuk membuat sarapan. Dante bilang, hari ini ia tetap harus ke kantor karena ada berkas penting yang harus diurus. Lagi pula, mereka memang biasa untuk tetap sarapan ringan walaupun libur sekali pun.Namun, sebelum langkahnya mencapai dapur, Poppy sudah mencium aroma sedap. Harumnya seperti bawang bombai yang ditumis. Benar saja, semakin kakinya melangkah, ia bisa mendengar suara peralatan dapur beradu di sana.Dan matan
“Regan bukan orang yang bisa kamu handle, Dek.”Poppy berbalik badan. Suara Dante tadi pagi kembali terngiang. Padahal sudah dua belas jam lewat sejak kakaknya mengucapkan kalimat itu. Bahkan, langit sudah berubah menjadi gelap dan Dante sudah mendengkur di kamarnya sekarang, tetapi Poppy masih belum bisa melupakannya.Kepalanya bertambah penuh kala obrolan mereka berlanjut setelah itu.“Kamu keluarga aku satu-satunya, kamu tau, kan? Kakak cuma gak mau kamu sakit.”Hahh….Poppy mendesah panjang, mengubah posisi tidurnya menjadi berbaring—menatap langit-langit kamar.Poppy hanya tahu kalau kakaknya kurang peka, tetapi apa yang mendasarinya mengucapkan hal itu tadi pagi? Apakah Poppy dan Regan terlalu jelas di matanya? Atau ini insting dari seorang kakak? Poppy tidak paham, yang pasti dia merasa kha
Pagi berjalan normal keesokan harinya. Poppy bisa bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Sebelum turun tadi, ia sudah sempat mendengar suara grasak-grusuk dari kamar Dante. Sepertinya, tidak lama lagi kakaknya itu juga akan turun untuk sarapan.Benar saja, ketika Poppy sedang memanaskan minyak untuk menggoreng nugget, langkah kaki khas milik Dante terdengar menuruni tangga. Tidak lama kemudian, terdengar suara kursi digeser yang diikuti suara nyaringnya.“Pagi, Adek,” sapa Dante yang baru menaruh tas di kursi dan berjalan menuju coffee maker.“Pagi, Kak,” jawab Poppy. Sambil memasukkan nugget ke minyak panas, ia melihat ke balik punggung Dante. “Kak Regan belum turun juga?”“Tadi, aku dengar dia lagi teleponan. Sebentar lagi mungkin.” Dante pun menengok ke arah kompor. “Sarapan apa, Dek?”
Jujur saja, Poppy tidak ingin pulang ke rumah sekarang. Bukan karena masih ingin berduaan dengan Regan—meskipun itu setengahnya benar—tetapi karena takut berhadapan dengan Dante. Poppy tidak terbiasa berbohong. Ia takut Dante langsung mencium hubungan mereka ketika memasuki rumah.“Gak apa-apa,” ucap Regan tiba-tiba setelah mobilnya terparkir di carpot. “Dante itu gak peka, jadi bersikap biasa aja.”Poppy tidak tahu harus marah karena Regan mengejek kakaknya, atau harus lega sekarang. Regan memang benar, pikiran Dante jauh lebih imajinatif daripada dirinya. Mungkin, dibanding memikirkan Poppy dan Regan berpacaran, Dante akan menyangka kalau Regan baru saja mencekoki Poppy obat diare tiga bungkus.Regan turun lebih dulu, terlihat memutari mobil untuk membukakan pintu Poppy. Namun, karena Poppy khawatir Dante tiba-tiba muncul, wanita itu membuka pintu sendiri sebelum Regan tiba. Ia jug
“Lo lagi sama Poppy?!”“Hm.”“Ngapain?”“Makan.” Yang lain….“Kok, bisa?!”Mendengar pertanyaan Dante yang semakin lama semakin naik nadanya, Regan pun menghela napas. “Tadi ada acara di TK dan gue jadi tamunya. Abis selesai, gue ajak Poppy makan sekalian. Abis ini pulang, kok.”“Makan di mana? Kok, lo gak ngajak gue?!”Entah Dante yang terlalu mempercayainya atau memang kelewat polos, Regan bersyukur karena pria itu tidak bertanya macam-macam lagi. Namum, tentu saja Regan tidak mau mencari gara-gara sekarang. Dante bisa saja berubah menjadi kakak super protektif yang menyebalkan.“Kenapa juga harus ajak lo?” Regan balas bertanya.Terdengar decakan dari seberang sana. “Ya udah, cepet balik deh. Gue laper, tolong bilangin Poppy.”&ldqu
Regan memandangi punggung telanjang yang setengahnya tertutup selimut itu. Jarinya memainkan rambut Poppy dari belakang dengan perlahan, berusaha untuk tidak sampai membangunkannya. Wanita itu tertidur karena kelelahan, padahal mereka hanya melakukannya satu kali.Faktanya, ia sedang menahan diri sekarang. Melakukan satu kali rasanya tidak cukup, tapi di satu sisi, ia juga tidak mau memaksa Poppy. Ini pengalaman pertama mereka, setidaknya Regan ingin menunjukkan sisi lembutnya. Yah… walaupun ia sendiri tidak yakin apakah tadi sudah bersikap cukup lembut atau tidak. Melihat beberapa tanda kemerahan di dada dan pinggang Poppy, sepertinya dia agak lupa diri tadi.Regan akhirnya mendesah dan mendongak. Kepalanya menyuruh untuk tidak lagi memperhatikan punggung telanjang itu, tapi matanya berkata lain. Alhasil, tubuh Regan kembali menegang. Haruskah ia membangunkan Poppy dan menyuruhnya pakai baju? Namun, wanita itu ba
Untuk pertanyaan kali ini, Poppy tidak bisa langsung menjawab. Sebagai seorang penulis, Poppy merasa sudah mendapatkan data yang cukup untuk novelnya. Namun di satu sisi, hatinya seolah enggan menghentikaan apa yang sudah terjadi. Perasaannya terhadap Regan lebih dari sekadar ingin mendapatkan pengalaman pria itu.Namun, Regan tidak sesederhana itu. Melihat bagaimana wanita-wanita bisa saja berdatangan dengan mudah kepadanya, dan bagaimana reaksi Regan setelahnya, Poppy tidak yakin bisa menjalani itu dengan mudah.“Kayaknya….” Poppy menelan air liurnya. “Kakak bisa berhenti buat ajarin aku.”Regan tidak menjawab, membuat ucapan Poppy semakin tak terarah. “Pasti aku udah nyusahin Kakak selama ini, kan? Kakak juga pasti kesal sendiri ajarin cewek yang gak punya pengalaman kayak aku. Aku… bahkan gak punya sisi menarik—”Poppy pun tersadar dan segera berdiri dari so