Matahari mulai condong ke barat, seorang wanita berambut poni sebahu yang dicat maroon turun dari mobil berwarna silver. Dia mengibaskan rambutnya yang tipis dan lembut. "Hati-hati bawa barangnya!" seru Susan kepada security yang dia perintahkan mengeluarkan kopernya. Susan lantas menapaki anak-anak tangga. Tumit sepatunya yang agak runcing, menimbulkan bunyi ketukan yang keras pada lantai keramik di teras. Dia melenggang masuk ke rumah yang dihuni putrinya dengan sang suami yang telah mengkhianati putrinya itu. Suasana tampak sepi, tidak ada Syeira ataupun wanita yang telah menjadi madu putrinya. Tatapan Susan memicing, merendahkan pada asisten rumah tangga yang kebetulan lewat di hadapannya. "Maaf, Nyonya siapa yah? Dan mau mencari siapa?" tanya Iin. "Gobloook!" Susan menekan pelipisnya dengan anggun. "ART goblok! Kamu tidak mengenaliku? Aku ini maminya Syeira, majikan kamu. Nyonya besar di rumah ini!" Suara Susan langsung mem
"Silahkan turun, Tuan Putri." Aiman membukakan pintu mobil untuk Syeira, turun di halaman rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu berduaan makan malam di luar, rona wajah Syeira tampak berubah seratus delapan puluh derajat dibanding tadi siang. Sekarang, Syeira tanpa berseri-seri dengan senyuman yang selalu merekah. Tentu akan seperti itu, mereka bukan hanya saja makan malam biasa, tetapi makan malam romantis. Aiman mem-booking sebuah cafe hanya untuk makan malam romantis mereka. Aiman juga menyewa sebuah pemain biola untuk membuat suasana tampak syahdu. Tidak lupa mereka menghabiskan waktu untuk berdansa bersama. Kini, waktu sudah lewat tengah malam baru mereka sampai ke rumah. "Makanan di cafe tadi enak-enak semua yah, Mas. Apalagi dessert-nya, sangat menggoyang lidah." Syeira mengalunkan tangan di lengan Aiman sambil menyandarkan kepalanya. Mereka berjalan memasuki rumah. "Aku juga bisa menggoyang lidahmu." Aiman menyahut sa
Tirai jendela yang disibakkan oleh dokter muda bermata cokelat itu, membuat sinar mentari yang hangat masuk ke ruang rawat Binar. Cahayanya langsung membuat si empu kamar terganggu dengan silaunya. "Bangun! Aku tau, kamu sudah sadar. Hanya saja, mungkin masih sangat lelah dan lemah. Kamu harus melawan rasa lelah itu, agar bisa bangkit dan berjuang kembali. Perjalananmu masih sangat jauh." Kata-kata motivasi yang diutarakan Affandi membuat Binar sedikit demi sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat. Bibir yang selalu tampak merah muda itu, kini tampak hilang warnanya dan kering. Bibir Binar begerak-gerak dengan mata yang menyipit ke sana kemari. Lalu, terhentilah pandangannya pada atas nakas, di sebuah gelas yang terisi air penuh di sana. Tangan Binar yang dijalari oleh selang infus, perlahan terangkat. Sedikit gemetar, hendak menggapai gelas kaca itu. "Butuh bantuan, Nona?" Affandi melangkah mendekat. Mengambil gelas itu, lalu me
Aiman sedikit mengernyit melihat ekspresi adiknya yang menegang. Pria yang masih mengenakan setelan jas kantoran dengan tangan yang memegang paper bag itu, melangkah mendekat. Sebelah alisnya terangkat. "Ada apa?" Aiman menatap serius. Affandi mengusap tengkuknya seraya mengalihkan pandangan. Wanita yang masih mengejarnya tadi, kini telah berbalik badan, pergi entah ke mana. Affandi sedikit mengembuskan napas lega, jikalau tidak, dia pasti akan merasa sangat malu sekali, sebab telah mengangap istri abangnya sebagai istri sendiri. "Hey!""Ah, iya, Bang. Kakak Ipar ada kok di kamarnya." Affandi yang terkejut dengan tepukan Aiman di pundaknya langsung berucap cepat. Alis Aiman menyatu. "Aku tidak menanyakan keberadaan Binar?" ucap Aiman bingung. Namun, dalam sepersekian detik, wajah itu berubah serius dengan tatapan tajam. "Jangan bilang kalau Binar hilang?"Affandi segera menggeleng. "Tidak, Bang. Kakak Ipar ada di kamarny
Aiman terkesiap melihat Binar yang tersedak dengan wajah memerah. Sangat terlihat kesakitan dalam batuknya. Aiman meraih gelas yang ada di atas nakas, namun .... "Astaga, kosong!" Aiman panik bukan main, sedangkan Binar terus terbatuk dengan wajah memerah. Bahkan, air matanya meluncur efek batuk tersebut. "Sabar yah, aku cari air dulu!" ucap Aiman langsung berlari keluar. Di depan pintu kamar, Aiman menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan adiknya--Affandi. "Di mana anak itu? Giliran dibutuhin malah hilang!" gerutu Aiman. Terpaksa dia berlari ke kantin rumah sakit, yang jaraknya lumayan jauh dari ruang rawat Binar. Aiman berlari laksana maling yang dikejar polisi. Sesampainya di kantin, Aiman langsung menyambar sebotol air mineral, dan memberikan uang merah tanpa menunggu kembaliannya. Meninggalkan si ibu pemilik kantin yang berseru agar dia mengambil kembaliannya. Napas Aiman ngos-ngosan meraih tangkai pintu ru
Mentari pagi mulai menampakan sinarnya yang kemerah-merahan. Menyinari tirai jendela dan menembus sampai ke sebuah ruangan. Namun, seorang pria yang sedang tidur dengan pipi terbaring di atas tangan yang saling bertumpuk di ranjang sang istri, sama sekali tidak terganggu dengan sinar matahari yang menerobos masuk hingga menyinari wajah tampannya itu. Binar membuka kelopak mata, hendak mengucek mata, tetapi tangannya tak bisa diangkat, sebab Aiman menggengamnya. Pria itu tertidur di atas tumpukkan tangannya sambil menggenggam tangan Binar. Hati Binar menghangat, sehangat mentari pagi hari ini. Sebelah tangannya terangkat, terulur hendak mengelus rambut tebal Aiman. Namun, dia mengurungkan niatnya. 'Sadar, Binar. Kamu itu hanya mesin pembuat anak. Jangan terlena dengan semua perhatian yang dia berikan. Setelah anak ini lahir, kamu akan dibuang layaknya sampah!' Batinnya menyadarkan diri. Binar selalu menanamkan kesadaran pada hatinya dengan kalimat kasar, agar dia tak sampai terlena
Pagi-pagi sekali Syeira sudah sibuk berada di dapur membantu ART-nya Iin memasak makanan. Dia sengaja ingin membuat masakan kesukaan Aiman pagi ini. Sebuah Nastar Strawberry, tetapi diganti namanya oleh Syeira, Nastar Cinta. Itu dikarenakan Syeira membuat nastarnya berbentuk seperti hati. Binar yang belum lama bangun mengayunkan kaki ke dapur, hendak membuat susu. Dia memasang senyum ketika terlibat kontak mata dengan Syeira. "Eh, kamu sudah bangun? Mau ngapain?" Syeira memasukan nastar ke oven sambil bertanya. "Emm, mau buat susu. Kak Syeira lagi buat apa?" Binar mengambil sebuah gelas, tetapi langsung ditahan oleh Syeira. "Biar aku aja," tandas Syeira merebut gelas tersebut dari Binar. "Tapi, Kak ....""Udah, nggak apa-apa. Sesekali, kan nanti anak kamu akan jadi haknya Aiman. Berarti, dia juga akan jadi anakku nantinya." Syeira berucap lembut, tetapi mampu menusuk ke ulu hati Binar. Binar mengangguk, memang
"Kyaaak!"Binar memekik keras, telapak kakinya yang terbungkus sendal karet tergelincir ke belakang kala menginjak genangan minyak di lantai. Tubuh Binar jatuh ke depan, bagian perutnya hendak menghantam anak-anak tangga ...."Hati-hati!" Tiba-tiba saja sebuah lengan yang terbungkus kaus biru langit menangkap tubuh Binar. Affandi. Petugas kesehatan itu dengan sigap menahan pinggang Binar, sebelum bagian depan wanita itu menghantam anak-anak tangga. Posisi mereka sekarang, Affandi yang sedang menyangga pinggang Binar dalam keadaan bersimpuh sambil menatap lekat mata bulat Binar yang syok. Jarak antara wajah mereka begitu dekat. Binar belum bisa menguasai diri. Tangan lentik wanita itu terjulur dari bahu Affandi ke punggung pria itu. Tangan Binar agak gemetar, sedangkan jantungnya berdebar riuh akibat kejadian barusan. Sementara Affandi juga sedang sibuk dengan debaran jantungnya. Mata bulat Binar yang berada tepat di depan matanya dan terbil
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda