“Ri, kamu tau—““Sst … bentar, May. Ini hape-ku bunyi terus dari tadi, aku telpon balik dia dulu ya.” Riana berkata sembari mengangkat tangan, meminta Maya untuk menahan ucapannya sebentar.Dilihatnya panggilan telepon telah berderet, sebab sebenarnya telepon Riana memang sudah berdering sejak dia masih ada di rumah. Riana tahu pasti bahwa itu dari Reinald, maka itu dia sengaja tidak angkat di depan Jagat. Bukan menyembunyikan sesuatu, dia hanya tidak ingin suaminya berpikiran aneh-aneh lagi terhadap Reinald.“Halo, Rein ….” Riana melirik kepada Maya. Sahabatnya itu masih menatapnya tidak berkedip, jiwa keingintahuan Maya memang susah untuk dikendalikan. Entah mengapa, kali ini Riana menjadi tidak nyaman, istri Jagat itu pun meninggalkan Maya, untuk mencari ruang lain yang sekiranya terbebas dari jangkauan kuping sahabatnya itu.“Na, maaf ya, aku terpaksa telpon pagi-pagi begini, takut nanti aku tidak sempat lagi,” ucap Reinald.“Iya, enggak apa-apa, Rein, aku udah di kantor kok. Kamu
“Jadi benar Riana menerima telpon dari dokter Rienald di kantor?” tanya Jagat. Entah mengapa nadanya naik, nyaris seperti orang berteriak. Napasnya pun terdengar menderu setelah mengucapkan kalimat itu.“Iya, Mas. Aku memang tidak bisa mendengar semua pembicaraan mereka, tapi aku mendengar Riana menyebut nama dokter itu.”“Dan mereka tertawa-tawa?” tukas Jagat. Mulutnya membentuk seringai hambar.Untuk satu pertanyaan ini, Maya perlu menghela napas sebelum akhirnya mengiyakan.“May, aku mau tanya ke kamu, tolong jawab yang jujur ya!”Maya mengangguk patah-patah. Dalam benaknya muncul tanda tanya besar, apa yang harus dia jawab? Kalau soal Reinald, dia pernah memergoki Riana bertelepon dengan dokter itu dua kali. Dan memang percakapan mereka terdengar menyenangkan sebab banyak dijejali tawa di sana sini.“Kamu tau enggak kalau Riana punya uang banyak?” Jagat melempar tanya lagi. Setengah ragu, tetapi dia harus tahu kebenarannya. Apakah Riana merahasiakan ini semua dari orang lain, atau
Riana gadis manis yang memang sedikit kampungan untuk ukuran anak kuliahan saat itu. Outfit yang dia kenakan sama sekali tidak modis, jauh dari kata mengikuti tren. Belakangan Maya mengerti alasannya, tidak lain karena ekonomi keluarga Riana yang sangat sederhana. Padahal kehidupan dia sendiri pun tidak dapat dikatakan berlimpah, namun dia masih lebih beruntung dibanding Riana.Awal persahabatan mereka berawal di halte depan kampus. Riana menunggu bapaknya menjemput, sedang Maya menunggu angkot untuk pulang ke kost-nya.“Anak akuntansi ya? Kayak familiar wajahnya,” sapa Maya terlebih dahulu.“I-iya, kamu Maya kan?” balas Riana malu-malu.“Wah ternyata aku terkenal juga.” Dada Maya sedikit membusung, agak bangga bahwa teman sekelas yang dia tidak tahu namanya tetapi teman itu mengenal dirinya.Riana menutup mulutnya dengan satu tangan agar tawa tidak menyembur keluar. “Kan kamu yang kemarin disuruh maju gara-gara tidur di kelas.”Sedetik Maya melotot, namun kemudian terbahak-bahak. Ast
“Kok kamu tau, Ri?” Suara Maya tercekat di tenggorokan. Pikirannya mulai menjalar-jalar, mencari kemungkinan jawaban sekiranya benar bahwa Riana telah mengetahui pertemuan siang ini dengan Jagat.Riana tertawa riang. Benar-benar makin membuat Maya bingung. Apakah sahabatnya tertawa sebab benar-benar sudah tahu atau ….“Tuh, alpukatnya ada di kerah!” tunjuk Riana ringan. “Huu mampir nge-es enggak ngomong, tau gitu kan nitip.”“Astaga …,” desis Maya seraya mengambil potongan alpukat yang ditunjuk Riana. Dengan gemas dia lumat barang bukti itu di tangannya sendiri, setelahnya dia mengambil tisu untuk membersihkan jari.“Beli es di mana? Kok tumben enggak ngebungkus buat aku?” cicit Riana pura-pura komplain.Maya meringis. “Sorry, Ri, kami tadi buru-buru—““Hei, apa? Kami? Kamu ketemuan sama si Andri?” Mata Riana membulat. Agaknya kali ini dia serius.“Eh, ngawur aja, mana ada … aku cuma ketemuan sama temen biasa kok. Abis dia maksa banget, aku enggak tega.”“Yang penting enggak pinjam s
“Riana sudah pulang sekitar tiga atau lima menit yang lalu—““Jadi Riana enggak ada di sana?” Suara Jagat kentara sekali bergetar menahan sesuatu.Hati Maya berdesir. Semula dia ingin menutupi hal tersebut dari Jagat, namun otaknya cepat berpikir. Jika memang dirinya ingin membantu rumah tangga Riana dan Jagat, langkah pertama adalah membiarkan Jagat mengetahui yang sesungguhnya terjadi. Hal itu akan memudahkan Jagat untuk mengambil langkah yang diperlukan.“Iya, tapi Mas Jagat harus tetap tenang ya—““Gimana bisa tenang? Pasti dia ketemuan sama dokter itu,” tukas Jagat cepat. Bunyi isakan lirih menyusul setelah dia selesai bicara.Maya diam. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa.“Kupikir aku sudah mengalah, aku setuju untuk ketemu dengan psikolog biar Riana tidak punya alasan lagi untuk ngobrol dengan dokter itu, tapi nyatanya …,” lanjut Jagat.Maya tetap diam. Pikirannya sedang mereka-reka ke mana Riana pergi. Sepanjang ingatan Maya, Riana tidak begitu banyak mempunyai teman ak
“Dikunci?” Mata Jagat membulat. Sejak kapan?Dengan hati hancur, Jagat memasukkan gawai itu ke dalam tas Riana kembali. Dia mengusap wajah dengan kasar dalam sekejap mata. Menggelengkan kepala sebanyak tiga kali seraya menahan air mata. Apakah ini cukup sebagai bukti jika memang Riana ada maksud lain di belakangnya? Pertama, menyembunyikan fakta tentang uang. Kedua, berbohong lembur padahal entah pergi ke mana dan dengan siapa. Ketiga, mengunci telepon genggam. Untuk apa?“Mas.”Jagat terlonjak kaget.Riana mengernyit, “Ada apa?”Jagat terpaku, matanya hampir copot melihat kepala Riana terbungkus handuk. Sebuah kebiasaan istrinya sesudah keramas. Jangan-jangan …. Jantung Jagat berpacu, berdetak tidak beraturan.“Ih, ditanya ada apa, malah melotot,” ucap Riana seraya melenggang masuk kamar. Melewati badan Jagat begitu saja. Perempuan itu kemudian duduk di depan meja rias, dan mulai mengoleskan sesuatu di wajah dan badannya.Jagat masih menancapkan mata kepada istrinya. Otak anak bungsu
(May, apa kamu sudah di kantor?)Pesan dari Jagat masuk ke aplikasi perpesanan Maya. Perempuan itu baru saja turun dari motor. Sebenarnya dia berniat menelepon Tian, sebab tadi pagi batita kesayangannya itu belum bangun. Dengan terpaksa Maya harus meladeni pesan Jagat terlebih dahulu, sebab sudah terlanjur dia baca.(Sudah. Ada apa, Mas Jagat?)(Aku dengar semalam Riana janjian menelepon si dokter pagi-pagi, katanya begitu dia sampai di kantor. Bisa tolong mata-matai dia?)Maya mengirim gambar jempol teracung. Dia pun bergegas menuju ruang kerjanya.Benar. Mata Maya menemukan Riana yang tengah menerima telepon di tempat duduknya sendiri. Wajah sahabatnya itu terlihat berseri-seri, terkadang terselip tawa. Jelas sekali terdengar bahwa itu adalah tawa bahagia.Begitu melihat Maya, Riana melambaikan tangan. Seulas senyum sangat manis Riana lepaskan begitu saja. Tidak lama dari situ, dia mengakhiri percakapan teleponnya. Kemudian istri dari Jagat itu berdiri, sembari meletakkan gawainya d
(May, barusan Riana bilang ke aku, katanya dia akan lembur lagi. Apa kali ini benar?).Pesan Jagat masuk ke aplikasi perpesanan Maya sekira jam tiga sore. Maya mendongak, melihat Riana yang tengah senyum-senyum sendiri ke telepon genggamnya. Namun kali ini Maya tidak terlalu curiga lagi kepada sahabatnya itu. Riana pasti sedang memikirkan kesuksesan rencananya nanti.(Mas Jagat, aku mau bocorin satu rahasia, tapi janji Mas Jagat pura-pura enggak ngerti aja ya).Balasan dari Jagat segera meluncur beruntun sehingga membuat gawai Maya berbunyi terus menerus.(Ada apa, May?)(Jadi kamu udah punya bukti kalau Riana benar selingkuh ya?)(Benar kan si dokter brengsek itu?)(Tolong jangan ada yang ditutup-tutupi dari aku ya, May)“Aduh, salah bahasaku. Malah jadi mancing Mas Jagat,” keluh Maya dalam hati. Dia melirik Riana kembali. Kali ini Riana terlihat begitu serius mengetik sesuatu di laptop. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Riana akan pergi dari ruangan.Maya berdiri, yang langsung dire
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh