Setelah restu dari kedua belah pihak orang tua didapatkan. Sebuah pesta mewah di hotel bintang lima pun diadakan. Banyak orang-orang kelas atas berdatangan. Para pria dengan pakaian perlente, dan wanita sosialita yang tampak glamour memenuhi ruangan, dengan ditemani musik lirih yang syahdu. Semua tamu undangan duduk dengan tenang di bawah lampu-lampu gantung yang indah, menanti Affandi selesai mengucapkan ijab kabul di depan sana. "Saya nikahkan engkau Affandi Wijayakrama binti Rahardjo Adipati, dengan ananda Binar Widya binti Santo almarhum, dengan mas kawin seperangkat alat salat, emas murni seberat dua puluh gram, juga uang kes dua ratus juta rupiah dibayar tunai!""Sa-saya terima nikahnya Sinar--eh!"Para tamu langsung riuh mendengar kegugupan Affandi. Terlebih, Affandi salah menyebut nama pengantin. Adipati dan Ambarawati geleng-geleng kepala, malu juga terkekeh geli dengan kebodohan sang putra bungsu. "Siapa Sinar?" Aiman yang mengena
"Kenapa, Bang?" Affandi langsung tak enak hatinya. "Apa kami ada salah? Apa Abang sakit hati karena aku menikahi Binar, dan Abang mau perg---""Apaan!" Aiman langsung menonjok dada adiknya dengan kesal, sedangkan Affandi terkekeh kegelian sambil menatap kakak iparnya dan Binar bergantian. Kedua wanita itu sedikit mendelik pada si petugas medis tersebut. "Kami akan berbulan madu, sekaligus untuk berobat. Harap-harap saja, kami segera punya buah hati." Aiman menatap lekat sang istri. Syeira menempelkan kepalanya pada lengan Aiman. "Aamiin."Binar segera mengaminkan dengan tulus, begitu pula dengan Affandi dan Susan. "Bukannya kami yang menikah, lalu kenapa kalian yang berbulan madu?" protes Affandi usai mengucapkan amin tadi. Binar terkekeh kecil. "Memangnya kenapa? Anggap saja ini sebagai healing. Benar, 'kan, Sayang?" Aiman hendak menempelkan kening pada Syeira, tetapi tak jadi ketika melihat beberapa orang datang.
Kilau mentari menyinari paras ayu yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Affandi bangkit duluan dari ranjang, menutupi tirai jendela, menghalau sang mentari menggangu tidur wanitanya itu. Mata teduh Affandi menatap lekat wajah Binar yang tampak lelah, dibelainya lembut wajah wanita itu, bahkan sangat lembut. Tak ingin sang empu wajah terganggu tidurnya. Lantas, Affandi menyelimuti tubuh Binar dengan baik sesaat sebelum mendaratkan kecupan di kening wanita itu. Dia segera bersih-bersih, lalu keluar dari kamar hotel sebab harus menemui seseorang. [Temui aku sekarang!] Hanya karena pesan singkat juga beberapa foto yang dikirimkan oleh salah satu kontak di ponsel Affandi, pria tersebut meninggalkan Binar tanpa memberi tahu apa pun. **"Keluarlah, aku tidak mau masuk ke apartemenmu!" Affandi berujar dingin di sebuah lobi apartemen. Ponsel menempel pada telinga petugas medis itu. Terdengar kekehan manja dari ponsel Affandi. "Kenapa,
Laju mobil dijalankan pelan oleh Affandi. Sesekali dia melirik wanita berparas ayu yang tampak mendung wajahnya dengan bibir terkatup rapat, sedikit mengerucut sejak melihat berita viral Affandi yang sedang bertengkar dengan Venuska di cafe tadi. Memang banyak pasang mata yang melihat, tetapi Affandi tidak pernah menyangka jika ada yang mengambil momen tersebut, dan mem-viralkannya. Tangan Affandi yang memegang tuas, melayang dan menimpa punggung tangan Binar. Membuat si empu tangan yang sejak tadi memandang keluar, melirik si petugas medis itu. Affandi melemparkan senyum termanisnya. "Masih marah?" Wajah petugas medis itu tampak bersalah, sebab sudah membohongi Binar. "Kan aku sudah bilang, aku nggak ada apa-apa dengan Venuska. Aku hanya menyelesaikan masalah kami saja tadi ....""Iya, aku percaya." Binar menyela perkataan Affandi sambil menarik tangannya dari genggaman pria tersebut. Sedikit kecewa dengan Affandi yang membohonginya. Terl
Seorang pelayan rumah tangga membawakan beberapa cangkir kopi untuk sang majikan yang sedang berkumpul di ruang tengah. Affandi dan Binar duduk di sofa yang sama, dengan Binar yang menggendong Abimanyu. Sementara Aiman berserta Syeira duduk di sofa hadapan mereka. Ambar pun duduk di sofa yang berbeda, memerhatikan anak-anaknya bergantian. Menunggu sang putra sulung, apa yang hendak dikatakannya. "Lusa, aku dan Syeira akan ke Swiss. Seperti apa yang kubilang kemarin, kami akan berbulan madu." Aiman tersenyum tipis, sambil menggenggam tangan Syeira yang duduk di sampingnya. Wanita yang mengenakan blouse merah itu, tersipu-sipu dengan apa yang diucapkan sang suami. "Sekalian kami ingin melakukan pengobatan. Berharap, dengan membuka lembaran baru dan memeberikan kesempatan pada hubungan kami, Tuhan mau menitipkan seorang anak pada rahim Syeira. Buah hati kami." Aiman menatap lekat sang istri, lalu meraih kepala wanitanya, menaruhnya di bahu. Semenjak b
Affandi masih terus berusaha melepaskan lingkaran lengan halus itu dari pinggangnya yang terbungkus kemeja biru. Sementara Binar terpaku dengan degup yang panas menatap hal tersebut, terlebih mendengar ucapan Susan tadi. Makin panaslah dada juga pikiran wanita itu. Binar yang konyol, bahkan di saat genting-gentingnya seperti itu dia tak ada akal untuk menyentak tangan gatal tersebut dari pinggang suaminya. Dia hanya menatap, menatap dengan raut syok dan bodoh. "Tolongin ayah aku, Affandi. Dia masuk rumah sakit!" Wanita itu bukanlah Venuska, dia wanita baru. Tentunya salah satu mantan Affandi. Kebetulan tadi dia melihat Affandi lewat. Maka langsung saja, dia menyambarnya. "I-iya, lepas dulu ....""Affandi tolong, a-aku nggak mau kehilangan dia ...." Wajah putih bersih itu terbenam sempurna di dada bidang Affandi. "Nona, kamu nggak mau tolongin aku?" Affandi meringis melihat raut wajah Binar yang sudah memerah, sambil masih tetap berusaha me
Sebagai istri seorang dokter bedah, terkadang Binar harus menahan rindu ketika Affandi dibutuhkan penuh oleh pihak rumah sakit. Terkadang Affandi jarang pulang, jika sedang banyak pasien yang dia tangani. Terkadang Binar harus tidur sendiri di kamarnya yang luas, tanpa Affandi, juga tanpa Abimanyu. Sering Ambar merasa kesepian di kamarnya, jika Tuan Adipati sedang keluar negeri, maka Ambar akan memilih mengajak Abimanyu untuk tidur bersama. Binar membolak-balikan badan, menatap langit-langit kamar, lalu berbalik lagi, menatap dinding kosong yang temaram. Lampu kamar memang sengaja diredupkan olehnya. Pandangan Binar teralihkan oleh dering ponselnya yang berada di atas nakas. Antusias wanita itu meraihnya, berpikir jika Affandi-lah yang menelepon. "Siapa, yha?" Salah, bukan Affandi yang menelepon larut malam begini. Melainkan nomor asing. Binar ingin tak memedulikan panggilan tersebut, tetapi ponselnya kembali berdering, dan berdering. Akhirnya, Bin
Kepala Affandi sedikit teleng kala mendapat layangan tangan dari Binar. Pandangan matanya langsung tertuju pada layar ponsel yang sudah tergeletak di lantai itu. Sama halnya dengan Binar tadi, Affandi juga membulat matanya melihat adegan panas di dalam video itu. Namun, ketimbang memikirkan video tersebut, Affandi memilih memedulikan Binar yang sedang meringis kesakitan sebab punggung kakinya yang tersiram air panas. "Aku bilang menjauh, Dokter!" Binar memukul-mukul lengan Affandi yang hendak menggendong tubuhnya. Dada wanita itu sesak. Sesak karena melihat korban Affandi adalah adiknya sendiri. "Diamlah, Nona ....""Lepasin aku, Dokter! Lepas!" Binar meronta ketika Affandi mengangkat tubuhnya ke ranjang. "Te-tega ... sekali kau ...." Binar menatap Affandi dengan mata yang basah. Sementara Affandi tampak kebingungan, apa yang harus dia lakukan sekarang. Foto-foto yang sudah dia anggap musnah bersamaan dengan dihancurkannya ponsel
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda